Dakwah Sepanjang Hayat, Teladan Sepanjang Jalan

Dakwah Sepanjang Hayat, Teladan Sepanjang Jalan

Dunia Muhibin sepertinya penuh dengan perasaan cinta. Kecenderungan
rindu kepada Rasulullah SAW mendorong orang memuliakan para Habib.

Kota Solo ternyata bukan hanya pusat kebudayaan Jawa. Kota yang juga
punya nama lain Surakarta ini juga mampu menampilkan warna lain: wajah
keislaman yang khas. Itulah yang terkesan ketika 9 Juni lalu ber-langsung
haul (peringatan ulang tahun wafat) untuk Habib Al-lmam Al-Allamah Ali
bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, ulama besar yang juga dikenal
sebagai penulis puisi puja-puji bagi Rasulullah SAW, berjudul Simtud Durar
(Untaian Mutiara). Puluhan ribu orang, dari berbagai penjuru tanah air,
berdatangan sembari merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, sehari
kemudian. Acara ini memang lain dari yang lain: ribuan habib - para ulama
yang masih memiliki nasab (garis keturunan) sampai ke Rasulullah SAW -
berdatangan dari berbagai kota, bahkan dari luar negeri.

Acara di Jalan Gurawan, Pasarkliwon, yang memang dikenal sebagai
permukiman kaum muslimin keturunan Arab itu, rupanya tak terlepas dari
peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW sebelumnya yang digelar
di berbagai kota. Bagi para habib, peringatan Maulid memang merupakan
tradisi yang cukup istimewa. Jika kaum muslimin pada umumnya merayakan
Maulid - baik dengan mendendangkan puisi Barzanji atau Diba'i maupun
tidak - hanyalah peringatan biasa, bagi komunitas habaib (jamak habib)
cara seperti itu merupakan sebuah ritus tersendiri. Puisi puja-puji bagi
keteladanan akhlak Rasulullah SAW pun dibacakan, khususnya Simtud
Durar. Dalam kesempatan lain mereka juga membaca beberapa ratib (dari
rathibul wirid), terutama Ratib Al-Haddad atau Ratib Alatas.

Dunia habaib mempunyai ciri dan warna yang sangat khas. Dalam
keseharian, mereka rata-rata mengenakan jubah, sarung (atau celana
panjang) dan sorban serba putih. Sebagian diantaranya memelihara
cambang nan subur atau menenteng tasbih kecil untuk selalu berzikir.
Aroma minyak wangi misyik tercium semerbak manakala mereka lewat,
salam dan senyum selalu bertebaran, terasa sangat santun. Setiap kali
bertemu dengan sesama habib atau ulama, mereka bersalaman disertai
saling peluk, bahkan mencium kedua belah pipi.

Tutur kata mereka pun lembut, tapi berisi. Satu lagi yang tak bakal
ketinggalan: dalam sebuah acara rakhah- pengajian kitab klasik tentang
salah satu ilmu agama - selalu terhidang nasi kebuli, kopi jahe, kadang-
kadang juga "nasi minyak". Sebagian dari komunitas ini juga masih
melanggengkan tradisi khas Arab - "makan berjemaah": duduk mengelilingi
nampan berisi nasi kebuli menggunakan tangan, bukan sendok, yang
memang menggambarkan keakraban. Ter¬utama, jika jumlah hadirin cukup
banyak. Dan yang hampir selalu ada: aroma asap gaharu (dalam acara
resmi) atau luban alias dupa (di rumah tangga) yang menyeruak di seantero
ruangan.

Sehari sebelum acara resmi - pembacaan rawi Maulid (biografi Rasulullah
SAW), diikuti tausiah (ceramah, nasihat) dan doa - mereka biasanya
menggelar samar, yaitu acara santai: hadirin duduk beramah-tamah sem¬bari
mendengarkan musik berirama Timur Tengah, seperti kasidah atau gambus.
Pada kesempatan itu biasanya ada beberapa anak muda (selalu lelaki!)
yang menari tarian khas Yaman yang disebut zapin.

