Tarekat Khalwatiah Samman

Tarekat Khalwatiah Samman, Studi tentang Penyebaran dan Ajarannya di Propinsi Sulawesi Selatan
(Ahmad Rahman, 2000, 103 halaman)
Di Sulawesi Selatan terdapat dua kelompok tarekat yang sangat populer, yaitu "Tarekat Khalwatiah Syekh Yusuf" dan Tarekat Khalwatiah Samman. Selain itu, terdapat pula tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Muhammadiah/Sanusiah. Tarekat Khalwatiah Syekh Yusuf muncul sejak abad ke-17, dibawa dan dikembangkan oleh Syekh Yusuf al-Maqassariy (1626-1699) dan Abdul Bashir Tuang Rappang (w. 1723). Sementara Khalwatiah Samman masuk ke wilayah ini pada awal abad ke-19, dibawa oleh Abdullah al-Munir, seorang bangsawan Bugis dari Bone.
Penelitian ini membahas bagaimana proses penyebaran Tarekat Khalwatiah Samman di Propinsi Selatan, serta pokok-pokok ajarannya. Tentang proses penyebaran, masalah dibatasi pada sejarah masuk, tokoh yang berperan, serta faktor pendukung dan penghambat penyebarannya. Sementara bahasan tentang pokok ajaran meliputi baiat sebagai simbol perpindahan masuk anggota tarekat, dzikir sebagai wirid yang mesti diamalkan, serta pahamnya tentang wahdat al-wujud. Penelitian yang dilakukan dengan studi pustaka ini menggunakan metode analisis isi. Untuk melengkapi data, penulis juga melakukan serangkaian wawancara mendalam dan observasi lapangan untuk melihat kegiatan sosial keagamaan pengikut Khalwatiah Samman.
Tarekat Khalwatiah Samman didirikan oleh Muhammad al-Samman (w. 1775) di Medinah. Pada 1825, Abdullah al-Munir membawanya ke Sulawesi Selatan, dan dikembangkan oleh putranya, Muhammad Fudail (w. 1859) di kabupaten Barru. Penyebarannya lebih lanjut dilakukan oleh Abd. Razak (w. 1902) di Kabupaten Maros, serta oleh keturunannya hingga sekarang. Kini, Khalwatiah Samman merupakan tarekat yang paling populer dan paling banyak pengikutnya di Sulawesi Selatan. Sedemikian popolernya, Khalwatiah Samman bahkan menjadi satu-satunya golongan tarekat yang memiliki perwakilan di DPRD tingkat propinsi sejak masa Orde Baru, serta beberapa pengikutnya terpilih sebagai anggota DPRD di kabupaten dan kota.
Ketika Tarekat Khalwatiah Syekh Yusuf mengalami kemunduran, antara lain disebabkan oleh kurangnya tokoh-tokohnya, Tarekat Khalwatiah Samman muncul. Sebagaimana perkembangan Khalwatiyah Syekh Yusuf, terekat Samman disambut baik oleh para bangsawan Bugis dan Makassar, serta para penguasa setempat. Selain itu, pendekatan sosial keagamaan turut dipergunakan dengan tetap mempertahankan ritus tradisional yang sebelumnya berlaku. Strategi lain penyebaran tarekat ini dilakukan melalui proses perkawinan.
Ajaran Tarekat Khalwatiah Samman dapat digeneralisasikan ke dalam tiga unsur utama, yakni bai'at, dzikir, dan wahdat al-wujud. Dalam tarekat Khalwatiah Samman, baiat merupakan unsur penting karena prosesi ini menandai seseorang masuk ke dalamnya. Prosesi pembaiatan itu disebut mattarima barakka (Bugis) atau annariama barakka (Makassar) yang secara harfiah berarti menerima berkah. Baiat ini dilakukan dengan membentangkan tangan di atas tangan seorang syekh bagi perorangan maupun kelompok, kemudian syekh membacakan surat al-Fath. Menurut Samman, seseorang yang akan memasuki dunia tarekat membutuhkan seorang syekh sebagai pembimbing, sebagaimana seorang Nabi membimbing umatnya. Melalui baiat, maka ia sudah terikat sumpah dan janji untuk mengikuti dan mengamalkan setiap ajaran tarekat Khalwatiyah Samman. Dzikir merupakan unsur penting dalam tarekat, karena tanpa ini media untuk memanggil Tuhan dan melakukan penajaman spiritual tidak tersedia. Dzikir dalam Khalwatiah Samman dilakukan dengan mengucapkan lafal-lafal yang diajarkan oleh khalifah, sehingga proses ini disebut juga dengan ratib, yang berarti pujian atau doa kepada Tuhan yang dilakukan secara berulang-ulang. Di lingkungan Samman, dzikir lebih afdhal dilakukan secara jahr (keras, biasanya dinamai dengan siikkiri tellu ratu atau dzikir yang terdiri atas tigaratus kali bacaan atau lebih), meski dapat juga dengan sirr (dalam hati) terutama untuk siikkiri seppulo (dzikir sepuluh). Dalam tarekat ini, dzikir terbagi atas bagian, yakni khalwatiyah, qadiriyah, dan afnawiyah.
Sementara konsep Wahdat al-wujud merupakan indikator keberhasilan seseorang dalam mendekati Tuhan sebagai puncak pengalaman spiritual, yakni bersatunya Tuhan dengan makhluk. Konsep wahdat al-wujud dan martabat tujuh dikembangkan oleh Khalwatiah Samman sebagai kesatuan Tuhan dengan alam melalui tiga martabat, yakni ahadiah, wahdah, dan wahidiyah. Antara lain karena ajarannya tentang wahdat al-wujud, tarekat ini mendapat tantangan yang cukup gencar dari beberapa kalangan Muslim, antara lain M. Andi Mappanyuki, seorang Raja Bone. Pada 1931, ia memprakarsai pertemuan ulama Sulawesi Selatan dengan mengundang Sayyid Abdullah bin Sadaqah Dahlan untuk menentang ajarannya. Dalam pertemuan itu, Abdullah Dahlan mengeluarkan fatwa bahwa tarekat Khalwatiah Samman sebagai batil karena berpaham wahdat al-wujud. Fatwa itu dibacakan di Mahkamah Syariah Bone, dan dihadiri oleh sejumlah ulama di Sulawesi. Meski semula Andi Mappanyuki termasuk pengikut tarekat ini, ia membuat himbauan kepada umat Islam untuk keluar.
Pengaruh fatwa itu sangat besar, terutama di kalangan raja-raja dan para ulama. Akibatnya, Khalwatiah Samman sampai saat ini belum diterima sebagai tarekat muktabar, meski oleh Ahl Tariwah al-Mu'tabarah al-Nahdhiyah tercatat sebagai tarekat muktabarah.
Tetapi, fatwa tinggal fatwa. Meski di kalangan raja dan ulama fatwa itu cukup berpengaruh, tetapi di lingkungan grass root popularitasnya nyaris tidak mengendur. Tampaknya, Tarekat Khalwatiah Samman berhasil merenovasi ajarannya, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga dapat bertahan, bahkan melampaui popularitas tarekat lain yang ada sebelumnya.(Huri)