Nikah mut'ah dan keutamaannya

Nikah Mut`ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang rafidhah -al`iyaadzu billah-. Tercantum dalam kitab manhaj as shodiqin karangan fathullah al kaasyaani dari as shodiq (menerangkan) bahwasanya nikah mut`ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut`ah lebih mulia dari anak istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut`ah adalah kafir murtad.8.1

al qummi menukilkan di dalam kitab man laa yahduruhu al faqiih dari abdulah bin sinan dari abi abdillah, ia berkata : sesungguhnya allah tabaraka wa ta`ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari sertiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut`ah.8.2

orang rafidhah tidak pernah menyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut`ah. Tercantum dalam kitab furuu` al kafi dan at tahdziib dan al istibshoor dari zaraarah, dari abi abdillah, ia berkata : saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut`ah apakah nikah mut`ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari muhammad bin muslim dari abi ja`far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut`ah : bukan nikah mut`ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut`ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan.8.3

bagaimana mungkin ini, padahal allah telah berfirman :

dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (al mukminun : 5-7).

Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut`ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina -waliyaadzubillah-. Syeikh abdullah bin jibriin berkata : orang rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut`ah dengan ayat di surat an nisa` yaitu firman allah :

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;. (an nisa : 24).

Jawab : sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman allah ayat 19 di surat an nisa sampai 23, setelah allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian allah berfirman :

artinya : dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.

Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka8.4.

Bahkan di sisi (menurut) orang rafidhah perkaranya telah sampai menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang anusnya. Tercantum dalam kitab al istibshoor dari ali bin al hakam ia berkata : saya telah mendengar shofwan berkata : saya telah berkata kepada al ridha : sesungguhnya seorang laki-laki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, ia berkata : apa itu? Ia berkata : apakah boleh bagi laki-laki untuk menyetubuhi wanita (istrinya) di lubang anusnya? Ia menjawab : ya, hal itu boleh baginya.8.5


Kamis, 11 desember 2008 @ 22:42 wib (reply)
tidak ada satupun ayat yang menghapuskan ayat mut’ah
seluruh ayat yang menerangkan tentang warisan, talak, iddah tidak dapatdijadikan penghapus (nasikh) ayat yang menerangkan tentang nikah mut'ah[q.s. An-nisaa' 24], termasuk juga ayat tentang penjagaan aurat. Mereka menganggap bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah tidak berstatus isteri dikarenakan sebab-sebab tersebut.

Alasan penolakan argumen mereka tersebut adalah :

1. Rasul saww menggunakan lafadz "pernikahan" saat berbicara tentang nikahmut'ah ini, seperti :
"barangsiapa yang mengawini seorang wanita dengan batas waktu maka berilah hak-haknya"
muslim dalam shohih-nya juga meriwayatkan hadits yang menggunakan istilah"pernikahan" pada nikah mut'ah, berdasarkan riwayat abi nadhrah.lafadz "pernikahan" tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah berstatus sebagai isteri

ref. :
a. Abdurrozaq, dalam "mushannaf", juz 7, hal. 504
b. Shohih muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat haji dan umroh".

2. Kalimat sebelum ayat mut'ah itu sendiri adalah :
"dan dihalalkan bagi kalian untuk mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina"
yang kemudian dilanjutkan dengan ayat mut'ah (famastamta'tum bihinna...) Tersebut.sehingga jelas sekali bahwa mut'ah merupakan perkawinan bukan perzinaan.bila "mut'ah" diartikan sebagai "dinikmati/dicampuri", maka mahar mesti diberikan secara penuh setelah wanita tersebut "dicampuri", berdasarkan ayat mut'ah tersebut.
Sementara, semua ahli fikih mengatakan bahwa maharwajib diberikan secara penuh pada wanita setelah ia dinikahi, walaupun wanita tersebut belum "dicampuri".
Sebagaimana firman allah swt dalam [q.s 4:25]
"nikahilah mereka dengan seijin tuannya dan berikanlah mereka mahar mereka"
atau dalam [q.s. 60:10] :
"dan tidak ada dosa bagi kalian mengawini mereka bila kalian berikan maharmereka"
dari sini jelas sekali bahwa mut'ah pada ayat tersebut, adalah pernikahan mut'ah, bukan pengertian yang lain.

Ref. Ahlusunnah :tafsir ar-razi, tentang [q.s. An-nisaa' 24].
3. Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya :
"kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut'ah sudah dihapus (mansukh),maka akan kujawab 'tidak'. Karena seorang wanita yang dinikahi secara mut'ah dapat disebut sebagai isterinya"

ref. Ahlusunnah : zamakhsyari, dalam tafsir "al-kasysyaf", juz 3, hal.177.
4. Ubay bin ka'ab, ibnu abbas, dan ibnu mas'ud membaca ayat tersebut dengan tambahan tafsir mereka, yaitu "ilaa ajalin musamma" yang artinya "sampai waktu yang ditentukan".

Ref. Ahlusunnah :
a. Thabari, dalam tafsir "al-kabir"
b. Zamakhsyari, dalam kitab "al-fa'iq"
c. Ar-razi, dalam tafsir-nya
d. Nawawi, dalam "syarh shohih muslim".
E. Ibnu rusyd, dalam "bidayatul mujtahid", juz. 2, hal. 43-44.dll.

5. Banyaknya riwayat yang menyatakan bahwa banyak para sahabat yangmenghalalkan (bahkan melakukan) nikah mut'ah ini, seperti asma' bintiabubakar, zubair bin awwam, salamah, jabir bin abdullah, amr bin harits,ibnu abbas, ibn mas'ud, dll.

Ref. Ahlusunnah :
a. Ibn hajar al-asqolani, dalam "al-ishobah", jilid ii, hal. 63.
B. Ibnu hazm, dalam "al-mahalli" (sebagaimana dikutip oleh ibn hajar).

6. Justru nikah mut'ah ini dilarang pada masa umar, bahkan dengan ancaman akan dirajam dengan batu.
Ref. :
a. Muntakhab kanzul ummal di tepi musnad ahmad, juz 6, hal. 404.
B. Shohih muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat haji dan umroh".
C. Al-baihaqi, dalam "sunan al-kubro", jilid 7, hal. 206.
D. Shohih muslim, jilid 1, bab "nikah mut'ah".
E. Dr. Ruway'l ar-ruhaily, dalam "fikih umar 1", penerbit pustaka al-kautsar.
F. Muhammad abdul aziz al-halawi, dalam "fatwa dan ijtihad umar binkhattab", penerbit risalah gusti.
G. Ibnu rusyd, dalam "bidayatul mujtahid", juz 2, hal. 43-44.dll.

7. Ayat mut'ah turun setelah ayat talak, warisan dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan itu. Sehingga mustahil bahwa ayat yang mendahului me-nasakh ayat yang muncul belakangan.
8. Adanya warisan juga bukan kewajiban mutlak yang menentukan sahnya perkawinan, misalkan seorang muslim yang menikah dengan wanita ahlul kitab,maka si isteri tidak dapat mewarisi harta suaminya. Dan perkawinan mereka tetap sah

tidak ada saling mewarisi bagi seorang merdeka yang kawin dengan hambasahaya milik orang lain, walaupun ikatan perkawinan mereka tetap ada.tidak ada saling mewarisi bila ada bila ada persyaratan sebelumnya untuk tidak saling mewarisi yang ditentukan sebelum akad.isteri yang membunuh suaminya, maka isteri tidak dapat mewarisi hartasuaminya.sehingga apakah semua itu tidak disebut "perkawinan sah" hanya tidak adanyasaling mewarisi. Tidak kan.

9. Adanya talak juga bukan ciri sahnya pernikahan. Sebab mencampuri budak juga disahkan oleh agama, sementara padanya tidak ada talak. Sehinggahubungan badan dengan budak bukan merupakan perzinaan walaupun tidak adatalak di dalamnya.

