Kebangkitan Islam Diaras Lokal ; Konstruksi Identitas Dakwah HMI Atas Problematika Ummat dan Bangsa
“Diakhir-akhir ini kita dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang notabenenya mayoritas agama masyarakatnya adalah Islam, disisi lain mata kita seolah terbelalak oleh serentetan kejadian dan kerumunan massa yang bergerak atas nama agama, kerusuhan sosial ini muncul diakibatkan kerena bermacam perspektif dalam memahami agama itu sendiri”
#################
Islam adalah ajaraan Allah yang sempurna dan diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia dan masyarakat, akan tetapi kesempurnaan ajaran Islam hanya merupakan ide dan angan-ngan saja jika ajaran itu tidak diamalkan dan disampaikan kepada manusia.
Lebih-lebih jika ajaran itu tidak diamalkan dalam kehidupan, oleh karena itu dakwah merupakan suatu aktifitas yang sangat penting dalam keseluruhan ajaran Islam. Dengan dakwah Islam dapat diketahui, difahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia dari generasi-kegenerasi berikutnya. sebaliknya tanpa dakwah terputuslah generasi manusia yang mengamalkan Islam dan selanjutnya Islam lenyap dari permukaan bumi.
Realitas inilah yang mungkin saya anggap menjadi keprihatinan kita semua dalam memaknai dakwah baik itu bersifat lisan perbuatan maupun dalam amalan.
Promlematika Kontemporer
Baru beberapa saat kemarin kita dihadapkan pada beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia. Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots) itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di negara yang dulunya dikenal damai dan ‘adem ayem’ ini. Konflik sosial yang sejatinya merupakan bagian dari a dinamic chance dan karenanya bersifat positif telah berubah menjadi amuk massa yang nggegirisi yang sulit diprediksi kapan berakhirnya.
Banyak orang kemudian susah mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di hampir semua tempat di tanah air berbuntut pada ketidakmampuan menemukan formula jitu bagi sebuah resolusi konflik yang manjur. Sesuai dengan bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang memang beragam, beragam pula faktor penyebabnya. Penyebab konflik dapat berupa faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesen-jangan budaya, sentimen etnis dan agama. Hanya saja, faktor ekonomi dan politik sering ditunjuk berperan paling dominan dibanding dua faktor yang disebut terakhir. Kendati acap terlihat di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan simbol-simbol agama misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah, namun pertentangan agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.
Meskipun demikian, tidak ada salahnya (bahkan teramat penting untuk diabaikan) bagi umat beragama untuk mengkaji dan menemukan cara yang efektif bagi penghayatan, pengamalan sekaligus penyebaran ajaran agama di tengah masyarakat Indonesia yang plural ini. Ada be-berapa alasan mengapa aktifitas demikian terasa penting untuk dilakukan. Salah satunya, karena agama–disebabkan sempitnya pemahaman para pemeluknya secara potensial memang berpeluang menyulut konflik.
Ada tiga ancaman yang bakal memicu konflik, pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuan¬titatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas keimanan para peme¬luknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama yang berbeda. Guna meminimalisir ancaman seperti ini, maka mau tidak mau umat Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional dan dewasa. Pendekatan yang tergolong sebagai pendekatan kultural di mana penganut agama diharapkan melakukan pembinaan secara internal ter¬hadap anggotanya ini dirasa lebih efektif dalam rangka menata hubungan antar umat beragama dibandingkan dengan pendekatan struktural yang melibatkan campur tangan pemerintah.
Pendekatan Normatif Dakwah (rational intelection)
Disinilah kita harusnya lebih kritis dan korektif terhadap pemaknaan dan pemahan keIslaman, bila kita runut dari bermacam konflik termasuk Tragedi Insiden Monas malah menjadikan orang nonmuslim memahami Islam atau dalam kondisi yang tidak menentu menjadikan ketakutan bagi mereka karena Islam difahami anarkis dan tampak garang.
Apakah kita sebagai bagian dari ummat Islam hanya diam saja atau termenung melihat realitas sosial yang sudah tidak karuan, tentunya tidak seperti itu karena kita harusnya tergerak untuk menghapus dan menghilangkan paradigma fatamorgana tentang Islam yang garang dan menakutkan.
