Beberapa waktu yang lalu di blog ini ada pertanyaan dari Bapak Dodik Priyambada di sini tentang kelas excellent. Saya berjanji menjawabnya dalam bentuk tulisan. Kebetulan hari ini saya mengikuti kelas tentang Neo liberalisme di Jepang. Dan dalam perjalanan menuju tempat mengajar, sempat membaca tulisan David Hursh yang banyak menulis tentang Neo liberalisme dan dampaknya di dunia pendidikan di Amerika. Setelah membaca tulisan tersebut, saya menyadari adanya keterpautan antara kelas excellent dengan neo liberalisme.
Kalau tidak salah, kelas excellent adalah kelas yang berisikan anak-anak unggul dari segi akademik atau kemampuan nalar. Kelas ini dalam istilah yang lain sering disebut kelas akselerasi. Materi belajarnya menurut seorang guru di sebuah SMP yang pernah saya wawancarai, pada prinsipnya sama dengan kelas reguler tetapi lebih dipercepat dan diperkaya dari segi isinya.
Beberapa pakar menolak keberadaan kelas akselerasi atau kelas excellent dengan alasan bahwa pendidikan dari segi isinya harus dibuat equal, artinya semua siswa berhak mendapatkannya. Dengan pengelompokkan semacam ini maka siswa sudah mulai dikenalkan dengan adanya perbedaan antara yang berotak brilian dengan yang berotak cerdas. Tentu saja secara psikologis ada dampak negatif yang akan muncul.
Tetapi kenapa sebenarnya muncul ide pengelompokan ? Saya mencoba melihatnya dari kaca mata neo liberalisme. Dengan berubahnya paradigma pengelolaan pelayanan publik di tahun 1970an, yaitu dari konsep yang menghamburkan uang kepada konsep menghemat budget, dari konsep sentralisasi menjadi konsep desentralisasi, dan dari konsep pendidikan berorientasi anak menjadi pendidikan yang berorientasi pasar, maka sekolah-sekolah menjadi alat ekonomi.
Fungsi sekolah adalah sebagai produsen industri dalam menyediakan tenaga kerja. Yang karenanya, lulusan sekolah pun harus melewati standardisasi yang dibuat oleh pakar ekonomi, dan bukan pakar pendidikan. Sama seperti di Indonesia, di beberapa sekolah di Amerika, guru-guru pun ditekan untuk mengajarkan materi belajar sesuai dengan bahan ujian standardisasi. Mereka dipaksa untuk memperoleh nilai bagus agar dengan hasil itu kepercayaan publik meningkat. Tetapi siapa sebenarnya yang membuat publik setuju dengan konsep standardisasi ? Lagi-lagi pakar ekonomi (ini menurut Hursh).
Kelas excellent adalah juga untuk memenuhi permintaan pasar. Anak-anak yang dipaksa untuk menggunakan talenta kecerdasannya untuk memenuhi keinginan beberapa pihak tertentu yang menginginkan sekelompok Einstein baru lahir dari sekolah-sekolah dasar dan menengah. Mereka-merekalah yang kelak akan dididik di universitas bergengsi untuk menjadi pekerja di perusahaan bergengsi pula. Hursh bahkan menyebutkan bahwa pasca Fordism, terlihat nyata kolaborasi antara pemerintah, sekolah (Perguruan Tinggi) dan perusahaan.
Sayangnya anak-anak yang cerdas secara akademik itu seharusnya dididik pula untuk menjadi manusia normal. Seperti kata McNeil yang dikutip oleh Hursh, bahwa peran siswa sebagai kontributor utama di dalam proses belajar mengajar, yaitu sebagai pemikir, manusia biasa yang mempunyai pengalaman hidup dan keseharian yang seharusnya digali dan dicernanya di ruang kelas dengan bimbingan guru, menjadi tidak bermakna apa-apa dengan program yang mengejar standard excellent.
Saya berpendapat bahwa penamaan kelas excellent seharusnya diberikan untuk kelas yang siswanya mengalami kesulitan dan kelambatan dalam pemahaman atau kelas rata-rata, yang dengan kepandaian dan kebijaksanaan pengajaran guru-gurunya bisa membawa semua anak merasakan nikmatnya menjadi orang terdidik.
Kelas excellent harus memberikan materi pelajaran hidup, yang mengantarkan siswa untuk menjadi manusia yang berkembang fisik, jiwa/naluri dan akalnya. Dan untuk keperluan ini siswa tidak perlu dipaksa mengikuti segala tetek bengek standardisasi achievement, tetapi dia dianggap sudah mengikuti pendidikan yang terstandar, memadai untuk keperluan hidup selanjutnya.
Kelas excellent membuat siswa seakan-akan menjadi robot akibat sistem pendidikan yang tidak membangun Manusia Indonesia Seutuhnya yang telah terkonsep dalam UUD 1945, dimana membentuk manusia indonesia yang beriman, bertaqwa berbudi luhur dst... tetapi siswa hanya dijadikan alat oleh kaum elit untuk mencapai tujuan pribadinya tidak untuk bangsa dan negara.
by Aldo Abdul..........