10. Mengenai masalah iddah. Dalam nikah mut'ah juga dikenal masa iddah yaitu dua kali bersih dari haid.

11. Imran bin hushain berkata: sesungguhnya allah swt menurunkan satu ayat tentang nikah mut'ah dan tidak me-nasakh-nya dengan ayat yang lain. Dan kita diperintahkan nikah mut'ah oleh rasul saww. Dan beliau tidakmelarangnya.

Kemudian berkatalah seseorang lelaki dengan ra'yu-nya tentangapa yang dia kehendaki". Yaitu umar yang melarangnya.

Ref. :tafsir ar-rozi, juz 10, hal. 51/52.

12. Dari hakam, ketika beliau ditanya apakah ayat mut'ah [q.s. An-nisaa' 24]telah di-nasakh, maka beliau menjawab "tidak".

Ref. :

a. Thabari, dalam tafsir-nya, juz 5, hal 9.
B. Suyuthi, dalam "dur al-mantsur", juz 2, hal. 140.
C. Abi hayyan, dalam tafsir-nya, juz 3, hal. 218.
D. Ar-razi, dalam tafsir-nya, juz 3, hal. 200.dll.
13. Qurthubi dan as-syaukani mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkanayat tersebut [q.s. An-nisaa' 24] dengan nikah mut'ah yang sudah ditetapkansejakpermulaan islam.

Ref :
a. Tafsir qurthubi, juz 5, hal. 130
b. Tafsir syaukani, juz 1, hal. 144.

14. Atha' berkata :"yang terdapat pada surat an-nisaa' yang menjelaskan tentang adanya bataswaktu dalam perkawinan, ialah perkawinan mut'ah".

Ref. :abdurrozaq, dalam "al-mukatabat".
15. Hubaib bin abi tsabit dan mujahid juga mengatakan bahwa ayat tersebut[q.s. An-nisaa' 24] turun untuk menjelaskan perkawinan mut'ah.

Ref.:
a. Tafsir ibn katsir, juz 1, hal. 474.
B. Suyuthi, dalam "durr al-mantsur", juz 2, hal. 140.
C. Tafsir qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.

16. Ibnu abbas berkata :"mut'ah adalah rahmat allah bagi umat muhammad. Bila umar tidakmelarangnya, maka tidak ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka".

Ref. :
a. Ibnu rusyd, dalam "bidayatul mujtahid", juz 2, hal. 43-44.
B. Suyuthi, dalam "durr al-mantsur", juz 2, hal. 140.
C. Tafsir qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.

Dan masih banyak lagi hujjah-hujjah yang menerangkan bahwa nikah mut'ah merupakan perkawinan yang sah (alias bukan zina). Justru seandainya nikahmut'ah ini tidak dilarang oleh umar, maka tidak ada yang berzina kecualiorang-orang yang celaka. Dan tidak ada satu ayatpun yang me-nasakh nikah mut'ah.apalagi diperkuat dengan banyaknya hadits yang menerangkan bahwa nikahmut'ah dihalalkan oleh allah dan rasul-nya. Dan yang melarangnya adalah umar.

Nikah mut’ah; antara kehalalan dan keharaman

1. Islam berbeda dengan hukum-hukum lainnya dengan pengakuannya terhadap nikah mut’ah disamping perkawinan permanen. Apakah kita dapat meredefinisi nikah mut’ah ?

Nikah mut’ah adalah hubungan suami isteri sementara yang diadakan melalui akad tertentu yang disebutkan didalamnya masa (batas perkawinan) dan mahar disamping pokok perkawinan itu sendiri. Perbedaannya dengan pernikahan permanent disamping batas waktu tertentu, perkawinan mut’ah tidak ada waris mewarisi dan tidak ada keharusan memberi nafkah, kecuali jika wanita menssyaratkan hal itu untuk dirinya.

2. Sebagian orang menilai bahwa kebolehan nikah mut’ah memang diperlukan masa tertentu saja, karena itu umar bin khatab mengharamkannya setelah itu?

Jika memang faktor keperluan menjadikan nikah mut’ah itu diperbolehkan, dan itu merupakan kesadaran nabi saw untuk melindungi kaum muslim pada sebagian peperangan dari tekanan seksual, maka keperluan ini ada pada setiap zaman dan tempat. Banyak orang yang mengalami tekanan seksual tapi mereka tidak mampu menikah. Apabila faktor keperluan (darurat) itulah yang ‘mendikte’ rasulullah saww untuk memberlakukan hukum nikah mut’ah, maka keperluan tersebut tidak hanya terbatas pada zaman itu atau tempat itu, tapi ia sekarang jauh lebih mendesak daripada seperti zaman nabi saw. Maka tak ada hal yang membenarkan kalau nikah mut’ah telah dihapus, karena ia adalah suatu keperluan bagi setiap generasi, kapan saja dan dimana saja. < jangan berhenti mentah-mentah sampai disini>

1. Kaum muslimin dari kalangan ahlussunah mengatakan bahwa rasulullah saww mengharamkan mut’ah setelah sebelumnya dihalalkan. Apa memang demikian?

Ahlussunnah meriwayatkan beberapa hadith yang dinisbatkan pada nabi saw dan ali as bahwa nabi mengharamkan mut’ah. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka menyebutkan bahwa beliau mengharamkannya didua tempat, tapi seandainya beliau memang telah benar-benar menghapusnya maka tiada alasan yang membenarkan bahwa ia pernah dibatalkan disuatu hari lalu diharamkan esok harinya kemudian dihalalkan kembali, hal yang menunjukkan bahwa pengharaman tersebut tidak realistis dan tidak benar. Dan yang mendukung hal itu adalah apa yang disampaikan oleh sahabat umar, “dua mut’ah ada pada zaman rasulullah dan dihalalkannya; akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya” [ sunan al-baihaqi 5/5 bab: orang yang memilih kesendirian dan menganggapnya sebagai hal yang utama ; tarikh ibn katsir 5/123, tafsir al-qurthubi 2/370, tafsir fakhrur ar-razi 20/167 dan 3/201 dan 220, kanzul ‘ummal 8/293-294 dan al-bayan wa at-tabyin, karya al-jahith 223 ]

adalah hal yang maklum bahwa umar tidak mempunyai hak untuk mengharam hal-hal yang dihalalkan oleh allah. Konon, nabi saw menegaskan tentang keharaman nikah mut’ah dan riwayat yang dinisbatkan kepada beliau dalam hal ini adalah, “wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Ketahuilah bahwa kini allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat.” [ sahih muslim, hal 1025 ; sunan ad-darimy, 2/140 ; sunan ibn majah, hal 631, catatan 1962, dengan terdapat perbedaan redaksi dalam thabaqat ibn sa’ad, 4/328. ]

hadith ini tidak shahih. Buktinya, beberapa sahabat terang-terangan menghalalkan perkawinan sementara, seperti ibn abbas, ibn mas’ud, dan lain-lain. Bahkan, mereka membaca ayat, “maka barangsiapa yang bersenang-senang dengan mereka—dalam batas waktu tertentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya.” Terdapat perdebatan seru seputar masalah ini, yang tentunya memerlukan kejian panjang, yang tidak tepat untuk disampaikan disini.

2. Allah maha sempurna. Lalu bagaimana mungkin dia memberlakukan hukum yang terdapat nilai-nilai negatif didalamnya?

Allah memang maha sempurna, tetapi makhluk-makhluknya yang terbatas; dan batasan-batasan mengharuskan adanya kekurangan dalam tabiat (sifat) benda-benda ketika terkena sekat-sekat. Sebab, suatu benda mengandung banyak kepositifan dari pelbagai isinya, sampai terdapat batas-batas dan sekat-sekat yang mengurangi nilai positifnya. Sesungguhnya hal-hal yang disyariatkan oleh allah bukan allah itu sendiri. Masalah kesempurnaan hal-hal tersebut atau kekurangannya bertitik tolak dari identitasnya (dzattiyah). Misalnya, allah mengharamkan khamar (minuman keras), allah sendiri maha sempurna tetapi didalam khamar terdapat manfaat dan madharatnya dan ketika allah mengharamkan khamar itu karena mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kesempurnaan allah adalah mutlak, karena kemutlakan tidak dapat berada kecuali ditempat yang mutlak, dengan pengertian bahwa dia keluar dari ruang lingkup keterbatasan. Adapun hukum berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia, dan perbuatan-perbuatan manusia terbatas pada keadaannya, dan ia kemudian mengandung nilai-nilai positif dan negatif tetapi hukum yang mengendalikannya bertitik tolak dari keunggulan nilai-nilai positif atas nilai-nilai negatif, atau sebaliknya.