Dalam sejarah Islam, agama yang dibawa oleh Nabi disebarluaskan secara damai tidak lewat kekerasan, dan peperangan sesudahnya adalah bentuk mempertahankan Islam dalam bingkai diri untuk melepaskan dari penindasan penguasa yang tirani. Nabi sendiri tidak pernah memaksa penduduk daerah yang ditundukkan atau orang yang dikalahkan untuk masuk Islam, hal ini bisa dilihat dalam perjanjian Nabi dengan orang yahudi madinah. Dalam perjanjian itu dijelaskan bahwa nabi menjamin kebebasan beragama dan berpendapat.1
Tabligh agama atas semua usaha dan upaya merealisir ajaran islam yang dibawa Nabi dalam segala aspek kehidupan manusia inilah yang menjadikan tabligh sebagai bagian dari dakwah dengan memberi kabar gembira. Termasuk gerakan politik itu juga bisa disebut dengan aktifits dakwah yang telah melahirkan revolusi Qaromithah Iaslamiyah di syiria pada 902-907 M.
Sebenarnya kalau kita merunut dari tujuan dakwah sendiri adalah diturunkannya Islam sebagai bentuk perbaikan pada manusia itu sendiri baik dari kualitas akidah, ibadah serta akhlak yang tinggi. Dengan adanya dakwah seharusnya malahan dapat merubah manusia menjadi lebih baik. Bukan malah dijadikan alat untuk mendoktrin oleh mazhab dan sekte demi kepentingan politik tertentu, inilah bentuk lain dakwah yang merebak dibangsa ini.
Istilah dakwah digunakan dalam al Qur’an baik dalam bentuk fi’il maupun bentuk masdar berjumlah lebih dari seratus kata. Terlepas dari itu pemakaian kata “dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di Indonesia adalah sesuatu yang tidak asing lagi yang berarti seruan dan ajakan. Secara terminologi dari istilah dakwah Islam sebagai kegiatan mengajak, mendorong dan memotifasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meneliti jalan Allah dan istiqomah dijalanNya serta berjuang bersama meninggikan agama Allah. Kalau mencermati dan mendefinisikan dakwah memang tidak ada habisnya tapi kita tidak saja berkutat pada definisi karena setiap ulama memaknai dakwah bermacam-macam sesuai dengan sosiologi ruang lingkup masyarakatnya. Inti dakwah sendiri adalah dimana terjadi perbaikan dan kesejahteraan dan keadilan sosial bukan malah menambah jumlah pemeluk islam saja, akan tetapi yang paling utama adalah bgaimana dapat berpihak ada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.
Dalam realitas kehidupan bermasyarakat secara luas dimana perbedaan-perbedaan (pluralitas) sangat dimungkinkan terjadi dan dakwah Islam haruslah lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan bentuk-bentuknya, karena kalau merunut dari dalil qat’i dan dzanni dan hadits dll, akhirnya kita terjebak pada teks, padahal Islam mengajarkan bagaimana kita sebagai ummat yang memeluk Islam harus respek dan memahami bagaimana konteks masyarakat yang kita hadapi dan disitulah peran dakwah baik strategi metode dan realisasi perannya diuji dan universalitas Islam dijelaskan.
KeUniversalan, kerahmatan dan kemudahan islam menampilkan secara kontekstual yang merupakan aktifitas dakwah kultural secara cerdas untuk mencari titik-temu antara hakekat islam dan tuntutan zaman yang terus berkembang, dan bisa memaknai dakwah dari sisi esoteris, estetis dan etis. Dengan berusaha bagaimana islam difahami sebagai bentuk kepedulian dan mampu mendakwahkan(memasukkan) Islam kedalah hati seseorang dengan menunjukkan kebenarannya dengan melihat pluralitas dan mengakuinya, kalu tidak demikian maka dakwah menjadi agresif dan represif yang puncaknya hanya mengerjakan apa yang dibenci.
Sebaliknya yang terjadi dinegeri ini pemandangan paradoks setiap hari kita saksikan dan seolah itu sudah menjadi kewajaran umum, inilah yang harus kita lawan dan perangi atas hegemoni paradigma dakwah materialistik dan hedonistik. Ibadah bukanlah hanya berkisar pada melakukan dan menjalankan kewajiban saja dan seolah kita membayar apa yang diwajibkan, tapi pada sisi lain kita terjebak pada lambang atau dimensi ritualitas saja untuk itu kesalihan sosial dan kepedulian atas esensi Islam harusnya lebih bisa diejawantahkan, inilah PR besar bagi kita semua.