Dan yang pasti, ada semacam rasa tanggung jawab di kalangan para habib -
sebagai cicit Rasulullah SAW - untuk selalu meneladani keluhuran akhlak
kakek moyang mereka yang sangat mulia: Rasulullah Muhammad SAW.
Bukan hanya itu, mereka juga merasa berkewajiban melanjutkan misi
dakwah Rasulullah SAW ke segenap penjuru bumi. Bisa dimaklumi jika
banyak di antara mereka yang kemudian termasyhur sebagai ulama, sufi,
atau mubalig besar. Bahkan ada diantara mereka yang tampil sebagai
pejuang kemerdekaan atau sultan di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Secara harfiah, habib berarti "kekasih" - tiada lain lantaran mereka
mempunyai nasab langsung kepada Rasulullah SAW. Dan memang, istilah
habib atau habaib sering dimaksudkan sebagai cucu-cicit Rasulullah SAW.

"Tapi, sebetulnya istilah untuk keturunan Rasulullah SAW tidak hanya
habib. Ada pula syarif bagi laki-laki dan syarifah bagi perempuan. Dan
banyak lagi istilah lainnya. Yang jelas, para habib, meskipun memang
keturunan Rasulullah SAW, sama saja dengan manusia yang lain, tidak
eksklusif. Yang menandai ketidaksamaannya adalah ketu¬runan Rasulullah
SAW saja," kata Habib Abdurrahman Abdulkadir Basurrah, salah seorang
pengurus Rabithah Alawiyah, himpunan para habib di Indonesia.

Di Indonesia, tidak sedikit habib yang dikenal sebagai sultan, pejuang atau
intelektual yang cukup menonjol. Diantaranya Sul¬tan Pontianak IX (Sultan
Syarif Abubakar bin Machmud Alkadrie), Sultan Siak (Sultan Syarif Kasim
II), Sultan Ternate (Sultan Mudzaffari Syah), Sultan Cirebon (Syarif
Hidayatullah alias Sunan Gunungjati), atau Sultan Banten (Maulana
Hasanuddin). Sementara Sayid Utsman dikenal sebagai ulama besar dan
penulis kitab yang produktif, dan Raden Saleh Syarif Bustaman adalah
pelukis kesohor, bahkan telah dinobatkan sebagai perintis seni rupa
Indonesia. Ulama besar, antara lain, Habib Ali Al-Habsyi (Kwitang,
Jakarta) dan Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Solo), Habib
Hasan Al-Haddad (Koja, Tanjung Priok), Habib Husein Abubakar Al-
'Aydrus (Luarbatang, Pasar Ikan). Dua habib yang terakhir juga dikenal
sebagai pejuang kemerdekaan.

Sesudah generasi tersebut, belakangan lahirlah sejumlah ulama termasyhur,
seperti Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Solo),
Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (Jakarta), Habib Abdurrahman bin AIi
Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta), dan Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan) -
ketua Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah. Sementara
ada pula yang tampil sebagai politikus atau intelektual, seperti Hamid Al-
Gadri, Ali Alatas, Alwi Syihab, dan Quraish Shihab.

Para habib di Indonesia umumnya datang dari beberapa kota di Hadramaut,
Yaman, kawasan barat daya Jazirah Arab, seperti Sewun, Huraidhah, 'Inat,
Ghurfah, dan Syibam. Sementara yang berasal dari Tarim, puluhan
kilometer di sebelah barat daya Ha¬dramaut, ibu kota Yaman itu, tak terlalu
banyak. Mereka adalah keturunan Rasulullah SAW dari garis Ali bin Abi
Thalib yang disebut ahlul bait. Dari sanalah mereka menyebar ke seluruh
dunia, termasuk ke Nusantara. Umumnya mereka pedagang merangkap
mubalig, tapi belakangan di tempat berdakwah tidak sedikit di antara
mereka yang tam¬pil sebagai penguasa, pejuang, juga intelek¬tual.

"Sebagian besar waktu mereka untuk berdakwah. Hal itu sesuai dengan
perintah Ra¬sulullah SAW dan para leluhur kami, bahwa sebagian besar dari
masa hidup kami dihabiskan untuk berdakwah demi syiar Islam," kata
Habib Abdurrahman Abdulkadir Basurrah lagi. Dengan kata lain, mereka
ber¬dakwah - dan memberikan keteladanan berupa akhlak Rasulullah SAW
- sepanjang hayat.

