Nalar Orang Swiss, di dalam General
(Sumber/ source: Susilo, Djoko.2014. “Nalar Sehat Orang Swiss”. Dalam Jawa Pos. Tanggal 6 Januari 2014.)
Belum lama ini, saya bertamu ke rumah teman saya seorang profesor di University of St Gallen, Swiss, yang rumahnya di pelosok desa. Meski jauh di pelosok desa, yang sangat sepi dan pemandangan alamnya sangat indah, di tidak mengalami kesulitan kalau harus mengajar di kampusnya di Jenewa atau di St Galen. Kediaman teman saya itu di wilayah Basel, yang berbatasan dengan Jerman dan Perancis. Tetapi, sebagaimana permukiman lain di Swiss, rumahnya selalu terjangkau oleh kendaraan umum.
Dari dia, saya mengetahui bahwa Swiss itu dulu sangat melarat. Yang dimiliki hanya gunung dan air. Di masa lalu ekspor Swiss hanyalah tenaga manusianya yang bekerja sebagai pasukan bayaran untuk beberapa negara Eropa lainnya. Tetapi, sejak masyarakat Swiss menggunakan nalar sehatnya dalam mengutus negara, secara bertahap Swiss menjadi modern, maju dan sejahtera.
Nalar sehat orang Swiss ini diwujudkan dalam format politik pemerintahan maupun perilaku politik para pemimpinnya. Dalam sistem pemerintahan, Swiss dari level federal, kanton (provinsi), kabupatan atau kota, sampai kelurahan, prinsip kepemimpinnya adalah kolegial. Jadi, tidak ada “boss” yang paling berkuasa. Keputusan harus diambil secara musyawarah dan mufakat. Tidak ada anggota kabinet yang merasa lebih berkuasa daripada yang lain. Makanya, dalam sistem pemerintahan Swiss, presiden, gubernur, wali-kota dan lurah hanya menjabat setahun secara bergiliran.
Setelah mengatur pemerintahan dengan baik, warga Swiss juga konsekuen mendukungnya dengan membayar pajak. Dari hampir 8 juta warga Swiss, diperkirakan hanya 20 persen yang tidak membayar pajak pendapatan. Bandingkan dengan di Indonesia, yang jumlah pembayar pajaknya masih kurang dari 15 persen dari jumlah penduduk. Di Swiss mereka punya prinsip yang sederhana: Anda bayar pajak, Anda dapat layanan bagus. Anda tidak bayar pajak, negara sulit memberikan layanan yang baik.
Setelah beres dengan urusan pajak, pemerintah membuat alokasi besaran untuk apa pajak dan pendapatan negara lainnya itu.
Dalam membuat alokasi anggaran ini, masyarakat Swiss menggunakan paradigma akal sehat. Sebab, mereka sadar, negara mereka tidak mempunyai kekayaan apa-apa kecuali air, gunung, dan pemandangan alam yang indah. Karena itu, sumber daya tidak boleh diboroskan begitu rupa, terutama sumber daya laam yang tidak terbarukan, seperti BBM, gas, dan sebagainya. Mereka menginvestasikan uang pajak pada pendidikan dan kesehatan secara habis-habisan.
Warga Swiss sadar, gas dan BBM harus dihemat, sehingga harganya harus mahal dan dikenai pajak lingkungan. Ini untuk memaksa masyarakat berhemat dengan BBM dan gas yang harus diimpor. Karena Swiss kaya dengan air, untuk keperluan listrik mereka menggunakan 70 persen hidro dan 30 persen tenaga nuklir. Walhasil, ongkos listrik di Swiss jauh lebih murah daripada di Indonesia.
Untuk mempertahankan kedaulatan pangan, meski sudah tergolong negara industri masju. Swiss memberikan subsidi besar ke sektor pertanian. Pemerintah melarang konversi lahan pertanian secara sembarangan. Walhasil, di depan wisma Indonesia di Bern pun masih terhitung dalam wilayah ibu kota Bern, masih terhampar luas ladang jagung, gandum, sayur mayur, dan peternakan sapi perah.
Pelajaran yang bisa dipetik dari Swiss ini, selama pemimpin nasiona; kita hanya mencari popularitas dan mengesampingkan nalar sehat, dan itu juga disukai masyarakatnya, jangan harap Indonesia menjadi maju dan modern. Cepat atau lambat kita akan tersungkur ke krisis lagi seperti krismon pada 1997 lalu, mungkin lebih parah.
(Dari Duta Besar Indonesia di Bern, Swiss [thedjokosusilo@gmail.com])