Fungsionalisasi dan keberkahan sosial adalah bagaimana kita sebagai bagian dari orang Islam hadir dibumi dengan bekal yang dimiliki mampu menjawab atas problematika sosial ummat dimanapun tempatnya kita harus mampu melakukan peran itu. Atas nama dakwah/ atas nama Allah diobral dimana-mana dan rajin didengungkan dengan mudahnya dan seolah pesan spiritualitas agama menjadi mandeg dan mengalami stagnasi, terkristal dan terpatri dalam ungkapan mitos dan ungkapan simbolis tanpa makna.
Dakwah harusnya difahami dan diterjemahkan sesuai denga kapabilitas dan penunjang sesuai konteks dan tidak bisa disamaratakan, dan ini adalah kasuistis akibat mode dan trend yang mengelabui ummat Islam pada tayangan yang setiap hari kita lihat dan seolah itu menjadi bentuk manivestasi Islam dan akhirnya Islam menjadi agama yang menakutkan, aneh dan lain sebagainya. Wajah dakwah bisa saja seenaknya ditrasfigurasikan dalam wujud macam-macam, lalu akankah kita sama seperto orang-orang disekeliling kita, tentunya tidak! Kita harus lebih kritis dan moderat.
HMI Ditengah Masyarakat Kekinian dan Perannya
Relitas empiris dengan obyek forma ayat-ayat Qouniyah sumber ilmu adalah indra, akal, intuisi dan alam. HMI adalah organisasi dan wadah dari mahasiswa islam yang berbasis dilevel mahasiswa, didalamnya ada berbagai macam latarbelakang kultural dan berbagai tata aturan organisasi dibuat untuk diaktualisasikan oleh para kadernya. Sebagaimana mestinya HMI didalamnya adalah mahasiswa islam secara sadar dan diakui ia adalah sebagai bagian dari ummat manusia, harusnya ia menyadari akan hak dan kewajibannya ia pun dituntut berperan serta dan bertanggungjwab dalam mengemban dakwah Islamiyah untuk mewujudkan nilai-nilai akidah, kemanusiaan berdasarkan pada fitrah ukhwah.
Semua itu selaras dengan fungsi dan peran manusia sebagai khalifah dan abduh, dimana sebagai khalifah maka terdapat amanah besar untuk bisa memakmurkan alam dengan dibekali iman, ilmu dan amaliahnya. Dari tugas itu semua di HMI coba diatur dalam konstitusi baik itu tertulis dan tidak tertulis, inilah yang perlu kita cermati didalamnya mulai dari Anggaran Dasar (asas, tujuan, usaha, sifat, status dan identitasnya) kemudian dijelaskan di pedoman operasionalnya dianggaran rumah tangga (ART) dan lebih dijelaskan secara rigid pada beberapa pedoman-pedomannya.
Namun kesemua yang tertulis dan tersusun itu perlu penerjemahan dari pokok pokok perkaderan yang ada di pedoman perkaderan misalnya ada beberapa aspek yang bisa kita tengok sebagai alat ukur apakah kita sudah berproses dalam berdakwah di HMI. Kualifikasi ulul albab baik mu’abid, mujahid, mujtahid dan mujadid harusnya menjadi ruh kita dalam berjihad dijalan Allah demi terwujudnya masyarakat yang diridhai-Nya.
Secara tidak langsung kita harus mampu mamahami dakwah di HMI dengan melakukan aktifitas-aktifitas kreatif dengan berperan aktif dan mewarnai dunia kemahasiswaan dan kemasyarakatan atas inisiasi gagasan, partisipasi yang konstruktif kreatif untuk mengimplementasikan nilai-nilai keislaman. Kita sebagai muslim memahami teori dakwah dimedan dakwah haruslahmelihat dakwah sebagai ikhtiar muslim mewujudkan khairu ummah dan kualifikasi Ulil Albab.
Dengan metode dakwah al hikmah, al mau’idzatil hasanah dan al mujadalah bi-alhiya ahsan kita harusnya mampu memahami dan memaknai dakwah dari hakikat,urgensi dan kontektualisme dakwah. Dengan rasionalitas pendekatan persoalan, pendidikan, diskusi saatnyalah kita mampu memformulasikan strategi dakwah untuk menyelesaikan konflik-problem sosial yang ada disekitar kita, tanpamengesampingkan esensi dari sistem nilai yang menjadi intisari semuanya. Yaitu islam dengan universalitas atas semua.