Kertas Kecilku
Selepas shalat jumat, masjid Fatimatuzzahra sepertinya masih begitu ramai. Selain mungkin karena hujan rintik yang turun semenjak khotbah jumat dimulai, ternyata hari ini adalah hari jumat yang spesial. Abu Sofi yang dikenal sebagai pendiri masjid ini katanya akan datang dari Saudi Arabia ke Purwokerto. Denger beritanya beliau akan mengadakan acara makan bersama di serambi dan sekitar masjid seperti tahun-tahun sebelumnya selepas sholat jumat siang ini.
Aku sendiri nampaknya datang terlambat di acara itu. Sepulang dari kampus yang niat awalnya mau menepati janji seorang teman, ternyata ia tak kunjung datang. Dan ketika aku kembali ke masjid, kurang beruntungnya hidangan sudah bisa dibilang habis. Yah, guman dalam hatiku menyaksikan peristiwa itu. Tapi tak mengapa lah. Aku masih bersyukur karena paling tidak aku sudah mencicipi satu tusuk sate kambing kecil di sisa baskom prasmanan. Lalu mencoba menerima dan melapangkan dada sambil merasakan rasa pening dikepalaku akibat hujan yang mengguyurku sepulang dari kampus tadi.
Sembari menikmati satu tusuk sate lagi kecil yang tadi, tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada sebuah meja di dekat mimbar masjid. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Kenapa meja yang sehari-hari digunakan untuk mengaji itu, kok nampaknya terkesan berbeda pada hari ini. Aku kembali mengingat dan mencoba menjari jawaban itu. Dan ternyata rasa pusing kepalaku menunjukan pada sebuah jawaban. Oh iya, meja itu, aku ingat betul meja itu. Meja itu adalah meja yang dulu pernah aku gunakan untuk mencoba menuliskan mimpi-mimpiku pada sebuah kertas.
Malam itu aku bersama sahabatku Pahri, sengaja menulis impian-impian yang ingin dicapai dalam sebuah kertas di atas meja itu. Ditengah hening dan dinginnya malam, di tengah masjid yang tak berpintu, aku mencoba merangkai mimpiku dalam sebuah kertas kecil. Dengan penuh harap dan kekusyukan aku menuliskan mimpi-mimpiku. Mimbar yang berdiri tegak disampingku seolah menjadi saksi bisu peristiwa itu.
Tak kurang dari delapan puluh mimpi aku tuliskan dalam kertas karton malam itu. Dan kini seolah tersentak, karena hari ini aku baru kembali mengingat peristiwa itu. Hampir saja aku terlupa dan melupakan mimpi-mimpi yang sengaja aku tuliskan dalam kertas kecil itu. Mimpi yang aku tulis dengan harapan dan semangat yang tinggi hampir saja sirna. Diriku bersyukur akan kembali diingatkannya mimpi-mimpi itu, karena mulai terabaikan ditengah kesibukan.
Aku mencoba mencari kertas kecil mimpi-mimpiku itu. Beruntung sekali, kertas itu masih tersimpan di tumpukan paling bawah baju almari asrama Pesantren Mahasiswa tempat dimana aku tinggal. Aku kembali mereview akan tulisan-tulisan itu. Subhanallah, mbterdapat lebih dari sepuluh tulisan yang telah aku capai saat ini. Namun, disisi yang lain ternyata aku telah banyak melewatkan dan membuat kesalahan akan mimpi itu.
Astagfirullah, guman dalam hatiku. Tiba-tiba saja diri ini ingin meneteskan air mata disela-sela melihat kertas kecil yang kini mulai usang. Dulu aku pernah berjanji untuk selalu berprestasi sewaktu kuliah. Mengikuti kompetisi-kompetisi menulis, memberi manfaat orang lain yang membaca tulisanku, serta membawa nama baik universitas di kancah nasional maupun internasional.
Kini aku telah menginjak di tahun kedua dimaka aku kuliah. Menempuh pendidikan tinggi di kota Satria atau kota Purwokerto yang konon ceritanya adalah kota yang mewarisi jiwa kesatria Panglima Besar Jenderal Soedirman. Namun tepatnya di semester ketiga ini, aku belum juga mampu untuk berprestasi. Aku hanya menjadi saksi akan prestasi-prestasi mereka. Aku belum juga mampu memberi sumbangan juara pada universitas untuk sebuah kompetisi. Dan kini aku hanya kembali meneteskan air mata akan kebodohanku selama ini. Masih saja dengan bangganya aku melakukan hal-hal bodoh, hal-hal yang tak bermanfaat serta lalai akan tujuan awal ke kota ini.
Aku kini telah menyadari akan kebodohan dan kelalaianku itu. Sekarang tiadalah waktu bagiku untuk bersantai-santai. Tak ada waktu untuk berleha-leha. Aku harus segera kembali bertempur ke medan perang demi memperjuangkan mimpi-mimpiku. Aku tak sampai ha ti bila membuat kecewa ibuku yang setiap saat mendoakanku. Aku tak mau membuat kecewa almamaterku yang memberi beasiswa kuliah untukku. Aku harus berjuang. Berjuang merebut mimpi yang telah aku lupakan. Mimpi itu dan mimpi itu. Mimpiku, mimpi ibuku, universitasku. Lalu sembari mendekap kertas kecil itu dalam dadaku, ingin kukatakan padanya. “Oh kertas kecilku, maafkan aku”
*Sekian *