Penyandang Skizofrenia yang Sukses/ Successful People with Schizophrenia

Penyandang Skizofrenia yang Sukses
(Sumber/ Source:Lesmatauw, Triyanto Ediron.2014.”Bingung Lantaran Tiap Bulan ke Dokter dan Dapat Sekantong Obat”. Dalam Jawa Pos, tanggal 8 Februari 2014.)
(Rewritten by Dimas Erda Widyamarta: www.ithinkeducation.blogspot.com)
Orang boleh bilang Triyanto Ediron Lesmatauw sakit. Tapi, dia membuktikan sebaliknya. Dalam kondisi kejiwaan sebagai penyandang skizofrenia, Yanto mampu berkiprah di panggung teater.
Kulitnya putih. Rambut lurus tertata rapi dengan tubuh tegap menjulang 178 sentimeter. Dengan modal itu, Triyanto Ediron Lesmatauw bisa tampil sempurna saat unjuk akting di panggung teater.
Ya, pantas itulah yang membuktikan kemampuan lebih Yanto, sapaannya. Dunia panggung tersebut pula yang kerap digelutinya di banyak waktu, misalnya Rabu itu (5/2). Ketika ditemui Jawa Pos, Yanto sedang duduk memandangi beberapa kawannya yang berlatih teater di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jemursari. “Di pentas sekarang aku nggak ikut. Jadi, nggak ada jadwal latihan”, katanya.
Bagi Yanto, menonton kawannya berlatih adalah hiburan. Tak heran, sesekali dia tersenyum. Tak jarang juga dia tertawa lepas menyaksikan tingkah konyol para aktor gereja tersebut. Terasa betul bahwa pria kelahiran Toli-Toli, Sulawesi Tengah, 16 Juli 1983, itu enjoy dalam latihan tersebut. Yanto juga menikmati candaan yang kadang dilontarkan kawannya.
Di sela-sela menonton, Yanto bercerita bahwa dirinya sudah lama jatuh cinta dengan teater. Setidaknya saat kelas 6 SD. Yang kali pertama tahu bakat Yanto itu justru guru SD-nya. Alumnus Sastr Inggris Universits Kristen Petra tersebut ingat betul saat dia diminta membacakan sebuah puisi tentang salju.
Yanto menceritakan itu sembari mempraktikan bagaimana dirinya berdeklamasi dulu. Dia berdiri denga tangan terentang seolah menatikan butiran salju. “Salju”, katanya sembari bersedekap. Seolah Yanto sedang melawan dinginnya salju yang sedang merasukan tubuhnya. Gaya itulah yang membaut gurunya terkesima. Menurut sang guru, Yanto bisa membaca puisi secara apik dan penuh penjiwaan. Sejak itu, dia kerap ikut teater sekolah.
Aktivitasnya di dunia teater terus berlanjut sampai SMP. Meski, saat kelas 2 SMP (Sekarang kelas 8, Red), Yanto harus tinggal kelas. Sebab, kata Yanto, dirinya lebih suka bermain bola ketimbang duduk di kelas dan mengikuti pelajaran.
Yanto merasa hidupnya normal. Sampai suatu saat, dia diajak orang tuanya ke sebuah rumah sakit. Saat itu, dia sudah kuliah semester satu. Tiga bulan, Yanto dan orang tuanya menyambangi dokter tersebut. Di sana, dia hanya ditanyai kabar oleh dokter, di beri resep obat, lalu dibiarkan pulang.  Selalu begitu sampai enam bulan. Walau demikian ,Yanto masih tidak curiga. Semuanya dirasakan biasa saja.
Sampai pada saat Yanto menyadari ada yang aneh dalam dirinya. Menurut Yanto, keaneha itu muncul saat dirinya mengerjakan soal ujian akhir semester. “Sat itu sedang berlangsung ujian. Dan aku yakin sudah mengerjakan semua soal yang diberika ndan sangat yakin bahwa akan benar semuanya. Tapi, setelah sampai depan, ternyata lembar jawabannya tersebut kosong. Padahal, aku saudah ngisi. Kan itu aneh,” ceritanya dibarengi tawa lebar.
Selain itu, Yanto kerap merasakan ada yang tidak beres di dunianya. Misalnya soal acara televisi. Bagi dia, yang tayang di televisi tersebut kadang bisa dirasakan langsung. Soal berita banjir, contohnya. Begitu televisi menayangkan berita banjir, Yanto langsung merasa melandanya. Tak jarang, reporter yang sedang ngoceh di televisi tiba-tiba muncul dan bercakap dengannya.