Tapi, mengapa mereka hijrah, menyebar ke seluruh dunia? Bermula dari
Basrah, Irak, yang pada abad keempat Hijri kacau balau. Pemberontakan,
krisis ekonomi, pertikaian antar penganut mazhab, bencana alam, datang
silih berganti. Pemerintahan Khalifah Abbasiyah yang sempat mencapai
kejayaan di era Khalifah Harun Alrasyid, mengalami dekadensi dan
berangsur-angsur lemah. Pada tahun 317 H, Khalifah Al-Muqtadir Billah
dilengserkan, lalu digantikan oleh saudaranya, Muhammad bin Mu'tadhid.
Namun, pada tahun itu juga, Al-Muqtadir berhasil merebut kembali
kekhalifahannya.

Saat itulah Imam Ahmad bin Isa - tokoh terkemuka para ahlulbait - hijrah
dari Basrah ke Medinah bersama sekitar 70 orang, terdiri dari anggota
keluarga dan para sahabatnya. Mereka menghindar dari berbagai konflik,
pertikaian, musibah dan fitnah, selain untuk menyelamatkan keluarga dan
agama - sebagaimana kakek moyang mereka, Ra¬sulullah SAW, yang
berhijrah dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan ke¬luarga,
sahabat dan pengikutnya, serta aga¬ma. la adalah keturunan langsung
Rasulullah SAW dari garis Husein, cucu Nabi. Salah seorang kakeknya
ialah ulama besar Imam Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin
Fathimah Az-Zahra binti Rasulillah SAW (lihat: Pengembaraan Al-Muhajir).

Bermukim selama setahun di Medinah, Imam Ahmad - yang oleh generasi
sesudahnya digelari Al-Muhajir (Yang Hijrah Pertama Kali dari Basrah) -
melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji pada 318
H. Dari Mekah ia meneruskan perjalanan ke Yaman menempuh perjalanan
sekitar 1.000 kilometer dengan mengendarai kuda dan unta. Maka
sampailah ia di Lembah Dau'an di Al-Jubail, lalu singgah beberapa saat.
Tak lama kemudian ia membawa kafilahnya menuju Al-Hajrain, sebuah
kota yang masyhur. Di sana ia membeli sebidang tanah; tapi tak lama
kemudian pindah lagi ke kota bandar Al-Husaisah, antara Sewun dan
Tarim. Di Husaisah inilah Imam Ahmad wafat pada 345 H. Makamnya
yang hingga kini diziarahi, terletak di puncak sebuah bukit kecil hingga
terlihat dari semua arah.

Mengapa ia memilih ke Yaman? Sebab, negeri ini telah lama ditunjuk oleh
Rasulullah SAW sebagai tempat yang diberkati oleh Allah SWT, tempat
berlindung bagi kaum muslimin yang dilanda fitnah. "Warganya pengasih,
tanahnya diberkati, ibadah di sana pahalanya besar," sabda Rasulullah
SAW.

Dari Tarim, Sewun dan Husaisah inilah keturunan Imam Ahmad menyebar
ke segenap penjuru dunia. Salah seorang keturunannya ialah Imam Alawi
bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. "Dari sinilah bermula munculnya nama
Alawiyin," tutur Habib Abdurrah¬man Abdulkadir Basurrah. Khusus bagi
kaum Alawiyin asal Hadramaut ini, mereka disebut juga Keluarga Besar Ba'
Alawi. Sementara kaum Alawiyin di Syria belakangan menjadi Sekte
Alawiyah. Presiden Republik Syria sekarang, Hafidz Assad, adalah
keturunan Ala¬wiyin Syria.

