1. Analisis Tokoh dan Karakter dalam Cerpen
Judul cerpen: Bu Geni di Bulan Desember
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Kompas, Minggu, 20 Mei 2012
Tokoh dalam cerpen Bu Geni di Bulan Desember karya Arswendo Atmowiloto adalah Bu Geni. Ia mempunyai pekerjaan sebagai perias pengantin. Ada hal aneh dalam diri Bu Geni, karena menurutnya semua bulan adalah Desember.
Karakter Bu Geni adalah orang yang berbicara apa adanya dan tegas. Di sisi lain ia juga mempunyai karakter perempuan yang menerima nasib namun juga sadis. Seperti yang diungkapkan KL Rampan, bahwa karakter atau watak merupakan pelukisan manusia pelaku yang memiliki keistimewaan dan kelemahan sebagaimana manusia secara darah daging dalam menghadapi benturan peristiwa, tokoh Bu Geni juga mempunyai keistimewaan dan kelemahan.
Keistimewaan Bu Geni dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Menurut yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi.”
Kelemahan Bu Geni adalah ia tidak bisa membedakan bulan dan tanggal. Ia menganggap setiap bulan adalah Desember, musim orang-orang menikah, seperti dalam kutipan berikut:
“Bagi Bu Geni, semua bulan adalah Desember. Bulan lalu, atau bulan depan berarti Desember. Maka kalau berhubungan dengannya, lebih baik tidak berpatokan kepada tanggal, melainkan hari.”
Watak Bu Geni yang bicara apa adanya adalah ketika ia merias anak bupati dan mengetahui bahwa calon mempelai perempuan hamil. Ia tidak ada takut sedikitpun untuk bicara apa adanya keadaan tersebut walaupun mengetahui bupati mempunyai kedudukan yang tinggi di tempat ia tinggal, seperti dalam kutipan berikut:
“ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak bisa hamil itu anugrah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.”
Watak tegas dapat dilihat ketika orang tua calon pengantin tidak mengakui bahwa perempuan cantik yang selesai dirias adalah anaknya, ia pangling atau tidak mengenali anaknya sendiri, seperti dalam kutipan berikut:
“Ya sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo kita pulang.”
Bu Geni juga mempunyai watak menerima nasib namun juga sadis. Ketika ada yang bertanya apa yang ia akan lakukan jika suaminya, Pak Geni menikah lagi, dengan ringan Bu Geni mengatakan tidak apa-apa, seperti dalam kutipan berikut:
“Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. “Dilarang juga susah, tak ada gunanya. Boleh saja.”
Di sisi lain, Bu Geni juga mempunyai watak yang sadis, seperti dalam kutipan berikut:
“Apakah Bu Geni pernah berpikir bercerai dengan Pak Geni. “Saya tidak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.”
Dari watak Bu Geni, maka dapat diketahui bahwa Bu Geni termasuk tokoh bulat yang sangat kompleks dan mempunyai sifat yang bertentangan dan keragaman pengalaman yang utuh. Watak Bu Geni lebih dominan protagonis, meskipun ada saat ia berwatak sadis.
2. Analisis Konflik dalam Cerpen
Judul cerpen: Jembatan Tak Kembali
Pengarang: Mardi Luhung
Kompas, Minggu, 1 April 2012
a. Teknik awal pembukaan
Teknik awal pembukaan cerpen Jembatan Tak Kembali karya Mardi Luhung menggunakan benda simbolis, seperti dalam kutipan berikut:
“Dan sebagai jembatan, maka jembatan tak kembali adalah jembatan yang begitu indah. Kerangkanya berwarna merah. Punggungnya kuning keemasan. Sedangkan pagar pembatas samping kiri-kananya seakan-akan selalu berputar pelan. Seperti berputarnya jarum jam yang bunyinya begitu halus. Deg-deg-deg surrr.”
b. Pengenalan konflik
Jembatan Tak Kembali karya Mardi Luhung mengawali pengenalan konflik dengan penggambaran keanehan yang terjadi orang-orang yang menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Mereka yang menyeberang sudah tahu tidak akan bisa kembali karena menemukan kenikmatan jika sudah di seberang jembatan, seperti dalam kutipan berikut:
“Tapi, meski tak kembali, selalu saja, hampir tiap saat ada yang menyeberangi jembatan itu.”
c. Klimaks konflik
Ternyata tidak semua orang mau menyeberangi jembatan tak kembali. Orang itu bernama Jose, alasannya tidak mau menyeberangi jembatan adalah karena ia tidak mau mendapatkan kesempurnaan namun tanpa melakukan usaha apa-apa karena semua barang sudah tersedia di seberang jembatan, seperti dalam kutipan berikut:
“Ya, ya, itu adalah perkataan Jose di pagi ini. Perkataan yang mungkin kesekian kalinya. Dan memang perlu kalian ketahui, Jose adalah satu-satunya orang yang kerap membatalkan niatnya ketika akan menyeberangi jembatan.”
d. Solusi konflik
Orang-orang yang menganggap Jose aneh merencanakan sebuah strategi agar Jose mau menyeberangi jembatan. Alasan mereka melakukan itu karena sudah jelas bahwa kehidupan di seberang jembatan lebih menjanjikan.