Perkawinan sementara merupakan nilai positif besar karena ia berposisi sebagai solusi bagi problem seksual pada saat orang tidak mampu untuk melakukan perkawinan permanen. Tapi pada saat yang sama, ia membawa pengaruh negatif atas pihak-pihak yang bersangkutan karena pandangan negatif sosial atasnya, dan juga dikarenakan tidak terwujudnya ketenangan yang diciptakannya, atau yang lain-lain.


Kamis, 11 desember 2008 @ 22:44 wib (
hak-hak perempuan dalam nikah mut’ah

Image perkawinan dalam islam sesungguhnya tidak bermakna eksploitatif. Dalam arti bahwa seorang laki-laki bila telah menyunting seorang perempuan lantas ia berhak mengeksploitasinya. Namun memang dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai praktek ketidakadilah dan kekerasan terhadap perempuan, atau setidaknya proses subordinasi terhadap perempuan. Tapi menurut saya, itu bukan karena ajaran islam, melainkan dari budaya masyarakat itu. Atau kebanyakan terkait dengan moralitas atau mental pihak laki-laki itu sendiri.

Memang dalam al quran sendiri banyak ayat yang terkesan, atau memang dikesankan sebagai dalih untuk mensubordinasi perempuan. Misalnya soal menjatuhkan nusyuz (tuduhan pembangkangan). Yakni hak suami menjatuhkan nusyuz kepada isteri bila kedapatan berselingkuh atau membangkang kepada suami. Suami boleh memukul isterinya. Tapi inipun harus didahului dengan teguran, nasehat, dan diajak bicara dengan baik. Yakni disebut ta’dib. Dan bila memukul tidak boleh sampai melukai. Karena kalau melukai suami akan dikenai diyat atau denda.

Lalu ayat lain al-rijalu qawwamuna ala al-nisa. Dalam ayat ini seolah-olah laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan. Kebanyakan orang lupa pada lanjutan ayat itu yakni bima fadhdhalallahu ba’dlohum ala ba’dlin. Yang bila diartikan secara keseluruhan berarti bahwa laki-laki bukan menjadi lebih tinggi dari perempuan, melainkan saling menopang satu sama lain. Qawwam itu berasal dari kata qayyim, qoim, qayyum, qawwum, jadi sebagai penopang karena kelebihan masing-masing yang diberikan allah.

Terkait dengan hak-hak perempuan, dalam sejarah islam begitu mengapresiasi hak-hak perempuan. Misalnya, tatkala umar bin khattab sedang berdebat dan bercekcok dengan isterinya, ia bermaksud mengeluhkan hal itu ke hadapan nabi. Tapi sebelum memasuki rumahnya, umar sedang mendapati nabi tengah bercekcok pula dengan isterinya, aisyah. Nabi tidak mengutuk isterinya malahan membuka ruang protes itu kepada isterinya, di luar kelaziman budaya arab mekah saat itu. Begitu pula ketika mendengarkan keluhan umar, nabi pun tidak lantas membelanya.

Kejadian ini sebenarnya juga terkait dengan budaya. Bahwa budaya mekah saat itu lebih patriarkis dibanding budaya madinah. Dan suasana madinah membuat perempuan lebih longgar, tidak tunduk secara total kepada suaminya. Jadi, saya melihat pada dasarnya ada prinsip kesetaraan dalam islam. Isteripun bisa mengatur kehidupan keluarga bila memiliki kemampuan untuk itu. Dan islam sangat menghargainya.

Nah, bagaimana kekerasan dalam rumah tangga itu bisa terjadi dan apa solusinya? Saya melihat kebanyakan adalah faktor ekonomi. Tapi tidak melulu ekonomi, ada faktor moral dan pemahaman keagamaan yang salah pada pihak laki-laki. Mengenai apakah kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh pernikahan itu sendiri atau terletak pada prinsip nikah permanen yang tidak membuka celah jaminan terhadap hak-hak perempuan sebagaimana nikah mut’ah? Saya tidak bisa memastikan. Dikotomi itu sebenarnya tidak perlu. Yang penting bagaimana suami-isteri itu masing-masing memahami hak dan kewajibannya. Itu yang penting.

Memang dalam nikah mut’ah sangat dimungkinkan dibuat perjanjian-perjanjian atau kesepakatan-kesepakatan antara calon mempelai. Ini karena memang dalam nikah mut’ah perempuan memiliki kuasa penuh untuk mengambil keputusan. Ini yang membedakannya dengan nikah konvensional atau nikah permanen. Dalam nikah permanen perempuan tidak bisa mengambil keputusan secara independen. Misalnya terlihat pada sisi perempuan yang mesti diwakili oleh seorang wali nikah.

Nikah mut’ah adalah pernikahan yang telah ditentukan waktunya melalui perjanjian yang disepakati kedua mempelai. Nah dalam nikah mut’ah, perempuan menggenggam otoritas penuh atas dirinya. Misalnya, orang tua setuju perkawinan dilangsungkan sementara si anak perempuan menolak. Maka perkawinan tetap tidak boleh dilangsungkan, demikian juga orang tua tidak boleh memaksakan perkawinan itu. Bila semua persyaratan itu ada di tangan pihak perempuan, maka ia berhak menentukan perjanjian atau syarat-syarat itu. Misalnya, selain perjanjian tempo usia perkawinan yang direncanakan, juga bisa dibuat perjanjian lain yakni bila terjadi kekerasan suami terhadap isteri maka seketika itu juga perkawinan secara otomatis batal, isteri cerai dengan suami.

Dengan demikian sebenarnya harus diakui bahwa nikah mut’ah lebih memberikan nilai tawar atau bargaining kepada pihak perempuan di hadapan suami. Melalui nikah mut’ah, perempuan memproteksi dirinya sendiri terhadap kemungkinan kekerasan yang sewaktu-waktu bisa menimpanya.

Tapi sayangnya masyarakat banyak salah memahami ketimbang mendudukkan persoalan nikah mut’ah ini. Orang berasumsi bahwa nikah mut’ah itu adalah prostitusi yang dilegalisir. Padahal kalau demikian sama halnya menuduh allah pernah menghalalkan tindakan berzina pada zaman nabi.

Dalam pandangan syi’ah, nikah mut’ah itu halal. Berdasarkan ayat faizastamta’tum bihi minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhah. Ayat ini turun pada perang khaibar tatkala nabi dan para sahabat tidak membawa isteri-isterinya. Jabir ibn abdullah al-anshari mengeluh pada nabi. Lalu nabi mengizinkan para sahabatnya ini untuk melakukan mut’ah. Di situlah ayat ini turun. Memang ada perbedaan pendapat, bahwasanya nikah mut’ah itu adalah hukum darurat yang lalu di-manshuh (dihapus). Tapi kalangan syi’ah menyatakan tidak demikian. Ayat itu berlaku sepanjang zaman. Dan sejarah telah mencatat beberapa putra sahabat hasil dari pernikahan mut’ah. Seperti abdullah bin zubair dan urwah bin zubair. Jadi ada landasan teologis yang sangat kuat yang mendasari nikah mut’ah ini.

