Syech Ahmad Asrori al-Ishaqi Surabaya

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.

Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.

Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.

Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.

SILSILAH THORIQOH QODIRIYYAH WA NAQSHABANDIYYAH

41. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
40. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad ‘Utsman bin Nadiy Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
39. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abi Ishamuddiyn Muhammad Romliy At Tamimimiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
38. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kholil Rejoso
Bertalqin dan berbai’at dari :
37. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Hasbullaah Madura
Bertalqin dan berbai’at dari :
36. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Khothib As Sambasiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
35. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
34. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Murod
Bertalqin dan berbai’at dari :
33. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Fattaah
Bertalqin dan berbai’at dari :
32. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kamaluddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
31. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Utsman
Bertalqin dan berbai’at dari :
30. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdur Rohiym
Bertalqin dan berbai’at dari :
29. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar
Bertalqin dan berbai’at dari :
28. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Yahya
Bertalqin dan berbai’at dari :
27. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Chisamuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
26. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Waliyuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
25. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Nuruddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
24. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
23. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syarofuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
22. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
21. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad Al Hataki
Bertalqin dan berbai’at dari :
20. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul ‘Aziyz
Bertalqin dan berbai’at dari :
19. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qodir Al Jiylani
Bertalqin dan berbai’at dari :
18. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Sa’id Al Mubarrok
Bertalqin dan berbai’at dari :
17. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Hasan Ali Al Hakariy
Bertalqin dan berbai’at dari :
16. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Faraj Al Thurthusiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
15. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Wahid Al Tamimi
Bertalqin dan berbai’at dari :
14. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar As Shibliy
Bertalqin dan berbai’at dari :
13. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qosim Junaiyd Al Baqhdadiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
12. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Sari As Siqthi
Bertalqin dan berbai’at dari :
11. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Al Ma’ruf Al Karkhi
Bertalqin dan berbai’at dari :
10. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Hasan Ali Ridlo
Bertalqin dan berbai’at dari :
9. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Musa Kadziym
Bertalqin dan berbai’at dari :
8. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ja’far As Shodiyq
Bertalqin dan berbai’at dari :
7. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Imam Muhammad Baqir
Bertalqin dan berbai’at dari :
6. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainul Abiddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
5. Al Arif Billaah Sayyidina Husain RodliyallaaHhu ‘anhu
Bertalqin dan berbai’at dari :
4. Al Arif Billaah Sayyidina Ali Karromallaahu Wajhahu
Bertalqin dan berbai’at dari :
Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan Allaah kepada sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad SAW
3. RosuulullaaHh Muhammad SAW
Bertalqin dan berbai’at dari :
2. Sayyidina Jibril Alaihis-salam
Bertalqin dan berbai’at dari :
1. Allah SWT


Meninggalnya KH Asrori Al Ishaqi (58), menjadi berita duka bagi keluarga besar Pondok Al Fithrah dan jamaah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Tanah Air. Siapa sosok Kiai Asrori?

Kaum muslimin Indonesia berduka, tepat disaat menyambut Harlah Bangsa Indonesia, telah berpulang kehadirat Allah SWT dengan penuh senyum, Mbah KH Achmad Asrori Al-Ishaqi, tanggal 18 Agustus 2009 pada pukul 02.20 WIB. Hadrotusy Syeikh Ahmad Asrory Al Ishaqi, Mursid Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqshabandiyyah, wafat karena sakit komplikasi yang dideritanya selama ini. Dia sempat dioperasi dan menjalani check up di Singapura sebelum meninggal dunia.
“Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan maupun penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS Lafayat Malang,” kata salah satu kerabat Djudjuk M Usdek Kariono kepada wartawan.
Bagi para santri dan petakziyah yang tidak bisa melihat dari dekat proses pemakaman KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi, pihak ponpes menyiapkan beberapa televisi yang ditempatkan di beberapa titik di kompleks ponpes itu.
Sementara Jalan Kedinding Lor ditutup total. Pasalnya jalan itu dipadati oleh para pelayat maupun kendaraan baik roda dua dan roda empat. Bahkan di Jalan Kedung Cowek atau jalan akses menuju Jembatan Suramadu digunakan sebagai parkir kendaraan pelayat.
Tampak karangan bunga dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa karangan bunga lainnya berasal dari Gubernur Jawa Timur, Sekretaris Pemkot Surabaya dan para pengasuh pondok pesantren se Jawa Timur.
Presiden SBY sempat bertandang ke ponpes tersebut Rabu (28/1/2009) lalu. Di ponpes itu SBY menyerahkan bantuan dan beasiswa bagi pondok pesantren di Indonesia termasuk Assalafi Al Fithrah.

