BIOGRAFI NUR KHOLIS MADJID

BAB I
Pendahuluan
Arus Liberalisasi dan Modernisasi Barat telah mempengaruhi pemikiran serta aqidah umat Islam melalui beberapa aspek kehidupan yang mendasar pada agama pluralisme agama. Dianggap sebagai gerakan pembaharuan pemikiran Islam fundamental dan tradisional berujung pada deskontruksi ajaran Islam oleh pemikir Islam Liberal. Gagasan tersebut merupakan sumbangsi otoritas para orientalis serta missionaris barat kepada umat Islam agar mereka berkiblat kepada peradaban Barat yang liberal dan sekuler. Hal ini telah di adopsi oleh Nurcholis Majid dalam menyebarkan pemikirannya yang sekuler serta inklusif. Padahal, sejarah peradaban Barat dibangun oleh produktifitas pemikiran ulama muslim. Berbeda dengan Islam yang telah jelas konsep Tuhan dan hidupnya berdasarkan pada wahyu. Berbagai macam deskontruksi dilakukan dari makna agama Islam, kemajemukan dalam perbedaan agama. Sampai menjujung tinggi paham pluralisme dengan dalih bahwa al-qur’an merupakan firman Allah yang telah menyeru pada persamaan tujuan beragama sampai harusnya Islam memodernisasi priloaku social dan kehidupan. Oleh sebab itu, penulis disini membahas pemikiran Nurcholis Majid yang condong pada 2 faktor utama yaitu sekularisasi dan inklusivisme. Agar kita tidak salah arah dan tujuan terhadap hakekat kemajuan Islam terdapat pada penetapan syari’at Islam. Penulis harap pembahasan ringkas yang diutarakan dalam makalah ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi orang lain pada umumnya.


BAB II
Pembahasan

1. Biografi Singkat Nurcholis Majid
Nurcholish Madjid, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984). Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990. Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988). Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
Pendidikan:
* Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
* Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
* Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
* Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
* The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, Amerika Serikat, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam) Bidang yang diminati Filsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama Sosiologi Agama, Politik negara-negara berkembang
* Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978–1984
* Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984–2005
* Guru Besar, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985–2005
* Rektor, Universitas Paramadina, Jakarta, 1998–2005

Karir (lain-lain):
* Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
* Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
* Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
* Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
* Anggota Komnas HAM, 1993-2005
* Profesor Tamu, Universitas McGill, Montreal, Kanada, 1991–1992
* Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI),1990–1995
* Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
* Penerima Cultural Award ICM, 1995
* Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
* Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998

Penerbitan (sebagian):
* The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view dalam Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
* “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” dalam Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
* “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
* Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
* Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
* Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992)
* Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993)
* Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta, Paramdina, 1994)
* Islam, Agama Kemanusiaan, (Jakarta, Paramadina, 1995)
* Islam, Agama Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1995)
* “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences” dalam Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian Islamic Thoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)

Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.
2. Ide pembaharuan Islam Nurcholis Majid
Nurcholis Majiddianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Nurcholis Majid dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman /ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Nurcholis Majidkeyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, dan dalam hal ini Nurcholis Majid mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Nurcholis Majid tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Nurcholis Majidmeyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi benar-benar imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Majid sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat. Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah. Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an [1], sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Abdurrahman Wahid (Kompas, 30 Agustus 2003) Nurcholish Madjid atau Cak Nur tetap konsisten dengan gaya hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Ia tetap mempergunakan cara-cara menolak pemakaian kekerasan. Ia dimaki-maki oleh begitu banyak orang sehingga sangat lucu melihat bagaimana ia dimaki-maki dan diumpat-umpat untuk berbagai ”dosa” yang tidak pernah dilakukannya. Bahkan, setelah ia meninggal pun, masih ada orang yang menganggapnya ia melakukan hal-hal yang tidak pernah dikerjakannya selama hidup. Cercaan dan umpatan seperti itu sudah menjadi hal yang biasa di telinganya sewaktu ia hidup. Bahkan, setelah meninggal, masih ada yang—karena kekerdilan jiwa—mengatakan secara lisan bahwa ia ”seharusnya sudah bertobat”. Padahal, yang seharusnya melakukan hal itu bukanlah Cak Nur, melainkan orang itu sendiri. Bukankah kitab suci Al Quran memuat salah satu sifat Allah. Kemampuan memberikan maaf kepada siapa pun untuk kesalahan apa pun. Di sinilah terletak kebesaran Cak Nur. Ia berhasil mendidik kaum Muslimin pada umumnya bahwa sifat yang seperti itulah yang harus dikembangkan terus dalam kehidupan mereka.
Adapun menurut Elly Roosita (Kompas, 30 Agustus 2003), ia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, putra sulung almarhum Abdul Madjid ini muncul dengan jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan menjadi milik nasional. Dengan caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya reformasi dengan menolak tawaran duduk di Komite Reformasi.
Pokok-Pokok Pemikiran Nurcholis Majid
a. Sekulerisme
To have failed to solve the problem
of producing goods wolud have been to continue man in his oldest and grievous
misfortune. But to fail to see that we have solved it and to fail to proceed
thence to the next task would be fully as tragic.
Kemajuan suatu bangsa akan berhasil apabila problema ditindak lanjuti setelah
medernitas itu sendiri telah berhasil diwujudkan dalam bentuk kemudahan hidup
dan kemakmuran seperti Barat. Sehingga hal ini membuat Nurcholis Majid
mengajukan pernyataan bahwa, apakah Islam relevan bagi kehidupan modern?
Masalahnya adalah kum muslim menutup dirinya dengan skriptualisme yang amat
kuat, dengan dalih menjaga kemurnian dan keaslian Kitab Suci dan secara tidak
langsung hal ini menghalangi kemodernan atau pembaharuan dalam Islam. Oleh
sebab itu dialog-dialog umat muslim akan berusaha mengenali siapa yang murni
dan mana yang tambahan atau dalam istilah ilmuwan sosial Great Tradition atau
Folk Tradition. Nurcholis Majid menyampaikan
gagasan sekulerisasi dengan menganjurkan Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam
pertama kali pada tanggal 2 Januari 1970 dalam makalahnya yang berjudul
“Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.“
Dan Indonesia saat ini sedang dilanda
oleh beberapa gejala yang menurut orang Barat diidentifikasi sebagai
ekstrimisme atau fundamentalisme tetapi ketika islam mulai migrasi menuju civil
liberties kecemasan itu berkurang. Dengan wacana bebas, bukan hanya
kejelasan-kejelasan yang diperoleh tapi juga proses penisbian, relasi dan
fisasi bahkan lebih radikal dari itu adalah proses devaluasi.
Oleh
sebab itu dalam kaitannya dengan sekularisasi maka kita akan mengenal tiga
prinsip dasar dari sekularisasi yaitu :
1. Disenchantment of nature
Menurut Harvey Cox, senada dengan apa yang diungkapkan oleh Max Weber
seorang sosiolog Jerman, dunia perlu dikosongkan dari nilai-nilai agama dan
rohani. Yang selanjutnya, sains akan
terus berkembang jika dikosongkan dari nilai-nilai agama yang ghaib. Karena
itulah tokoh-tokoh agama konservatif , dunia tidak boleh diperlakukan sewenang-
wenang. Padahal dengan adanya pembebasan dunia dari agama
merupakan kunci utama dalam usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi.
2. Desacralization of politik
Dalam hal ini pembebasan nilai dari
politik yang berarti bahwa politik tidak sakral. Maka dari itu peran ajaran
agama kepada intuisi politik harus disingkirkan. Karena dalam masyarakat
sekuler tidak seorangpun berhak memerintah secara otoritas “ kuasa suci “.
3. Decansencration of value
Prinsip sekularisasi yang ketiga ini adalah pembebasan nilai yang ada atau merelatifkan nilai.menurut sekularis tidak ada yang absolute di dunia ini semuanya bersifat
relative tidak ada kebenaran yang mutlak.. dalam artian system nilai manusia
secular harus dikosongkan dari agama karena perspekti seseorang dipengaruhi
oleh factor social budaya. Jadi sekulerisasi menurutnya, ”
Bukan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis.”
Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya
bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrowikannya. Jika Indonesia kembali pada fundamentalisme Islam ibarat
bahaya narkotika yang selalu membekas dalam diri manusia, pernyataan itu sesuai
dengan cuplikan pidatonya yang menghebohkan ketika menyampaikan pidato
keagamaan di Taman Ismail Marzuki 21 Oktober 1992:
”Karena itu, bagaimanapun, kultus
dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan ridak berdaya. Sebagai
sesuatu yang hanya memberi hubungan ketenangan semua atau palliative, kultus
dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Namun, narkotika
menampilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran, baik
secara individual maupun kelompok karena tidak berpengaruh terhadap kulture
sosial. Adapun kultus dan fundamentalisme dengan sendirinya melahirkan gerakan
dengan disiplin tinggi, maka penyakit yang terakhir ini lebih berbahaya dari
pada yang pertama……..Sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme
sebagai ancaman bagi kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan
bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak kurang
gawatnya.”
Akhirnya pidato itu menuai kritik
dari berbagai kalangan, sebab istilah fundamentalisme tanpa disertai definisi
yang jelas dan pada akhirnya berujung kepada proses stigmatisasi terhadap
sebagian kalangan muslim yang berjuang menegakkan syari’at Islam.
Bagi Cak Nur iman dan aqidah adalah suatu hal yang bebeda, iman menuntut sikar
rendah hati, salalu terbuka bagi semua informasi kebenaran tetapi sekaligus
juga dinamis untuk mengejar kebenaran itu dari sumbernya, yaitu Sang Kebenaran
itu sendiri yang oleh al-Qur’an, Dia Yang Maha Benar itu disebut
Allah……….. Sementara itu akar dari sekuleralisme merupakan modernisasi
yang diorentasikan pada rasionalisasi pemikiran secara sistematis dan efisien.
Dan Islam pada hakikatnya tidak berbicara tentang bentuk negara maupun proses
perpindahan kekuasaan seperti otoritas kaum fundamental. Tetapi doktrin qur’an
menyebutkan bahwa negara yang baik penuh dengan ampunan Tuhan karena kesatuan
umat yang universal bukan Islamic State,
hal ini sesuai dengan firman Allah:
يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات: 13)
b. Teologi ekslusivisme dan inklusivisme
Teologi Ekslusivisme
merupakan paham tertutup yang tidak mau menerima segala sesuatu yang datang
dari luar golongannya. Poenjunjung pemikiran tersebut adalah para
fundamentalisme yang menggaris bawahi bahwa dunia Islam terus menerus mengalami
kemunduran karena sebab eksternal melalui invansi dan serangan kultural politik
dan ekonomi barat maupun internal sebagai nilai serta pengaruh dari faktor
eksternal.
Sedangkan inklusivisme adalah paham terbuka
yang mau menerima segala yang (positif) datang dari luar. Orang-orang
Eksklusif memandang orang lain berdasarkan keturunan, agama, ras, suku, dan
golongan. Mereka tidak mau menerima orang yang dianggapnya tidak cocok dengan
paham atau mazhab yang dianut alirannya. Hal ini kemudian akan menciptakan
sebuah tindakan tertutup yang tidak mau menerima perubahan, kemajemukan, dan
pluralisme agama (dalam konteks agama). Mungkin dalam Islam, sosok Al-Ghazali
bisa dijadikan sebagai wakil dari sekian tokoh Islam yang menganut paham
eksklusif ini. Dia sangat tertutup terhadap filsafat. Bahkan sampai-sampai dia
mengeluarkan klaim ateis atau kafir terhadap tiga filosof muslim klasik secara
terang-terangan dalam bukunya tahafutul falasifah.
Sedangkan Teologi Inklusif sangat berbeda dari ekslusivisme di atas, inklusivisme
memandang orang lain dengan lebih arif dan bijak. Orang-orang inklusif ini
sangat menghargai adanya pluralisme, perbedaan, dan kemajemukan. Mereka memandang semuanya sama seperti dirinya sendiri. Politik pengkafiran pun tidak berkembang dalam paham ini. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa orang inklusif lebih mulia dari pada eksklusif. Jika
di eksklusif ada al-Ghazali, maka tokoh utama yang menganut paham inklusif ini


