Ear Phone Tanpa Lagu



Cerpen: Utami Pratiwi

Aku mempunyai kebiasaan mendengarkan lagu melalui ear phone. Hal ini mengingatkan aku pada seseorang. Pernah membayangkan kami duduk berdua dengan ear phone bertengger di telinga. Menikmati nada-nada berdua. Bisa lagu rindu atau nada cinta. Tanpa perlu mendengar hinggar bingar luar.
***
Namanya Byata. Lelaki yang entah sejak kapan berlari-lari riang di otakku. Pernah ingin bertanya, apakah ia tak lelah? Namun aku berpikir lagi. Harusnya aku bertanya kepada Byata atau kepada otakku? Ah, entahlah.
Dulu sekali, awal bertemu di bangku SMP. Wajah cuek dan lirikan mengawasi kedatanganku duduk di sampingnya. Sangat menyebalkan. Ear phonesetia menggantung di telinga. Saat itu tak ada pilihan lain selain bersapa.
“Halo, aku Prastata.” Aku memulai perkenalan sambil mengulurkan tangan. Senyum tersungging di bibirku, walau dalam hati sangat malas melihat muka angkuhnya.
“Byata.” Jawaban singkat, padat dan menyebalkan.
Manusia ini menjadi teman sebangkuku selama setahun. Kesal setiap hari bersanding dengan Byata. Sepertinya teman adalah ear phone yang tak pernah ia lepaskan. Aku yang jelas bernyawa tak pernah dianggap ada. Pernah aku memaki. Ia hanya diam. Jelas, ia tak dengar. Bukankah ear phone menyumpal lubang telinganya?
Kemudian setahun setelah itu ia enyah. Entah kemana. Aku yang membenci, kesal dengan tingkah polah angkuhnya tiba-tiba merasa kehilangan. Datang ke sekolah tak senikmat dulu. Benci ini ternyata menjadi sebuah jalur penghubung di otakku yang membuatnya setia berlari-lari.
Aku bercerita tentang Byata setelah delapan tahun tak jumpa bukan tanpa alasan. Hari ini, di sebuah caffe aku melihat sosok itu lagi. Hampir tak terkenali. Ear phone masih setia ternyata. Jalur-jalur dalam otakku siap terhubung untuk kembali dilaluinya. Ah Byata, kemana saja. Tak tahukah ia, jalur ini hampir usang karena lelah memikirkan tugas kuliah.
Berjalan mendekati, kemudian mengulurkan tangan serta sapaan ‘Hai’ sepertinya bukan pilihan. Mengingat dulu bagaimana wajah itu memandangku ketika awal bertemu. Ya, mungkin sejak saat itu aku mulai sering memikirkan Byata. Terlalu sibuk mencari alasan membenci dan memaki!
Senja datang, waktunya pulang. Kupalingkan wajah kembali ke meja Byata. Ia kembali tak ada. Bergegas pikirku. Sudah terlalu lama di tempat ini.
“Halo Prastata.” Sapaan dengan senyum manis dan uluran tangan. Aku yang awalnya sibuk memberesi buku mendongakan kepala. Dan...
“Byata! Hei...” Seperti sebuah de javu, bedanya, saat ini Byata yang memulai menyapa.
“Ternyata masih ingat.” Kataku lirih, tak bisa kusembunyikan senyum yang kini perlahan menjadi tawa.
“Ya, sudah lama?”
Kami keluar caffe bersama, meninggalkan sisa bayangan. Senja kali ini sangat berbeda. Cahaya yang hangat, sehangat tanganku yang beberapa menit lalu menyentuh tangan manusia delapan tahun ini kurindui.
“Kenapa ear phone itu selalu di telingamu?” Aku memulai pembicaraan. Saat ini kami duduk di sebuah bangku yang dilindungi rimbun pohon.
“Karena aku tak mau mendengar.”
“Nah sekarang kamu mendengarku?” Sanggahku.
Kemudian ia memasangkan ear phone itu di telingaku.
Deg!
Tak ada lagu terdengar. Dan diujungnya tak ada alat musik apapun; hanya sebuah ear phone! Ada senyum menyesatkan dalam bibirnya.
“Aku mendengar semua cacianmu dulu.”
Ah, betapa malunya. Aku tertunduk. Mencoba sibuk melihat-lihat buku yang kubawa dari caffe tadi. Sebenarnya dalam diam aku membenamkan wajah. Semoga senja tak cepat tenggelam, agar bisa membantuku sembunyi dari pipi merah karena malu.
“Kamu berhasil membuatku malu By.”
“Aku dulu tak mau mendengar apa yang ada di sekelilingku. Namun sejak kedatanganmu semua itu berubah. Ternyata alunan musik sebelum kamu datang tak lebih menarik dibanding dengan omelanmu dan sumpah serapah yang kautujukan padaku.” Kalimatnya semakin mengejekku. “Sekarang kamu membawa ear phone juga?” Lanjutnya.
“Oh, karena tadi ingin mendengarkan musik saja. Memang ada yang salah?” Aku berbohong, karena sebenarnya aku sudah lama terbiasa dengan ear phone ini. Yah, cara lain untuk mengingat kamu, Byata. Andai saja kamu tahu.
“Aku kira untuk mengingatku.” Godanya, masih dengan lesung pipit yang dari dulu membuatku ingin sembunyi di dalamnya.
“Ternyata selain angkuh kamu juga raja PD ya.”