Keanehan itu dirasakan kian kuat. Aktivitasnya ke dokter yang kian menanyakan kabar lalu memberinya bekal sekantong obat juga mulai bikin penasaran. Yanto pun membereanikan diri bertanya kepada salah seorang sepupunya, psikolog. Jawaban sepupunya mengejutkan. Yanto dibilang mengidap skizofrenia.
Selang beberapa waktu, Yanto memberanikan diri mengikuti tes kejiwaan di salah satu rumah sakit swasta di kota Surabaya. Ternyata benar, hasil tes juga menunjukkan bahwa dia mengidap skizofrenia. Sejak asat itu, Yanto tahu bahwa yang didatangi rutin setiap bulan adalah dokter ahli jiwa. Begitu pula obat yang diminumnya, itu adalah obat untuk penderita gangguan kejiwaan.
Skizofrenia adalah gangguan jiwa dengan gejala utama berupa waham atau keyakinan salah dan tidak dapat dikoreksi. Gejala lain adalah halusinasi. Secara medis, menurut dr Hendro Riyanto, salah seorang dokter ahli jiwa di RSJ Menur, skizofrenia merupakan kelainan jiwa yang disertai dengan disintegrasi kepribadian dan gangguan kontak dengan kenyataan. Selain itu, menurut Hendro, butuh waktu seumur hidup untuk penanganan kasus skizofrenia.
Karena itu, al yang wajar jika Yanto sangat kaget. Meski begitu, dia berpendapat bahwa vonis tersebut tak bakal bisa mengakhiri kehidupannya. Yanto melakukan berbagai cara agar penyakit tersebut lenyap. Dia mendatangi ahli kejiwaan, ikut tes kejiwaan hingga mencari referensi soal skizofrenia di situs internet. “Aku ingin melakukan semuanya. Apa pun itu, asal aku bsia sembuh” tuturnya penuh semangat.
Bukan ahl mudah memjalani kehidupan nyata di tengah waham yang kerap muncul di pikiran Yanto. Sangat sulit menjalani kehidupan normalsaat dia tidak bisa membedakan mana alam nyata dan ilusi. Tapi, dia tak menyerah.
Kini, Yanto tergabung dalam Teater Imagi, GKI Surabaya. Sudah 10 tahun dia bergabung dengan kelompok tersebut. Sudah banyak cerita yang diperankan, begitu pula tokoh yang pernah dia lakonkan.
Cerita yang paling dikenang Yanto adalah Sobrat, karya Arthur S. Nalan. Drama itu menceritakan kesetiakanan sesama pekerja tambang. Sobrat yang ingin memrangi kesewenangan yang dilakukan sang mador ternyata mendapat bisikan kuat dari iblis yang bernama Mongkleng.
 Mongkleng diperankan Yanto, sosoknya merah bertanduk, gaya bicara lantang, keras, dan sangat licik. Itu, bagi Yanto adalah peran antagonis yang paling sulit.
Dalam keseriusannya mendalami tokoh maupun naskah, tidak jarang dia dihantui waham. “Skzofrenia itu jangan sampai tertekan, yang terjadi adalah marah karena waham yang dia dengar,” jelasnya.
Lagi Yanto harus mengakui bukan hal mudah berada dalam kondisi ketika dituntut profesional, sedangakn dia kerap mendengarkan bisikan yang kadang menyuruh untuk mundur. Di satu sisi, Yanto bersyukur penyakit yang di derita tidak pernah sekali pun kambuh saat dia berada di panggung. Waham yang kerap didengar seolah lenyap begitu saja. Bagi dia, yang dipikirkan bukanlah waham yang kerap didengar, melainkan rasa gugup menjelang pementasan teater. “Biasanya aku melipat tunjuk kaki ke jempol biar nggak grogi,” katanya.
Yanto memang tampak seperti lelaki dewasa yang normal. Gaya bicaranya pun lantang. Meski, tidak jarang dia kerap diam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Sesekali dia kedapatan menggerakkan bibir seakan sedang berbicara. Padahal, tidak ada satu pun lawan bicara di sana saat itu.

Menurut Yanto, menderita skizofrenia bukan akhir dari segalanya. Orang bile menyebutnya sakit jiwa atau gila. Tapi, bagi Yanto itu adalah tantangan bahwa dirinya dikaruniai kondisi yang berbeda. Pun disertai talenta yang luar biasa.