Dan saya pikir, nikah mut’ah adalah jalan keluar dari problem seksualitas sekarang ini. Adanya seks bebas yang rawan terjangkit virus hiv-aids atau pengguguran kandungan (aborsi) yang makin marak. Dengan nikah mut’ah, hak-hak perempuan terpelihara, hak-hak anak terlindungi, dan perempuan terhormat sebagai suami-isteri. Demikian juga laki-laki. Dengan ini maka negara pun seharusnya mengakui keabsahan nikah mut’ah ini

Kamis, 11 desember 2008 @ 22:56 wib
Nikah mut'ah dan keutamaannya
Rabu, 26 maret 2008 @ 01:54 wib -

nikah mut`ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang rafidhah -al`iyaadzu billah-. Tercantum dalam kitab manhaj as shodiqin karangan fathullah al kaasyaani dari as shodiq (menerangkan) bahwasanya nikah mut`ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut`ah lebih mulia dari anak istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut`ah adalah kafir murtad.8.1

al qummi menukilkan di dalam kitab man laa yahduruhu al faqiih dari abdulah bin sinan dari abi abdillah, ia berkata : sesungguhnya allah tabaraka wa ta`ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari sertiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut`ah.8.2

orang rafidhah tidak pernah menyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut`ah. Tercantum dalam kitab furuu` al kafi dan at tahdziib dan al istibshoor dari zaraarah, dari abi abdillah, ia berkata : saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut`ah apakah nikah mut`ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari muhammad bin muslim dari abi ja`far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut`ah : bukan nikah mut`ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut`ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan.8.3

bagaimana mungkin ini, padahal allah telah berfirman :

dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (al mukminun : 5-7).

Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut`ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina -waliyaadzubillah-. Syeikh abdullah bin jibriin berkata : orang rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut`ah dengan ayat di surat an nisa` yaitu firman allah :

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;. (an nisa : 24).

Jawab : sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman allah ayat 19 di surat an nisa sampai 23, setelah allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian allah berfirman :

artinya : dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.

Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka8.4.

Bahkan di sisi (menurut) orang rafidhah perkaranya telah sampai menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang anusnya. Tercantum dalam kitab al istibshoor dari ali bin al hakam ia berkata : saya telah mendengar shofwan berkata : saya telah berkata kepada al ridha : sesungguhnya seorang laki-laki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, ia berkata : apa itu? Ia berkata : apakah boleh bagi laki-laki untuk menyetubuhi wanita (istrinya) di lubang anusnya? Ia menjawab : ya, hal itu boleh baginya.8.5

Disarankan: 0

Kamis, 11 desember 2008 @ 22:42 wib (reply)
tidak ada satupun ayat yang menghapuskan ayat mut’ah
Seluruh ayat yang menerangkan tentang warisan, talak, iddah tidak dapatdijadikan penghapus (nasikh) ayat yang menerangkan tentang nikah mut'ah[q.s. An-nisaa' 24], termasuk juga ayat tentang penjagaan aurat. Mereka menganggap bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah tidak berstatus isteri dikarenakan sebab-sebab tersebut.

Alasan penolakan argumen mereka tersebut adalah :

1. Rasul saww menggunakan lafadz "pernikahan" saat berbicara tentang nikahmut'ah ini, seperti :
"barangsiapa yang mengawini seorang wanita dengan batas waktu maka berilah hak-haknya"
muslim dalam shohih-nya juga meriwayatkan hadits yang menggunakan istilah"pernikahan" pada nikah mut'ah, berdasarkan riwayat abi nadhrah.lafadz "pernikahan" tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah berstatus sebagai isteri

ref. :
a. Abdurrozaq, dalam "mushannaf", juz 7, hal. 504
b. Shohih muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat haji dan umroh".
2. Kalimat sebelum ayat mut'ah itu sendiri adalah :
"dan dihalalkan bagi kalian untuk mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina"

yang kemudian dilanjutkan dengan ayat mut'ah (famastamta'tum bihinna...) Tersebut.sehingga jelas sekali bahwa mut'ah merupakan perkawinan bukan perzinaan.bila "mut'ah" diartikan sebagai "dinikmati/dicampuri", maka mahar mesti diberikan secara penuh setelah wanita tersebut "dicampuri", berdasarkan ayat mut'ah tersebut.

Sementara, semua ahli fikih mengatakan bahwa maharwajib diberikan secara penuh pada wanita setelah ia dinikahi, walaupun wanita tersebut belum "dicampuri".

Sebagaimana firman allah swt dalam [q.s 4:25]
"nikahilah mereka dengan seijin tuannya dan berikanlah mereka mahar mereka"
atau dalam [q.s. 60:10] :

"dan tidak ada dosa bagi kalian mengawini mereka bila kalian berikan maharmereka"
dari sini jelas sekali bahwa mut'ah pada ayat tersebut, adalah pernikahan mut'ah, bukan pengertian yang lain.

Ref. Ahlusunnah :tafsir ar-razi, tentang [q.s. An-nisaa' 24].

3. Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya :

"kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut'ah sudah dihapus (mansukh),maka akan kujawab 'tidak'. Karena seorang wanita yang dinikahi secara mut'ah dapat disebut sebagai isterinya"

ref. Ahlusunnah : zamakhsyari, dalam tafsir "al-kasysyaf", juz 3, hal.177.

4. Ubay bin ka'ab, ibnu abbas, dan ibnu mas'ud membaca ayat tersebut dengan tambahan tafsir mereka, yaitu "ilaa ajalin musamma" yang artinya "sampai waktu yang ditentukan".

Ref. Ahlusunnah :

a. Thabari, dalam tafsir "al-kabir"
b. Zamakhsyari, dalam kitab "al-fa'iq"
c. Ar-razi, dalam tafsir-nya
d. Nawawi, dalam "syarh shohih muslim".
E. Ibnu rusyd, dalam "bidayatul mujtahid", juz. 2, hal. 43-44.dll.

5. Banyaknya riwayat yang menyatakan bahwa banyak para sahabat yangmenghalalkan (bahkan melakukan) nikah mut'ah ini, seperti asma' bintiabubakar, zubair bin awwam, salamah, jabir bin abdullah, amr bin harits,ibnu abbas, ibn mas'ud, dll.

Ref. Ahlusunnah :

a. Ibn hajar al-asqolani, dalam "al-ishobah", jilid ii, hal. 63.
B. Ibnu hazm, dalam "al-mahalli" (sebagaimana dikutip oleh ibn hajar).

6. Justru nikah mut'ah ini dilarang pada masa umar, bahkan dengan ancaman akan dirajam dengan batu.

Ref. :
a. Muntakhab kanzul ummal di tepi musnad ahmad, juz 6, hal. 404.
B. Shohih muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat haji dan umroh".
C. Al-baihaqi, dalam "sunan al-kubro", jilid 7, hal. 206.
D. Shohih muslim, jilid 1, bab "nikah mut'ah".
E. Dr. Ruway'l ar-ruhaily, dalam "fikih umar 1", penerbit pustaka al-kautsar.
F. Muhammad abdul aziz al-halawi, dalam "fatwa dan ijtihad umar binkhattab", penerbit risalah gusti.
G. Ibnu rusyd, dalam "bidayatul mujtahid", juz 2, hal. 43-44.dll.

7. Ayat mut'ah turun setelah ayat talak, warisan dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan itu. Sehingga mustahil bahwa ayat yang mendahului me-nasakh ayat yang muncul belakangan.
8. Adanya warisan juga bukan kewajiban mutlak yang menentukan sahnya perkawinan, misalkan seorang muslim yang menikah dengan wanita ahlul kitab,maka si isteri tidak dapat mewarisi harta suaminya. Dan perkawinan mereka tetap sah. Tidak ada saling mewarisi bagi seorang merdeka yang kawin dengan hambasahaya milik orang lain, walaupun ikatan perkawinan mereka tetap ada.tidak ada saling mewarisi bila ada bila ada persyaratan sebelumnya untuk tidak saling mewarisi yang ditentukan sebelum akad.isteri yang membunuh suaminya, maka isteri tidak dapat mewarisi hartasuaminya.sehingga apakah semua itu tidak disebut "perkawinan sah" hanya tidak adanyasaling mewarisi. Tidak kan.

