Lepaskanku segenap jiwamu tanpa harus ku berdusta karena kaulah satu yang kusayang dan tak layak kau didera, sadari diriku pun kan sendiri di dini hari yang sepi tetapi apalah arti bersama, berdua namun semu semata
Tiada yang terobati di dalam peluk ini tapi rasakan semua sebelum kau kulepas selamanya tak juga kupaksakan setitik pengertian bahwa ini adanya cinta yang tak lagi sama
Banyak rencana, nulis ini nulis itu, habis itu hilang semua...
Tenyata tak bisa memungkiri kalau cinta kita tak lagi sama. Aku akan menerima sekarang. Juga nasihat beberapa waktu lalu. Yelah, ini masih masalah cinta sepihak mungkin. Memang, benar semua yang diucapkan orang itu. Walau kadang dia mengakhiri dengan kalimat:
“Ah, aku barusan ngomong apa sih, sudah. Lupakan saja. Anggap aku tak pernah bilang dan kamu jangan nangis gitu.”
Jegler bingitts deh. Kan telingga ini sudah terlanjur mendengarkan. Semua yang kamu sebutkan memang aku punya, hanya saja aku tak memiliki kamu, atau memilikki dia yang sekarang sedang aku titik titik. Kekurangannya terletak di situ. Atau memang karena aku yang serba kekurangan ya. Siapa sih kamu? (ngomong sama cermin).
Cerita ini itu tentang kamu ke temen-temenku ternyata sama aja bunuh diri (huaa emot nangis). Sebenarnya ini yang salah siapa? Hatiku kah? Mengapa mereka membencimu? Toh aku yang kamu sakiti nggak sedikitpun benci (dendam mungkin *lebih parah!). Nggak!
Yukk, kapan main lagi. Nanti ya, kalau aku udah lulus.
Sedang menunggu jadwal ujian. Segala persyaratan segera dilengkapai. Tinggal ke perpusda dan perpus kampus ngurus bebas peminjaman buku. Syalala... semoga dilancarkan semuanya. Amiin
Hey, gengsi ini ternyata membuat radang rindu. Hanya bisa melototin hape tanpa menekan tombol hijau atau ‘send’ untuk sekadar mengirim:
‘Lagi apa? Jangan lupa makan ya.’