terpotret pada sosok Ibnu Rusyd. Beliau sangat menjunjung rasionalitas dan
pluralitas, keberagaman dan kemajemukan, baik dibidang agama maupun budaya, dan
nilai-nilai universalitas lainnya. Berangkat dari fenomena seperti itu, teologi
inklusif adalah salah satu solusi yang solutif guna menghapus (mendekonstruksi)
paham jumud dan ekslusif yang telah “membumi” dalam Islam di
Indonesia. Dengan teologi inklusif ini, Islam dapat berkembang ke arah
yang lebih baik dan maju. Maka dari itu, sekali lagi, untuk keluar dari
keterupurukan dan keterbelakangan pemikiran yang kini mendera umat Islam di
dunia dan di Indonesia khususnya, harus menjadikan teologi inklusif sebagai
satu-satunya paradigma dalam menyikapi realitas. Teologi inklusif, dengan
demikian, adalah suatu kemanusiaan universal yang dalam al-qur’an sesuai dengan
firman Allah :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم : 30)
Ayat ini memaparkan tentang wujud agama yang benar bagi setiap iman beragama karena dalam kemajemukan terdapat satu kesatuan yang esoterik. Karena paham
kemajemukan masyarakat adalah bagian amat penting dari tatanan masyarakat maju.
Dalam paham itulah dipertaruhkan, antara lain sehatnya demokrasi dan keadilan.
Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak
kelompok lain atau ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil
kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati, sesuai
dengan firman Allah:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الممتحنة: 8)
Jelas sekali bahwa bangsa kita akan
memperoleh manfaat besar dalam usaha transformasi sosialnya menuju demokrasi
dan keadilan jika pluralisme itu dapat ditanamkan dalam kesadaran kaum Muslim
yang merupakan golongan terbesar warga negara. Secara intern, pluralisme adalah
persyaratan pertama dan ukhuwah Islamiyah.