9. Adanya talak juga bukan ciri sahnya pernikahan. Sebab mencampuri budak juga disahkan oleh agama, sementara padanya tidak ada talak. Sehinggahubungan badan dengan budak bukan merupakan perzinaan walaupun tidak adatalak di dalamnya.

10. Mengenai masalah iddah. Dalam nikah mut'ah juga dikenal masa iddah yaitu dua kali bersih dari haid.
11. Imran bin hushain berkata: sesungguhnya allah swt menurunkan satu ayat tentang nikah mut'ah dan tidak me-nasakh-nya dengan ayat yang lain. Dan kita diperintahkan nikah mut'ah oleh rasul saww. Dan beliau tidakmelarangnya.

Kemudian berkatalah seseorang lelaki dengan ra'yu-nya tentangapa yang dia kehendaki". Yaitu umar yang melarangnya.

Ref. :tafsir ar-rozi, juz 10, hal. 51/52.
12. Dari hakam, ketika beliau ditanya apakah ayat mut'ah [q.s. An-nisaa' 24]telah di-nasakh, maka beliau menjawab "tidak".

Ref. :

a. Thabari, dalam tafsir-nya, juz 5, hal 9.
B. Suyuthi, dalam "dur al-mantsur", juz 2, hal. 140.
C. Abi hayyan, dalam tafsir-nya, juz 3, hal. 218.
D. Ar-razi, dalam tafsir-nya, juz 3, hal. 200.dll.

13. Qurthubi dan as-syaukani mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkanayat tersebut [q.s. An-nisaa' 24] dengan nikah mut'ah yang sudah ditetapkansejakpermulaan islam.

Ref :
a. Tafsir qurthubi, juz 5, hal. 130
b. Tafsir syaukani, juz 1, hal. 144.

14. Atha' berkata :"yang terdapat pada surat an-nisaa' yang menjelaskan tentang adanya bataswaktu dalam perkawinan, ialah perkawinan mut'ah".

Ref. :abdurrozaq, dalam "al-mukatabat".

15. Hubaib bin abi tsabit dan mujahid juga mengatakan bahwa ayat tersebut[q.s. An-nisaa' 24] turun untuk menjelaskan perkawinan mut'ah.

Ref.:
a. Tafsir ibn katsir, juz 1, hal. 474.
B. Suyuthi, dalam "durr al-mantsur", juz 2, hal. 140.
C. Tafsir qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.

16. Ibnu abbas berkata :"mut'ah adalah rahmat allah bagi umat muhammad. Bila umar tidakmelarangnya, maka tidak ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka".

Ref. :
a. Ibnu rusyd, dalam "bidayatul mujtahid", juz 2, hal. 43-44.
B. Suyuthi, dalam "durr al-mantsur", juz 2, hal. 140.
C. Tafsir qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.

Dan masih banyak lagi hujjah-hujjah yang menerangkan bahwa nikah mut'ah merupakan perkawinan yang sah (alias bukan zina). Justru seandainya nikahmut'ah ini tidak dilarang oleh umar, maka tidak ada yang berzina kecualiorang-orang yang celaka. Dan tidak ada satu ayatpun yang me-nasakh nikah mut'ah.apalagi diperkuat dengan banyaknya hadits yang menerangkan bahwa nikahmut'ah dihalalkan oleh allah dan rasul-nya. Dan yang melarangnya adalah umar.

Nikah mut’ah; antara kehalalan dan keharaman

1. Islam berbeda dengan hukum-hukum lainnya dengan pengakuannya terhadap nikah mut’ah disamping perkawinan permanen. Apakah kita dapat meredefinisi nikah mut’ah ?

Nikah mut’ah adalah hubungan suami isteri sementara yang diadakan melalui akad tertentu yang disebutkan didalamnya masa (batas perkawinan) dan mahar disamping pokok perkawinan itu sendiri. Perbedaannya dengan pernikahan permanent disamping batas waktu tertentu, perkawinan mut’ah tidak ada waris mewarisi dan tidak ada keharusan memberi nafkah, kecuali jika wanita menssyaratkan hal itu untuk dirinya.

2. Sebagian orang menilai bahwa kebolehan nikah mut’ah memang diperlukan masa tertentu saja, karena itu umar bin khatab mengharamkannya setelah itu?

Jika memang faktor keperluan menjadikan nikah mut’ah itu diperbolehkan, dan itu merupakan kesadaran nabi saw untuk melindungi kaum muslim pada sebagian peperangan dari tekanan seksual, maka keperluan ini ada pada setiap zaman dan tempat. Banyak orang yang mengalami tekanan seksual tapi mereka tidak mampu menikah. Apabila faktor keperluan (darurat) itulah yang ‘mendikte’ rasulullah saww untuk memberlakukan hukum nikah mut’ah, maka keperluan tersebut tidak hanya terbatas pada zaman itu atau tempat itu, tapi ia sekarang jauh lebih mendesak daripada seperti zaman nabi saw. Maka tak ada hal yang membenarkan kalau nikah mut’ah telah dihapus, karena ia adalah suatu keperluan bagi setiap generasi, kapan saja dan dimana saja. < jangan berhenti mentah-mentah sampai disini>

1. Kaum muslimin dari kalangan ahlussunah mengatakan bahwa rasulullah saww mengharamkan mut’ah setelah sebelumnya dihalalkan. Apa memang demikian?

Ahlussunnah meriwayatkan beberapa hadith yang dinisbatkan pada nabi saw dan ali as bahwa nabi mengharamkan mut’ah. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka menyebutkan bahwa beliau mengharamkannya didua tempat, tapi seandainya beliau memang telah benar-benar menghapusnya maka tiada alasan yang membenarkan bahwa ia pernah dibatalkan disuatu hari lalu diharamkan esok harinya kemudian dihalalkan kembali, hal yang menunjukkan bahwa pengharaman tersebut tidak realistis dan tidak benar. Dan yang mendukung hal itu adalah apa yang disampaikan oleh sahabat umar, “dua mut’ah ada pada zaman rasulullah dan dihalalkannya; akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya” [ sunan al-baihaqi 5/5 bab: orang yang memilih kesendirian dan menganggapnya sebagai hal yang utama ; tarikh ibn katsir 5/123, tafsir al-qurthubi 2/370, tafsir fakhrur ar-razi 20/167 dan 3/201 dan 220, kanzul ‘ummal 8/293-294 dan al-bayan wa at-tabyin, karya al-jahith 223 ]

adalah hal yang maklum bahwa umar tidak mempunyai hak untuk mengharam hal-hal yang dihalalkan oleh allah. Konon, nabi saw menegaskan tentang keharaman nikah mut’ah dan riwayat yang dinisbatkan kepada beliau dalam hal ini adalah, “wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Ketahuilah bahwa kini allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat.” [ sahih muslim, hal 1025 ; sunan ad-darimy, 2/140 ; sunan ibn majah, hal 631, catatan 1962, dengan terdapat perbedaan redaksi dalam thabaqat ibn sa’ad, 4/328. ]

hadith ini tidak shahih. Buktinya, beberapa sahabat terang-terangan menghalalkan perkawinan sementara, seperti ibn abbas, ibn mas’ud, dan lain-lain. Bahkan, mereka membaca ayat, “maka barangsiapa yang bersenang-senang dengan mereka—dalam batas waktu tertentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya.” Terdapat perdebatan seru seputar masalah ini, yang tentunya memerlukan kejian panjang, yang tidak tepat untuk disampaikan disini.