“Hahaha, bukan seperti itu. Prasta, aku bisa seperti sekarang karena kamu. Akhirnya hari ini kita bertemu. Semua teman SMP dulu yang melihatku sekarang pasti akan terkejut. Ya, sebuah perubahan. Dan itu karena kamu. Terima kasih.”
“Ya, sama-sama. Tapi aku juga akan berkata terima kasih jika kamu mau melanjutkan ceritamu.”
“Dulu, duniaku sepi. Tak pernah terbanyang ditinggalkan kedua orang tua bercerai. Hm, mereka orang dewasa yang sungguh egois. Aku tak pernah mengindahkan nasihat-nasihat setelah mereka menjadi orang yang berbeda. Pelarianku adalah musik dan ear phone. Berharap denting-denting lagu menghiburku dari masa kacau. Sampai bertemu denganmu. Ternyata cacianmu jauh lebih menyenangkan dari pada segala jenis musik yang kudengarkan.”
“Hem.” Sebenarnya yang ia katakan pujian atau ejekan.
“Aku tak memilih tinggal dengan keduanya Prasta. Dulu, dengan seperti ini aku harap orang tuaku bisa menyadari kesalahannya. Kalau aku yang menjadi korban. Namun setelah delapan tahun ini aku mendengar mereka sudah berpasang dengan yang lain. Mungkin saja Tuhan salah menempatkan mereka untuk bersatu yang ternyata tak berjodoh. Ah, sudah. Tak usah membicarakan ini lagi. Toh hidupku jauh lebih bahagia.”
“Rasa kehilangan, aku juga pernah merasakan itu. Banyak orang juga pernah merasakan. Kamu tidak sendiri.” Kataku sambil menepuk-nepuk bahunya. “Eh, siapa perempuanmu?”
Tak ada jawaban kecuali senyum.
Byata, dalam rasa malu yang baru kutahu setelah delapan tahun ini, ternyata ada sebuah cerita yang lebih penting. Mengapa tak dari dulu kau ujarkan?
Malam membanyang. Kami memutuskan untuk pulang.
***
Dua minggu setelah pertemuan itu menjadi hari yang menyenangkan. Tak sehari pun kulewatkan untuk selalu bersama Byata. Ah, jarak yang dulu memisahkan terasa begitu indah ketika sekarang bisa bersama. Tak perlu ear phone lagi. karena aku tak mau melewatkan sedikit pun kalimat yang keluar dari bibir Byata untuk kudengar.
Sampai pada pagi ini. Matahari tak sedikit pun mau mengintip dari celah-celah mendung yang menggantung. Bisa dipastikan akan turun hujan. Kuayunkan langkah tergesa menuju caffe tempat pertama aku bertemu Byata. Ada sesuatu yang akan ia bicarakan.
Dirinya telah menantiku dengan senyuman. Ah, lesung pipit itu.
“Ada apa mendung begini mengajakku bertemu.” Kataku, sementara itu ternyata di luar sana langit mulai menyebarkan rintik hujan.
“Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Sebenarnya terkait dengan kunjunganku ke kotamu ini. Dan tak sengaja mempertemukan kita, Prasta.” Percakapan ini sepertinya serius.
Byata mengeluarkan sebuah kertas berwarna biru. Samar aku melihatnya. Tak ingin meyakini bahwa itu adalah sebuah undangan pernikahan.
“Aku akan menikah. Dua mingguku di sini mengurus segala perlengkapan. Bisakah kau hadir nanti? Sebagai seorang sahabat yang mengubah hidupku. Sebuah keberuntungan bertemu kamu kembali.”
Ini adalah jawaban dari senyum rahasia itu. Ingin rasanya aku mengambil ear phone, mendengarkan musik keras-keras untuk menghindar dari kata-kata barusan.
“Bagaimana Prasta?” Pertanyaan yang membuyarkan lamunanku.
“Em, terima kasih undangannya. Aku turut bahagia.” Kuraih undangan berwarna biru itu, kumasukkan dalam tas lalu kuambil juga sebuah ear phone. Kemudian memasangkan di telinga. “Aku lupa hari ini ada kuliah. Aku pergi dulu.”
“Di luar hujan.”
Aku pura-pura tak mendengarkan. Padahal ear phone ku tanpa lagu, tak terkait dengan alat musik apapun! Sayup-sayup terdengar lagu kesedihan yang berasal dari hatiku. Aku menerjang hujan, tak tahu lagi basah di pipi ini air langit atau air mata.
Aku takkan pernah mengutuk bahwa Tuhan salah memilih perempuan itu jodoh untukmu, tak mau melihat lagi orang-orang sakit karena perpisahan nantinya. Setia itu sederhana, mencintaimu dalam ruang hatiku dan tak memasukkan yang lain. Cara lain adalah mengizinkanmu berlari-lari dalam otakku. Namun sejak perbincangan pagi ini, aku memutuskan tali itu dan mencoba memasukkan orang lain di ruang hatiku, entah mulai kapan.
Rinduku selama delapan tahun tak pernah terucap sampai pagi ini, begitu juga cintaku. Biar, biar hujan membawa denting nada kesedihan dalam ear phone.
                                                                       
Yogyakarta, 14 Maret 2013