Nurcholis
tampak berupaya melakukan deskontruksi makna Islam sebagai suatu nama agama
dengan makna generik, yakni sikap pasrah dan kepatuhan terhadap hukum syari’ah.
Pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan kearah pluralis dengan menyatakan
bahwa setiap agama mempunyai ekspresi keimanan terhadap tuhan yang sama ibarat
roda yang berputar, pusat roda tersebut adalah tuhan yang sama melalui jalan
berbagai agama yang heterogen tapi satu makna.
“Jadi Pluralisme adalah
sunnatullah sebuah aturan khusus dari tuhan yang tidak akan berubah, sehingga
tidak mungkin juga dilawan atau diingkari.”
Kritik Atas Pemikiran Nurcholis Majid
Pada awalnya Nurcholis ingin
menunjukkan banyak pengertian tentang sekularisasi yang dimodifikasi dari pemikiran Barat
khususnya Harvey Cox dan Robert N. Bellah. Dengan memahamkannya melalui makna
filosofis dan prinsipil bukan aplikasinya menurut syari’ah.
Budhy
Munawar Rahman, ‘anak asuhnya’ dalam pemikiran-pemikiran keagamaan, mengkritik
ide pluralisme Nurcholis yang berawal dari sekularisme berujung inklusifisme
merujuk dalam bukunya Islam Pluralis. Rahman mengatakan bahwa titik
tolak kesatuan pandangan tentang agama-agama (yang dalam istilah Firthjof
Schuon mungkin boleh disebut filsafat perennial/perennial philosophy)
yang digagas Nurcholis, adalah jelas bersifat Islam, atau belum bersifat
universal jika dilihat dari sudut epistimologi agama-agama. Sehingga
‘teologi inklusifnya’ seolah-olah hanya merupakan proyeksi Islam atas agama
lain. Walaupun memang berbagai konsep yang dikemukakan Nurcholis pada awalnya
memang hanya untuk konsumsi atau untuk memperluas pandangan umat
Islam-Indonesia (yang belakangan cenderung menyempit ke arah anggapan bahwa
agamanya sendiri yang paling benar), namun agar bisa memberi sumbangan dalam
proses dialog antar Iman, maka konsep-konsepnya perlu diperlebar lagi dengan
memberi perhatian terhadap agama-agama lain, dan tidak hanya berangkat dari
idiom-idiom Islam.
Kritik
yang sangat keras dikemukakan oleh Nur Khalik Ridwan, peneliti jebolan IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Melalui buku Pluralisme
Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur), Khalik melakukan
kajian kritis atas gagasan pluralisme Nurcholis. Khalik menganggap pemikiran
Nurcholis, kendati memiliki tingkat liberalisasi tinggi, serta didukung
penguasaan khazanah Islam klasik dan modern, telah menjadi semacam rezim
kebenaran atau hegemoni intelektual bercorak logosentris. Pribadinya cenderung
dikultuskan, dan gagasannya “disakralkan”.
Maka dari itu, haram bagi kaum
muslimin untuk mengadopsi konsep civil society, karena konsep ini adalah konsep
kufur, yakni tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah jadi sekularisasi
ataupun paham inklusifisme dari satu sisi memang memiliki kesamaan dengan
pemberantasan bid’ah, khurafat dan pratik syirik.
Oleh sebab itu segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan
pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari
dan harus dihancurkan, sesuai dengan Allah firman SWT :
“Barangsiapa yang
tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al Maaidah : 44)
“Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari
thaghut itu…”: (QS An Nisaa` : 60)
Pada hakekatnya sekularisai
meletakkan tanggungjawab kedalam manusia untuk membina system nilai yang
mengalami perubahan ataupun evolusi merujuk pada pengalaman hidup dan sosial
masyarakat Kristen. Dengan tegas kami nyatakan, bahwa manusia sekuler akan
mengesampingkan konsep-konsep Islam yang telah mutlak kebenarannya dengan
rasionalisasi social yang memungkiri adanya eksistensi Tuhan di balik kehidupan
duniawi ini.