Dan yang sangat istimewa ialah, banyak diantara keturunan Imam Alawi bin
Ubaidillah yang kemudian menjadi ulama besar yang berilmu tinggi. Mereka
rata-rata bermazhab Syafi'i, tidak sedikit pula yang menjadi mubalig
kesohor. Maka gerakan dakwah mereka pun menyebar sampai ke Afrika
Timur dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, keturunan mereka menguasai
beberapa kawasan yang kemudian menjadi sangat penting, baik dari segi
politik, ekonomi maupun budaya. Me¬reka tidak hanya menjadi penguasa
atau sul¬tan di beberapa daerah di Indonesia, tapi ju¬ga di Campa
(Kampuchea atau Kamboja), Moro (Filipina Selatan), Brunei dan Malaysia.
Hampir semua sultan di negara bagian Ma¬laysia, misalnya, adalah kaum
Alawiyin. Me¬reka keturunan langsung nasal (marga) Jamalulail, termasuk
raja Malaysia sekarang, Yang Dipertuan Agong As-Sayid Sirajuddin
Jamalulail.

Merekalah pula yang pertama kali berdak¬wah sampai ke Asia Tenggara.
Dalam bukunya Adat Istiadat Bangsa Moro dan Agamanya, Dr. Naggeb
Syaliby menulis, para mubalig di Filipina adalah keturunan Alwi bin
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Alwy bin Abdillah bin Ahmad bin
Isa Al-Muhajir. Sementara mubalig yang berdakwah sampai di Campa
(Kampuchea), Semenanjung Malaya, Sumatra hingga Jawa, adalah Sunan
Auliya atau Syarif Auliya, keturunan langsung Syekh Ahmad bin Abdullah
bin Abdul Malik bin Alwi.

Dalam pada itu, pada tahun 30 H / 651 M - selang 20 tahun dari wafatnya
Rasulullah SAW - Khalifah Utsman ibn Affan mengirim delegasi ke Cina
untuk memperkenalkan Daulah Islamiyah yang belum lama berdiri. Dalam
perjalanan selama empat tahun, para utusan Khalifah sempat singgah di
kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 674 M, Dinasti
Umayah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatra. Pada saat
itulah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam.


Mula-mula mubalig dari Hadramaut itu datang sebagai pedagang. Di

belakang hari, mereka diikuti oleh beberapa kafilah, baik pa¬ra pelaut

maupun pedagang muslim. Mereka membeli hasil bumi dari negeri setempat

sambil berdakwah. Dakwah mereka sangat persuasif, damai, sehingga

terjadi akulturasi antara Islam dan budaya setempat. Lambat laun penduduk

pribumi banyak yang memeluk Islam meski belum secara besar-besaran.



Dalam kitab Tarikh Hadhralmaut, migrasi kaum Alawiyin itu disebut sebagai

yang terbesar di sepanjang sejarah Hadramaut. Dalam pada itu muncul

beda pendapat di kalangan sejarawan, apakah Islam masuk ke Nusantara

dari Hadramaut, Yaman, atau dari Gujarat, India. Melihat banyaknya

jumlah migran dari Ha¬dramaut, dan pola pikir kaum muslimin Nu¬santara

serta mazhab yang mereka anut, yaitu mazhab Syafi'i, kiranya tak salah jika

dakwah Islam yang pertama kali marak di Nu¬santara berasal dari

Hadramaut.



Tapi, ada juga sejarawan yang berpendapat, mubalig yang berdakwah di

Nusantara, khususnya Jawa, berasal dari Gujarat. Salah seorang di antara

mereka ialah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang ju¬ga dikenal sebagai

salah se¬orang dari Wali Sanga alias Sembilan Wali. Menurut Sayid Ahmad

Abdullah Assegaf dalam kitab Al-Hikmatul 'Asyirah, Mau¬lana Malik

Ibrahim bermarga Khan, karena ia berasal dari Gu¬jarat. Sayid Ahmad juga

menulis novel Fatat Garut (Solo, 1929) yang sudah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia, Gadis Garut (Jakarta, 1997).



Bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat, sesungguhnya masuk

akal juga. Sebab, begitu menurut versi sejarawan yang lain, sebelum sampai

ke Nusantara, (sebagian) mubalig asal Hadramaut itu ada pula yang singgah

dan berdakwah di India. Maka bisa dimaklumi jika banyak pula ulama India

dan Pakistan yang mempunyai nasab sampai ke Rasulullah, seperti Sayid

Mu¬hammad Ali An-Nadwi (India) - yang bersama Mohamad Natsir

(Indonesia) mendapat penghargaan sebagai ulama atau zuama dari (alm.)

Raja Arab Saudi, Faishal bin Abdul Aziz (1978). Sementara di Pakistan

kita mengenal ulama besar yang sangat terkenal di Indonesia, yaitu Sayid

Abul A'la Al-Maududi, seorang ulama modernis.



Singkat kata, pada abad ke-14 dan 15 itu¬lah fajar Islam mulai marak di

Nusantara. Adalah Aceh, kawasan paling barat Nusantara, yang pertama

kali menerima dakwah Islam. Bahkan di sana pula kerajaan Islam yang

pertama di Indonesia berdiri, yakni Kerajaan Samudera Pasai, dengan

penguasanya seorang muslim, Sultan Malikus Shalih. Menurut catatan

Marcopolo, seorang pengelana yang masyhur dari Italia, ketika singgah di

Pasai pada 1292 M / 692 H, ia menyaksikan sejumlah mubalig asal

Hadramaut yang ber¬dakwah di sana. Catatan Ibnu Batuthah, pengembara

muslim dari Maghribi (Maroko), juga menyebutkan, ketika singgah di Aceh

pada 1345 M / 746 H, ia menyaksikan kaum muslimin beribadah

berdasarkan maz¬hab Imam Syafi'i.



Generasi ulama dan mubalig itu tentu saja juga meninggalkan jejak sejarah.

Salah satunya, yang tertua, ditemukan di Gresik, Jawa Timur, pada abad

ke-11. Peninggalan itu an¬tara lain makam seorang muslimah bernama

Fathimah binti Maimun yang pada nisannya tertulis angka tahun 475 H /

1082 M, sezaman dengan Kerajaan Hindu / Buddha Singasari.

Diperkirakan, yang terkubur di sana bukanlah pribumi, melainkan

pendatang dari Hadra¬maut.



Sampai tiga abad kemudian setelah Fathi¬mah binti Maimun wafat, proses

pengislaman penduduk pribumi Nusantara belum ter¬jadi secara besar-

besaran. Baru pada abad kesembilan H / 14 M, penduduk pribumi

Nusantara memeluk Islam secara massal. Itu berarti, basis keislaman di

Nusantara berhasil ditanamkan selama tiga-empat abad secara terus-

menerus, Menurut para sejarawan, faktor keberhasilan pengislaman secara

massal tersebut, antara lain, karena saat itu kaum muslimin memiliki

kekuatan politik yang cukup berarti.



Ketika itu memang sudah ber¬diri beberapa kerajaan Islam seperti di

Malaka, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Siak, Pontianak, Demak,

Cirebon, dan Ternate. Para sultan yang berkuasa di kerajaan-kerajaan

tersebut berdarah campuran, keturunan raja pribumi Pra-lslam dan para

pendatang dari Hadramaut. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M

itu, antara lain, juga lantaran semakin surutnya kekuatan dan pengaruh

beberapa kerajaan Hindu / Buddha di Nusan¬tara, seperti Majapahit,

Sriwijaya, dan Parahiyangan.



Mubalig besar yang pertama kali mensyiarkan Islam di tanah Jawa ialah

Syekh Maula¬na Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, yang adalah salah

seorang Wali Sanga - sebagaimana telah disebut. Salah seorang putra

Syekh Maulana ialah Raden Rahmat alias Sunan Ampel di Surabaya. Raden

Rahmat menurunkan Sunan Giri - yang di belakang hari juga terkenal

sebagai "anggota" Wali Sanga, berkedudukan di Tuban. Dua lagi "anggota"

Wali Sanga yang juga masih keturunan Rasulullah SAW ialah Sayid Ja'far

Shadiq alias Sunan Kudus di Kudus; dan Sya¬rif Hidayatullah alias Sunan

Gunungjati di Cirebon. Adapun Sunan Kalijaga, berdarah Jawa asli.




