PETIKAN BUAH HIKMAH DALAM PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ

PETIKAN BUAH HIKMAH DALAM PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ
Isra’ Mi’raj, sebuah peristiwa yang sudah pasti sangat akrab terdengar di telinga kita. Begitu istimewanya fenomena luar biasa ini hingga semua umat muslim di dunia selalu mengingatnya. Terlebih dari sekedar mengingat, topik Isra Mi’raj juga sangat sering dilantunkan pada ceramah-ceramah rohani dengan tujuan agar kita menyadari terdapat suatu buah hikmah besar yang bisa kita petik dalam persitiwa ini.
Isra Mi’raj tidak jarang diidentikkan dengan ibadah shalat. Silahkan tengok ayat berikut:
“Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula shalat) subuh.” (Al-Isra: 78).
Jelas bahwa ayat tersebut menerangkan waktu shalat yang lima. Tergelincir matahari untuk waktu shalat Dzuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib, Isya dan Subuh. Dan turunnya perintah shalat tersebut adalah pada peristiwa Isra Mi’raj. Namun, sungguh tidak hanya itu hikmah besar yang terkandung dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Sangat banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik dari peristiwa ini. Dan tulisan ini kurang lebih akan membahas sedikit dari banyaknya pelajaran tersebut.
Jika kita tengok sebentar tentang bagaimana peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, yaitu ketika Allah memperjalankan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan mengangkatnya ke Sidratul Muntaha dalam satu malam, sangat tampak kekuasaan Allah yang begitu nyata. Melalui peristiwa ini Allah mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah sehingga sangat tidak pantas untuk menyombongkan apa yang kita miliki, karena memang sesungguhnya itu semua hanya milik Allah dan tanpa kehendak-Nya kita tidak mungkin mendapatkannya.
Hal lain yang tergambar dari peristiwa tersebut adalah bahwa hanya karena kehendak dan izin Allah lah peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi. Dari sini kita kembali bisa memetik buah hikmah dalam peristiwa ini, yaitu tentang makna rasa syukur. Peristiwa Isra’ Mi’raj secara tegas menyatakan bahwa keterbatasan akal manusia tidak akan mampu menjangkau kuasa Allah. Akal pikiran, kecerdasan, harta, dan paras yang menawan adalah pemberian Allah, dan itu hanya sebagian kecil dari kuasa-Nya. Lalu apakah kita sudah mensyukurinya?? Coba kita renungkan kembali surat Ar-Rahman, dimana terdapat suatu untaian kalimat indah yang berulang-ulang disebutkan dan berbunyi:
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Allah Maha Kaya, maka tidak mungkin Allah menjadi miskin sekalipun kita kufur terhadap nikmatnya. Apapun yang kita lakukan tidak akan mempengaruhi kebesaran Allah sedikitpun, dan yang menjadi pertanyaannya adalah pilihan mana yang kita ambil? Kufur atau Syukur?
“Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. (QS 17: 107)”