2. Allah maha sempurna. Lalu bagaimana mungkin dia memberlakukan hukum yang terdapat nilai-nilai negatif didalamnya?

Allah memang maha sempurna, tetapi makhluk-makhluknya yang terbatas; dan batasan-batasan mengharuskan adanya kekurangan dalam tabiat (sifat) benda-benda ketika terkena sekat-sekat. Sebab, suatu benda mengandung banyak kepositifan dari pelbagai isinya, sampai terdapat batas-batas dan sekat-sekat yang mengurangi nilai positifnya. Sesungguhnya hal-hal yang disyariatkan oleh allah bukan allah itu sendiri. Masalah kesempurnaan hal-hal tersebut atau kekurangannya bertitik tolak dari identitasnya (dzattiyah). Misalnya, allah mengharamkan khamar (minuman keras), allah sendiri maha sempurna tetapi didalam khamar terdapat manfaat dan madharatnya dan ketika allah mengharamkan khamar itu karena mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kesempurnaan allah adalah mutlak, karena kemutlakan tidak dapat berada kecuali ditempat yang mutlak, dengan pengertian bahwa dia keluar dari ruang lingkup keterbatasan. Adapun hukum berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia, dan perbuatan-perbuatan manusia terbatas pada keadaannya, dan ia kemudian mengandung nilai-nilai positif dan negatif tetapi hukum yang mengendalikannya bertitik tolak dari keunggulan nilai-nilai positif atas nilai-nilai negatif, atau sebaliknya.

Perkawinan sementara merupakan nilai positif besar karena ia berposisi sebagai solusi bagi problem seksual pada saat orang tidak mampu untuk melakukan perkawinan permanen. Tapi pada saat yang sama, ia membawa pengaruh negatif atas pihak-pihak yang bersangkutan karena pandangan negatif sosial atasnya, dan juga dikarenakan tidak terwujudnya ketenangan yang diciptakannya, atau yang lain-lain.

kamis, 11 desember 2008 @ 22:44 wib
hak-hak perempuan dalam nikah mut’ah
imageperkawinan dalam islam sesungguhnya tidak bermakna eksploitatif. Dalam arti bahwa seorang laki-laki bila telah menyunting seorang perempuan lantas ia berhak mengeksploitasinya. Namun memang dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai praktek ketidakadilah dan kekerasan terhadap perempuan, atau setidaknya proses subordinasi terhadap perempuan. Tapi menurut saya, itu bukan karena ajaran islam, melainkan dari budaya masyarakat itu. Atau kebanyakan terkait dengan moralitas atau mental pihak laki-laki itu sendiri.

Memang dalam al quran sendiri banyak ayat yang terkesan, atau memang dikesankan sebagai dalih untuk mensubordinasi perempuan. Misalnya soal menjatuhkan nusyuz (tuduhan pembangkangan). Yakni hak suami menjatuhkan nusyuz kepada isteri bila kedapatan berselingkuh atau membangkang kepada suami. Suami boleh memukul isterinya. Tapi inipun harus didahului dengan teguran, nasehat, dan diajak bicara dengan baik. Yakni disebut ta’dib. Dan bila memukul tidak boleh sampai melukai. Karena kalau melukai suami akan dikenai diyat atau denda.

Lalu ayat lain al-rijalu qawwamuna ala al-nisa. Dalam ayat ini seolah-olah laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan. Kebanyakan orang lupa pada lanjutan ayat itu yakni bima fadhdhalallahu ba’dlohum ala ba’dlin. Yang bila diartikan secara keseluruhan berarti bahwa laki-laki bukan menjadi lebih tinggi dari perempuan, melainkan saling menopang satu sama lain. Qawwam itu berasal dari kata qayyim, qoim, qayyum, qawwum, jadi sebagai penopang karena kelebihan masing-masing yang diberikan allah.

Terkait dengan hak-hak perempuan, dalam sejarah islam begitu mengapresiasi hak-hak perempuan. Misalnya, tatkala umar bin khattab sedang berdebat dan bercekcok dengan isterinya, ia bermaksud mengeluhkan hal itu ke hadapan nabi. Tapi sebelum memasuki rumahnya, umar sedang mendapati nabi tengah bercekcok pula dengan isterinya, aisyah. Nabi tidak mengutuk isterinya malahan membuka ruang protes itu kepada isterinya, di luar kelaziman budaya arab mekah saat itu. Begitu pula ketika mendengarkan keluhan umar, nabi pun tidak lantas membelanya.

Kejadian ini sebenarnya juga terkait dengan budaya. Bahwa budaya mekah saat itu lebih patriarkis dibanding budaya madinah. Dan suasana madinah membuat perempuan lebih longgar, tidak tunduk secara total kepada suaminya. Jadi, saya melihat pada dasarnya ada prinsip kesetaraan dalam islam. Isteripun bisa mengatur kehidupan keluarga bila memiliki kemampuan untuk itu. Dan islam sangat menghargainya.

Nah, bagaimana kekerasan dalam rumah tangga itu bisa terjadi dan apa solusinya? Saya melihat kebanyakan adalah faktor ekonomi. Tapi tidak melulu ekonomi, ada faktor moral dan pemahaman keagamaan yang salah pada pihak laki-laki. Mengenai apakah kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh pernikahan itu sendiri atau terletak pada prinsip nikah permanen yang tidak membuka celah jaminan terhadap hak-hak perempuan sebagaimana nikah mut’ah? Saya tidak bisa memastikan. Dikotomi itu sebenarnya tidak perlu. Yang penting bagaimana suami-isteri itu masing-masing memahami hak dan kewajibannya. Itu yang penting.

Memang dalam nikah mut’ah sangat dimungkinkan dibuat perjanjian-perjanjian atau kesepakatan-kesepakatan antara calon mempelai. Ini karena memang dalam nikah mut’ah perempuan memiliki kuasa penuh untuk mengambil keputusan. Ini yang membedakannya dengan nikah konvensional atau nikah permanen. Dalam nikah permanen perempuan tidak bisa mengambil keputusan secara independen. Misalnya terlihat pada sisi perempuan yang mesti diwakili oleh seorang wali nikah.

Nikah mut’ah adalah pernikahan yang telah ditentukan waktunya melalui perjanjian yang disepakati kedua mempelai. Nah dalam nikah mut’ah, perempuan menggenggam otoritas penuh atas dirinya. Misalnya, orang tua setuju perkawinan dilangsungkan sementara si anak perempuan menolak. Maka perkawinan tetap tidak boleh dilangsungkan, demikian juga orang tua tidak boleh memaksakan perkawinan itu. Bila semua persyaratan itu ada di tangan pihak perempuan, maka ia berhak menentukan perjanjian atau syarat-syarat itu. Misalnya, selain perjanjian tempo usia perkawinan yang direncanakan, juga bisa dibuat perjanjian lain yakni bila terjadi kekerasan suami terhadap isteri maka seketika itu juga perkawinan secara otomatis batal, isteri cerai dengan suami.

Dengan demikian sebenarnya harus diakui bahwa nikah mut’ah lebih memberikan nilai tawar atau bargaining kepada pihak perempuan di hadapan suami. Melalui nikah mut’ah, perempuan memproteksi dirinya sendiri terhadap kemungkinan kekerasan yang sewaktu-waktu bisa menimpanya.

Tapi sayangnya masyarakat banyak salah memahami ketimbang mendudukkan persoalan nikah mut’ah ini. Orang berasumsi bahwa nikah mut’ah itu adalah prostitusi yang dilegalisir. Padahal kalau demikian sama halnya menuduh allah pernah menghalalkan tindakan berzina pada zaman nabi.

Dalam pandangan syi’ah, nikah mut’ah itu halal. Berdasarkan ayat faizastamta’tum bihi minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhah. Ayat ini turun pada perang khaibar tatkala nabi dan para sahabat tidak membawa isteri-isterinya. Jabir ibn abdullah al-anshari mengeluh pada nabi. Lalu nabi mengizinkan para sahabatnya ini untuk melakukan mut’ah. Di situlah ayat ini turun. Memang ada perbedaan pendapat, bahwasanya nikah mut’ah itu adalah hukum darurat yang lalu di-manshuh (dihapus). Tapi kalangan syi’ah menyatakan tidak demikian. Ayat itu berlaku sepanjang zaman. Dan sejarah telah mencatat beberapa putra sahabat hasil dari pernikahan mut’ah. Seperti abdullah bin zubair dan urwah bin zubair. Jadi ada landasan teologis yang sangat kuat yang mendasari nikah mut’ah ini.