BAB III
Kesimpulan
Kata sekuler berasal dari bahasa Inggris, Latin, Belanda dan lain-lain, yang berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum artinya zaman sekarang ini. Sedangkan arti yang sebenarnya salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia atau waktu dan mundus adalah
ruang.MenurutnyaSekulermerupakan istilah pararel dalam bahasa Yunani Kuno, Latin dan bahasa Arab. Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Namanya sempat mencuat sebagai salah seorang kandidat calon presiden Pemilu 2004. Ada perbedaan faham yang fundamental antarsesama warga gerakan Islam dan hampir selalu berakhir pada hilangnya toleransi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Nurcholish Madjid atau Cak Nur tetap konsisten dengan gaya hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Ia tetap mempergunakan cara-cara menolak pemakaian kekerasan. Ia dimaki-maki oleh begitu banyak orang sehingga sangat lucu melihat bagaimana ia dimaki-maki dan diumpat-umpat untuk berbagai ”dosa” yang tidak pernah dilakukannya. Perubahan pemikiran Nurcholis yang modern, berawal dari pendidikannya di Amerika. Diintegrasikan dengan pola fikir Islami yang berakhir pada implementasi nilai-nilai Barat yang ia adopsi dari Robert N. Bellah dan Harvey Cox. Sementara asal usul gagasan sekularisasi dikerenakan evolusi agama Kristen yang bertransisi menuju rasionalisasi agama karena konflik konsep tuhan dan hidup mereka yang tidak jelas. Akhirnya nilai- nilai Islam disampingkan dalam kehidupan sosial melahirkan sekularisasi,inklusifisme dan pluralisme dalam Islam yang modern. Padahal semua itu merupakan bid’ahdalam Islam yang harus dihapuskan, karena berpaling dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kehidupan duniawi.

Daftar Pustaka
- http://muminatus.blog.com/pemikiran-nurcholis-majid
- Armas, Adnin M.A, Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003).
- ———————-,dkk, Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholis Majid, Jurnal
Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ( Volume
4, No.2, Jumadal Ula 1428).
- Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta Timur: Hujjah Press 2007).