Dan yang sangat menarik ialah, ternyata Jaka Tingkir juga masih mempunyai

nasab sampai ke Rasulullah SAW. Jaka Tingkir yang juga dikenal sebagai

Pangeran Hadiwijaya adalah pendiri Kerajaan Pajang, beberapa saat

setelah surutnya kerajaan Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak

Bintara. Jaka Tingkir punya nama yang menyiratkan bahwa dia seorang

habib: Sayid Abdurrahman Basyaiban. Tahun lalu wartawan Alkisah,

Musthafa Helmy, yang berziarah ke makam Mbah Sambu di Lasem,

Rembang, Jawa Tengah, melihat prasasti marmer ukuran kecil dalam

bahasa Arab yang menyebutkan bahwa nama Mbah Sambu yang

sebenarnya ialah Sayid Abdurrahman bin Hasyim bin Sayid Abdurrahman

Basyaiban.



Menurut H.A. Hamid Wijaya, mantan khatib am Syuriah NahdlatuI Ulama

dan anggota DPR-GR dari Partai NU tahun 1960-an, Sayid Abdurrahman

Basyaiban adalah Jaka Tingkir. Hamid Wijaya sendiri mengaku sebagai

keturunan Jaka Tingkir. Itu sebabnya ia menggunakan nama belakang

Wijaya (dari Hadiwijaya). Setidaknya ada tiga orang keturunan Mbah

Sambu yang menjadi orang besar: Kiai Mutamakkin (Pati), penulis kitab

tasawuf dalam bahasa Jawa (Serat Cabolek), Kiai Saleh Darat (Semarang);

dan K.H. Hasyim Asy'ari;(Jombang), pendiri Nahdlatul Ulama.



Begitulah, sepanjang lima abad - dan abad ke-14 / 15 sampai abad ke-20 -

Islam telah memperkaya khazanah budaya dan kerohanian bangsa-bangsa

di Asia Tenggara. Dan itu semua tiada lain berkat perjuangan dan dakwah

yang gigih, tak kenal lelah, dari para ulama dan mubalig yang sungguh
ikhlas,

baik yang hijrah dari Hadramaut, Gujarat, maupun yang pribumi asli.



Semuanya itu mengikuti wasiat Rasulullah SAW, li i'la-i kalimatillah hiyal

'ulya (demi meninggikan kalimah Allah yang sungguh agung). Seorang

diantaranya Habib Abubakar Alaydrus, yang dimakamkan di Luarbatang,

Pasar Ikan, Jakarta Barat. Dia berdakwah pada abad ke-18, sekaligus

memberdayakan kekuatan potitik kaum pribumi melawan kolonialis kafir

Belanda.



Adapun dewasa ini, para ulama dan mu¬balig - terutama dari komunitas

habaib - masih terus berdakwah, mengikuti jejak kakek moyang mereka.

Diantara mereka, Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi

(Gurawan, Pasar Kliwon, Solo) dan Habib Abdurrahman bin Ahmad

Assegaf (Bukit Duri, Tebet, Jakarta Pusat). Habib Anis adalah ulama dan

mubalig dengan banyak murid; sementara Habib Abdurrahman dikenal

sebagai seorang intelektual dengan referensi ribuan kitab.



Keistimewaan pribadi Habib Anis ialah, ia mampu melestarikan dakwah

yang pernah dirintis oleh ayahandanya secara konsisten, mengelola dengan

baik se¬mua kegiatan ibadah di Masjid Riyadh di Gu¬rawan, kegiatan ilmiah

dan sosial di Zawiyah yang terletak di samping masjid. Habib Anis dikenal

sebagai ulama yang bersahaja dan tawaduk. Bisa dimaklumi jika ia

dianggap sebagai salah seorang yang layak diteladani. Wajahnya yang

teduh, tutur katanya yang lembut, senyumnya yang ramah, merupakan ciri

khas pribadinya. "Habib Anis selalu tampak gembira ketika bertemu dengan

siapa pun. Tamu dan kenalannya dari berbagai kalangan, kelas atas maupun

bawah. Meskipun sudah lelah, ia selalu menghormati tamu dengan perasaan

gembira," ujar Habib Husain Mulachela, salah seorang santrinya.

Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, menghormati dan

memuliakan tamu - siapa pun dia - sangat dianjurkan, karena merupa¬kan

akhlak yang mulia.



"Kesederhanaan itu, misalnya, bisa kita lihat dari kamarnya. Bandingkan

dengan kamar tamu yang sengaja ia buat di Masjid Ar-Riyadh yang tidak

kalah dengan kamar hotel kelas berbintang. Itu baru salah satu contoh

bagaimana Habib Anis meneladani perikehidupan Rasulullah SAW.

Menurut Habib Anis, keturunan Rasulullah SAW harus meniru akhlak mulia

Rasulullah SAW lebih dari orang lain," kata Habib Husain Mulachela lagi.



Lain lagi dengan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, 96, dari

Bukitduri, Tebet, Jakarta Selatan. Ulama yang satu ini sangat tekun dalam

ilmu pengetahuan agama. Di lingkungan kaum muslimin, khususnya di

Jakarta, Habib Abdurrahman menjadi rujukan dalam ilmu-ilmu keislaman.

Hari-harinya pun tak pernah lepas dari kegiatan mengajarkan berbagai

kitab. "Sejak muda Walid memang selalu tekun dan bersemangat dalam

belajar" kata Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, putra kedua Habib

Abdurrahman, yang selalu memanggil ayahandanya dengan sebutan walid

(ayah). Semangat itu tampak memancar ketika acara pengajian tiba. Meski

usianya sudah lanjut, ia akan tampak bugar untuk datang dalam setiap

pengajian.



Di rumahnya, setiap hari ia mengajarkan ilmu agama dari segudang "kitab

kuning". Disebut "kitab kuning" karena memang kertasnya berwarna agak

kekuning-kuningan. Kitab jenis itu memuat ilmu-ilmu agama, dan lazim

disebut kitab klasik. Muridnya ribuan, datang dari berbagai penjuru Jakarta.



Siapakah ulama dan intelektual yang su¬dah sangat langka ini? la lahir di

Bogor dari pasangan Habib Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Utsman

dan Syarifah Fatimah. Di masa mudanya ia mencicipi ilmu agama dari

sejumlah ulama kesohor, seperti Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, salah

seorang mufti Johor (Malaysia), Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-

Haddad, Habib Ali bin Husein Alatas (Bungur), Habib Ali bin Abdurrahman

Al-Habsyi dan Habib Abdullah bin Muhsin Ala¬tas - yang juga dikenal

sebagai Habib Empang, Bogor.



Di masa mudanya, salah satu kelebihan Habib Abdurrahman Assegaf ialah

kemampuannya yang luar biasa dalam memahami nahwu sharaf alias

paramasastra atau tata bahasa Arab, ketika mendalami sejumlah ki¬tab

kuning. Sebab, memang hanya dengan cara itulah seorang sastri akan

mampu me¬mahami bahasa klasik kitab kuning. Sekitar tahun 1960-an

Habib Abdurrahman menderita buta selama lima tahun. Namun, kendala

seperti itu ternyata tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap

menegakkan syiar Islam. Pada masa-masa itulah ia menyusun serangkaian

puisi indah berupa puja-puji terhadap keagungan Allah SWT dalam rangka

bertawasul. Belakangan, doa tawasul itu diberinya judul Tawasul Al-Walid

Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf



Itulah sekelumit rangkaian berkah dan rahmat yang tak tepermanai indahnya

dari abad ke abad, sebuah anugerah Allah SWT bagi bumi Nusantara,

melalui amal ibadah para utama dan mubalig yang tak kunjung kenal lelah

menunaikan dakwah Islamiah. Semoga segala amal ibadah mereka

mendapat rida dan magfirah dari Allah SWT. Amin.





***NH/BSH, dari berbagai sumber*lng

----------------------------------------------------------------------------



"huttaqi" dari kata 'hu' yang artinya 'Dia', 'taqi' yang berarti 'taqwa'.
jadi 'huttaqi' adalah 'Dia yang lagi menuju taqwalloh'.