Dan saya pikir, nikah mut’ah adalah jalan keluar dari problem seksualitas sekarang ini. Adanya seks bebas yang rawan terjangkit virus hiv-aids atau pengguguran kandungan (aborsi) yang makin marak. Dengan nikah mut’ah, hak-hak perempuan terpelihara, hak-hak anak terlindungi, dan perempuan terhormat sebagai suami-isteri. Demikian juga laki-laki. Dengan ini maka negara pun seharusnya mengakui keabsahan nikah mut’ah ini

kamis, 11 desember 2008 @ 22:56 wib
nikah mut’ah dalam timbangan

sebagaimana dilaporkan salah satu majalah nasional kita, menteri dalam negeri iran mengajak para anggota parlemen dan para pakar agama untuk memikirkan regulasi dan sosialisasi nikah mut’ah. Gagasan ini dilontarkannya sebagai solusi tingginya biaya nikah permanen yang menyulitkan kaum muda iran sekaligus antisipasi terhadap efek pergaulan antar lawan jenis.

Seperti diketahui, meski mayoritas penduduknya bermazhab syiah yang menghalalkan mut’ah, praktiknya di iran masih dianggap tabu. Karena itu, lontaran tersebut mengundang pro dan kontra.

Tentu, kasus ini masih bisa dibatasi dalam konteks iran. Namun, suatu saat, masalah ini bisa dikaji pula oleh para ulama di indonesia, yang mayoritas bermazhab sunni. Terlepas dari soal halal dan tidak halalnya mut’ah, hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan diatur oleh islam dalam sebuah syariat yang disebut dengan nikah atau perkawinan.

Disepakati oleh seluruh mazhab islam, pada masa hidup nabi, ada dua macam pola pernikahan; nikah daim (pernikahan permanent) dan nikah muwaqqat (pernikahan berjangka), yang dikenal dengan mut’ah. Dalam nikah jenis kedua ini dua pelaku berlainan jenis melangsungkan akad nikah dengan menyebutkan batas waktu berpisah yang telah disepakati.

Apakah hukum halal melakukan nikah berjangka ini sudah dicabut dalam fikih islam ataukah tidak? Inilah titik beda antara dua mazhab islam, sunni dan syiah. Sebagian besar ulama sunni yang menganggapnya sebagai haram terbagi dua. Sebagian berpendapat hukum halal mut’ah dihapus pada masa hidup nabi dengan ayat al-quran atau hadis nabi. Sebagian lain menganggapnya haram, karena penghapusan umar bin khattab pada masa pemerintahannya. Para ulama syiah berkeyakinan bahwa hukum halal mut’ah berlaku hingga hari kiamat.

Dalam shahih bukhari dan muslim ditemukan pernyataan khalifah kedua, “ada dua tamattu’ (mut’ah) yang dulu pernah berlaku pada zaman rasulullah saw dan khalifah yang sekarang aku haramkan dan akan aku jatuhkan hukuman atas pelakunya; nikah mut’ah dan haji tamattu’.

Para ulama syiah berkeyakinan bahwa tidak ada satu ayatpun atau hadis yang menghapus hukum kebolehan tersebut. Menurut mereka, jika mut’ah telah diharamkan oleh nabi baik dengan sebuah hadis atau ayat, maka khalifah umar atau pemimpin setelah beliau tidak perlu mengharamkannya lagi atau mencabut hukum halalnya.

Berkenaan syarat-syarat yang berlaku pada nikah jenis kedua ini, secara umum sama dengan syarat-syarat nikah jenis pertama, seperti keharusan seorang wanita calon istri haruslah seorang yang tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau dalam masa iddah. Begitu juga keharusan adanya izin dari wali, bila dia gadis (belum pernah menikah) dan keharusan penggunaan format (shighat) dalam akad nikah, yaitu ijab kabul dan sebagainya.

Para ahli hukum islam menyebutkan, bahwa di antara latar belakang disyariatkannya kebolehannya adalah peperangan yang berkepanjangan sebagai antisipasi dan solusi bagi para prajurit yang berpisah lama dengan istrinya dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan seksual. Dan karena pemenuhan kebutuhan seksual tidak mengenal waktu, maka kapanpun hukumnya masih tetap berlaku, terutama bila dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perbuatan dosa.

Sembari mencermati iran, para ulama dan pakar hukum serta pemerhati sosial di negeri kita, diharapkan mampu melahirkan terobosan yang berbasis hukum agama sebagai antisipasi terhadap pola komunikasi bebas antar lawan jenis, yang merupakan akibat tak terelakkan dari modernitas dan pengaruh dari globalisasi. Mut’ah mungkin saja menjadi solusi moral dan finansial di iran karena mayoritas penduduknya adalah muslim syiah.

Namun, bukankah islam adalah agama yang relevan sepanjang masa? Bukankah substansi dan argumen lebih diutamakan ketimbang sentimen dan fanatisme sektarian yang hanya akan menciptakan kejumudan? Yang pasti, pengaturan hubungan seksual tidak bisa dianggap lebih kecil dari persoalan sembako dan lumpur lapindo.

Lalu mungkikah mut’ah disosialisasikan di indonesia di masa mendatang? Sulit menjawabnya, karena fanatisme bisa membuat orang mengutamakan hubungan seksual tanpa nikah ketimbang menerima pendapat mazhab lain meski berdalil al-quran dan hadis?

A'a jumat, 8 mei 2009 @ 12:28 wib (reply)
mau tanya neh,,
sbnrnya firman allah tidak akan bertolak belakang dengan fitrah dan hati kita,,
namun dlm mut'ah jika kita ditanya; mau kah istri dan/atau anak2 mu di mut'ah?????
Maka jwbn nya sungguh berbeda dengan fitrah dan hati kita

sayid ali ridho jumat, 19 february 2010 @ 15:18 wib (reply)
menurut saya pandangan anda menilai mut'ah terlalu sempit sekali. Kesimpulannya anda menisbatkan mut'ah adalah zina terselubung. Tapi taukah anda bahwa antara zina dan nikah itu praktek-nya (jima') sama, hanya saja dibatasi oleh aturan-aturan yang sudah ditentukan????? Aturan itu adalah adanya mahar dan ijab qobul. Dan saya rasa menurut tinjauan fiqh syarat sah dari menikah itu adalah adanya mahar dan ijab qobul, dalam mut'ah kedua hal itu jelas-jelas terlampir tanpa adanya perbedaan. Semua ulama syiah berfatwa bahwa mut'ah tidak terlepas dari kedua hal itu. Maka sudah selayaknya anda pikir lagi bagaimana kredibilitas mut'ah itu, haramkah???? Ataukah sama saja seperti nikah da'im yang menitikberatkan pada dua hal tersebut??? Ini adalah renungan akal yang saya berikan kepada anda, karena imam ali ibn abi thalib berkata bahwa "al-aql la yajni ala shoohibih qottun, wal ilm bilaa aqlin yajni all shoohibih" (akal tidak akan membahayakan pemiliknya selamanya, akan tetapi ilmu tanpa akal akan membahayakan pemiliknya). Saran saya sebelum mengkaji suatu diskursus terlebih dahulu anda harus mengkaji dari sisi filosofis sebelum meninjau dari sisi teks, baik itu al-qur'an ataupun hadis, karena kedua-nya dapat dimanipulasi (hadis>> dari sisi periwayatan dan sanadnya, quran>> dari sisi penafsirannya yang bisa saja ditalfiq). Lagipula anda tidak bisa memaknai hadis dari para imam syiah secara harfiah saja, karena perlu anda ketahui kembali bahwa hadis mempunyai esensi makna yang tersirat dan makna yang tersurat, tadi anda hanya memaknai makna yang tersurat saja tanpa mau mengungkap makna yang tersiratnya. Sebagai contoh saya berikan satu hadis yang perlu dikaji makna tersiratnya dari imam ja'far shadiq>> "at-taqiyyatu diini wa diinu abaa'ii, man laa taqiyyatalahu laa diina lahu" (taqiyyah adalah (bagian dari) agamaku dan agama moyangku, barang siapa yang tidak bertaqiyah maka ia tidak tergolong atas (bagian dari) agama (islam). Kalau anda memaknainya hanya dari makna yang tersurat saja niscaya anda akan tersesat atas hadis ini, akan tetapi kalau anda memaknai hadis ini juga berdasar kepada makna yang tersirat maka niscaya anda akan lebih mengetahui makna islam sebagai rahmatan lil aalamiin. Bagai melihat cahaya rembulan yang gemerlapan. Renungkanlah.....



nikah mut’ah dalam timbangan

sebagaimana dilaporkan salah satu majalah nasional kita, menteri dalam negeri iran mengajak para anggota parlemen dan para pakar agama untuk memikirkan regulasi dan sosialisasi nikah mut’ah. Gagasan ini dilontarkannya sebagai solusi tingginya biaya nikah permanen yang menyulitkan kaum muda iran sekaligus antisipasi terhadap efek pergaulan antar lawan jenis.