Jose mengatakan bahwa ia tidak mau menyeberangi jembatan karena tidak tega melihat kucing-kucing peliharaannya tidak ada yang memberi makan, seperti dalam kutipan berikut:
“Kucing-kucingku butuh makanan yang layak?” begitu tambah Jose. “sebab kucing-kucingku itu hampir tiap malam mengejari tikus-tikus yang gemar merusak setiap apa yang ada di kampung”
Oleh karena itu orang-orang merencanakan pencurian terhadap kucing-kucing Jose agar ia tidak ada alasan lagi untuk tidak menyeberangi jembatan, seperti dalam kutipan berikut:
“Mulailah mereka mencuri kucing-kucing Jose. Yang kuning. Yang coklat, yang putih. Dan yang kelabu pun dicurinya. Dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke luar kampung. Sampai akhirnya kucing-kucing Jose habis. Dan Jose pun kelimpungan. Dan Jose pun menjadi sedih. Setiap waktu, setiap saat, kerjanya cuma mencari kucing-kucingnya yang hilang.”
e. Akhir cerita
Orang-orang berbohong kepada Jose bahwa kucing-kucingnya secara diam-diam menyeberangi jembatan. Namun setelah mereka berkata seperti itu, tiba-tiba jembatan itu hilang tidak bersisa. Kucing-kucing Jose juga tidak kembali. Kini tinggal tikus-tikus yang merajalela di kampung karena tidak ada yang memburunya, seperti dalam kutipan berikut:
“Tapi anehnya setelah perkataan itu terlontar, sejak saat itu pula sosok jembatan tak kembali pun jadi menghilang. Tak berjejak. Seperti ditelan kegaiban.
Dan tikus-tikus, yang kini tak lagi punya penghalang itu, pun segera merajalela di kampung!”
3. Analisis Plot dalam Cerpen
Judul cerpen: Wajah Itu Membayang di Piring Bubur
Pengarang: Indra Tranggono
Kompas, Minggu, 8 April 2012
Plot yang digunakan dalam cerpen Wajah Itu Membayang di Piring Bubur karya Indra Tranggono adalah campuran. Cerita diawali dengan kesetiaan Sumbi membuatkan bubur jawa untuk suaminya, Murwad meskipun Murwad tidak pernah pulang ke rumah setelah kejadian kebakaran di Pasar Kliwon. Ada yang mengatakan bahwa Murwad sudah meninggal, tetapi Sumbi tidak percaya, seperti dalam kutipan berikut:
“Namun, Sumbi yakin, suaminya itu masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Sumbi mengulur-ulur harapan itu dengan menyajikan bubur gula jawa buat Murwad. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Murwad. Tersenyum. Dada Sumbi terasa mengembang.”
Setelah cerita tersebut, bagian berikutnya menampilkan kilas balik atau flasback sebelum terjadi peristiwa kebakaran. Setiap pagi Murwad membersihkan pasar. Menjelang subuh ia selalu melihat pasangan yang bercinta di los pasar. Ia marah dan mengusir mereka karena berbuatan tersebut dapat mengotori pasar dan membuat bakul-bakul bangkrut. Tidak lama setelah itu terdengar ledakan dan dengan cepat Pasar Kliwon terbakar, seperti dalam kutipan berikut:
“Mendadak terdengar suara ledakan. Sangat keras. Muncul percikan-percikan api. Makin lama makin membesar. Menjilat-jilat. Api itu terus menjalar membakar apa saja.”
Plot selanjutnya tidak lagi menyoroti flasback, tetapi peristiwa ketika Walikota Bragalba meresmikan pasar Kliwon menjadi Kliwon Plaza dengan harapan pasar menjadi lebih modern dan memperbaiki dinamika perekonomian kota. Ada yang menyinggung tentang genderuwo yang menghuni pasar seperti yang dibicarakan orang-orang selama ini, seperti dalam kutipan berikut:
“No comment. Maaf. Saya hanya menjawab pertanyaan yang rasional. Saya tidak percaya hantu.”
Sumbi dan Murwad yang berada dalam tempat berbeda. Murwad ditahan dipenjara karena diduga sebagi pelaku pembakaran pasar, seperti dalam kutipan berikut:
“Tahu alasan saudara ditahan?”
“Tidak. Saya hanya melihat pasar itu tiba-tiba terbakar.”
Di sisi lain, Sumbi masih setia membuatkan bubur gula jawa untuk Murwad dan tersenyum melihat bubur tersebut karena dapat melihat wajah Murwad, seperti dalam kutipan berikut:
“Sumbi mengambil bubur gula jawa yang tadi pagi ditaruhnya di meja dan menggantinya dengan bubur yang baru, yang masih hangat. Ia berharap, Murwad segera menikmatinya.
Di sel tahanan, Murwad tidak mau makan. Tubuhnya semakin melemah dan akhirnya ia meninggal. Sumbi ketika pagi hari membuat bubur untuk Murwad terkejut dan menumpahkan bubur tersebut karena tidak lagi melihat wajah Murwad di hamparan bubur, seperti kutipan berikut:
“Tangannya mendadak gemetar. Piring itu terlepas. Bubur itu tumpah. Ia tak melihat lagi wajah suaminya dalam hamparan bubur.....”
Jadi alur yang digunakan dalam cerpen Wajah Itu Membayang di Piring Bubur karya Indra Tranggono adalah campuran. Jika diurutkan dari penjelasan di atas maka dapat diketahui pola A-B-C, namun jika diurutkan sesuai alur yang runtut adalah B-A-C.