Seperti diketahui, meski mayoritas penduduknya bermazhab syiah yang menghalalkan mut’ah, praktiknya di iran masih dianggap tabu. Karena itu, lontaran tersebut mengundang pro dan kontra.

Tentu, kasus ini masih bisa dibatasi dalam konteks iran. Namun, suatu saat, masalah ini bisa dikaji pula oleh para ulama di indonesia, yang mayoritas bermazhab sunni. Terlepas dari soal halal dan tidak halalnya mut’ah, hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan diatur oleh islam dalam sebuah syariat yang disebut dengan nikah atau perkawinan.

Disepakati oleh seluruh mazhab islam, pada masa hidup nabi, ada dua macam pola pernikahan; nikah daim (pernikahan permanent) dan nikah muwaqqat (pernikahan berjangka), yang dikenal dengan mut’ah. Dalam nikah jenis kedua ini dua pelaku berlainan jenis melangsungkan akad nikah dengan menyebutkan batas waktu berpisah yang telah disepakati.

Apakah hukum halal melakukan nikah berjangka ini sudah dicabut dalam fikih islam ataukah tidak? Inilah titik beda antara dua mazhab islam, sunni dan syiah. Sebagian besar ulama sunni yang menganggapnya sebagai haram terbagi dua. Sebagian berpendapat hukum halal mut’ah dihapus pada masa hidup nabi dengan ayat al-quran atau hadis nabi. Sebagian lain menganggapnya haram, karena penghapusan umar bin khattab pada masa pemerintahannya. Para ulama syiah berkeyakinan bahwa hukum halal mut’ah berlaku hingga hari kiamat.

Dalam shahih bukhari dan muslim ditemukan pernyataan khalifah kedua, “ada dua tamattu’ (mut’ah) yang dulu pernah berlaku pada zaman rasulullah saw dan khalifah yang sekarang aku haramkan dan akan aku jatuhkan hukuman atas pelakunya; nikah mut’ah dan haji tamattu’.

Para ulama syiah berkeyakinan bahwa tidak ada satu ayatpun atau hadis yang menghapus hukum kebolehan tersebut. Menurut mereka, jika mut’ah telah diharamkan oleh nabi baik dengan sebuah hadis atau ayat, maka khalifah umar atau pemimpin setelah beliau tidak perlu mengharamkannya lagi atau mencabut hukum halalnya.

Berkenaan syarat-syarat yang berlaku pada nikah jenis kedua ini, secara umum sama dengan syarat-syarat nikah jenis pertama, seperti keharusan seorang wanita calon istri haruslah seorang yang tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau dalam masa iddah. Begitu juga keharusan adanya izin dari wali, bila dia gadis (belum pernah menikah) dan keharusan penggunaan format (shighat) dalam akad nikah, yaitu ijab kabul dan sebagainya.

Para ahli hukum islam menyebutkan, bahwa di antara latar belakang disyariatkannya kebolehannya adalah peperangan yang berkepanjangan sebagai antisipasi dan solusi bagi para prajurit yang berpisah lama dengan istrinya dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan seksual. Dan karena pemenuhan kebutuhan seksual tidak mengenal waktu, maka kapanpun hukumnya masih tetap berlaku, terutama bila dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perbuatan dosa.
Sembari mencermati iran, para ulama dan pakar hukum serta pemerhati sosial di negeri kita, diharapkan mampu melahirkan terobosan yang berbasis hukum agama sebagai antisipasi terhadap pola komunikasi bebas antar lawan jenis, yang merupakan akibat tak terelakkan dari modernitas dan pengaruh dari globalisasi. Mut’ah mungkin saja menjadi solusi moral dan finansial di iran karena mayoritas penduduknya adalah muslim syiah.

Namun, bukankah islam adalah agama yang relevan sepanjang masa? Bukankah substansi dan argumen lebih diutamakan ketimbang sentimen dan fanatisme sektarian yang hanya akan menciptakan kejumudan? Yang pasti, pengaturan hubungan seksual tidak bisa dianggap lebih kecil dari persoalan sembako dan lumpur lapindo.

Lalu mungkikah mut’ah disosialisasikan di indonesia di masa mendatang? Sulit menjawabnya, karena fanatisme bisa membuat orang mengutamakan hubungan seksual tanpa nikah ketimbang menerima pendapat mazhab lain meski berdalil al-quran dan hadis?



jumat, 19 february 2010 @ 15:18 wib
menurut saya pandangan anda menilai mut'ah terlalu sempit sekali. Kesimpulannya anda menisbatkan mut'ah adalah zina terselubung. Tapi taukah anda bahwa antara zina dan nikah itu praktek-nya (jima') sama, hanya saja dibatasi oleh aturan-aturan yang sudah ditentukan????? Aturan itu adalah adanya mahar dan ijab qobul. Dan saya rasa menurut tinjauan fiqh syarat sah dari menikah itu adalah adanya mahar dan ijab qobul, dalam mut'ah kedua hal itu jelas-jelas terlampir tanpa adanya perbedaan. Semua ulama syiah berfatwa bahwa mut'ah tidak terlepas dari kedua hal itu. Maka sudah selayaknya anda pikir lagi bagaimana kredibilitas mut'ah itu, haramkah???? Ataukah sama saja seperti nikah da'im yang menitikberatkan pada dua hal tersebut??? Ini adalah renungan akal yang saya berikan kepada anda, karena imam ali ibn abi thalib berkata bahwa "al-aql la yajni ala shoohibih qottun, wal ilm bilaa aqlin yajni all shoohibih" (akal tidak akan membahayakan pemiliknya selamanya, akan tetapi ilmu tanpa akal akan membahayakan pemiliknya). Saran saya sebelum mengkaji suatu diskursus terlebih dahulu anda harus mengkaji dari sisi filosofis sebelum meninjau dari sisi teks, baik itu al-qur'an ataupun hadis, karena kedua-nya dapat dimanipulasi (hadis>> dari sisi periwayatan dan sanadnya, quran>> dari sisi penafsirannya yang bisa saja ditalfiq). Lagipula anda tidak bisa memaknai hadis dari para imam syiah secara harfiah saja, karena perlu anda ketahui kembali bahwa hadis mempunyai esensi makna yang tersirat dan makna yang tersurat, tadi anda hanya memaknai makna yang tersurat saja tanpa mau mengungkap makna yang tersiratnya. Sebagai contoh saya berikan satu hadis yang perlu dikaji makna tersiratnya dari imam ja'far shadiq>> "at-taqiyyatu diini wa diinu abaa'ii, man laa taqiyyatalahu laa diina lahu" (taqiyyah adalah (bagian dari) agamaku dan agama moyangku, barang siapa yang tidak bertaqiyah maka ia tidak tergolong atas (bagian dari) agama (islam). Kalau anda memaknainya hanya dari makna yang tersurat saja niscaya anda akan tersesat atas hadis ini, akan tetapi kalau anda memaknai hadis ini juga berdasar kepada makna yang tersirat maka niscaya anda akan lebih mengetahui makna islam sebagai rahmatan lil aalamiin. Bagai melihat cahaya rembulan yang gemerlapan. Renungkanlah.....