Jenazah Kyai ASRORI dimakamkan sebelum waktu sholat Dhuhur di lingkungan Pondok Pesantren Kedinding Lor. Pemakaman Kyai Asrori dihadiri Muspida, KH ABDUR RASYID pemimpin pesantren, WISNU BROTO Direktur Pendidikan Pondok Pesantren Departemen Agama dan Kombespol RONNIE F SOMPIE Kapolwiltabes Surabaya.


KARANGAN bunga duka cita dari sejumlah tokoh penting masih berdiri kokoh di pintu gerbang Pondok Assalafi Al Fithrah di Jalan Kedinding Lor 99 Kota Surabaya. Ada karangan bunga dari Presiden SBY, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Kapolwiltabes Surabaya Kombespol Ronny F Sompie, dan Wali Kota Surabaya Bambang DH.

Para petakziah pun terus berdatangan. Mereka langsung ziarah ke makam tokoh dan mursyid jamaah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, KH Asrori Al Ishaqi, di depan masjid pondok.

Gundukan bekas tanah galian makam masih terlihat basah. Hamparan karpet warna hijau dan sejumlah sekatan kayu lapis bercat putih yang diposisikan sekitar 5 meter dari makam berdiri. Kayu ini untuk membatasi barisan depan peziarah dengan lokasi makam Kiai Asrori.

Para pengurus atau pimpinan pondok pun masih larut dalam suasana duka. ”Masih suasana duka, tak ada wawancara sampai tujuh hari sepeninggal Pak Kiai (Asrori),” ujar seorang santri usai shalat zuhur, kepada Suara Merdeka.

Berdasar referensi tertulis, Kiai Asrori adalah anak KH Utsman Al Ishaqi, sahabat KH Mustain Romli dari Pondok Darul Ulum Rejoso, Jombang. Nama belakang Ishaqi pada Kiai Utsman dinisbahkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman dinilai masih ada jalinan keturunan dengan Sunan Giri.
Sebagai Mursyid

Kiai Asrori adalah anak Kiai Utsman dan memiliki 13 saudara yang kini tinggal 9 orang. Kiai Utsman meninggal pada Januari 1984 pada usia 77 tahun. Kiai Utsman adalah santri KH Ramli Tamim, ayah KH Mustain Ramli.

Ketika Kiai Ramli Tamim masih hidup, ada 3 kiai yang dibaiat sebagai mursyid (pimpinan tarekat) Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, yakni KH Utsman Al Ishaqi Kedinding Lor Surabaya, KH Makki Karangkates Kediri, dan KH Bahri Mojosari Mokojerto.

Berdasar buku ”Politik Tarekat” yang ditulis Mahmud Sujuthi (2001), sepeninggal Kiai Utsman, estafet kepemimpinan lembaga tarekat dipimpin Kiai Asrori, saat usia baru 30 tahun.

Di bawah kepemimpinan Kiai Asrori, Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah berkembang dan memperoleh apresiasi dari banyak umat. Ada kegiatan yang disebut khususiyah yang dihelat tarekat ini yang dihadiri rata-rata 4.000 orang di Pondok Al Fithrah.

“Yang menarik pengamal tarekat pimpinan Kiai Asrori adalah sebagian besar karyawan swasta, PNS, ilmuwan, dan tokoh penting pemerintahan. Di kalangan Tarekat Kedinding Lor yang berhak melakukan baiat kepada anggota baru adalah Kiai Asrori saja selaku mursyid, tak ada khalifah atau badal atau wakil mursyid sebagaimana tarekat Cukir Jombang dan Rejoso Jombang,” tulis Mahmud Sujuthi.

Sebagaimana anak kiai besar dan dihormati karena ilmunya yang tinggi, Kiai Asrori dalam menimba ilmu dan pengetahuan agama mengembara dari satu pondok ke pondok lainnya. Tapi, tempo mondoknya tergolong singkat. Kabarnya, Kiai Asrori pernah nyantri di Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang hanya setahun. Demikian pula di Pondok Pare Kediri dan Pondok Bendo juga setahun.
Anak Macan

Yang menarik, ketika mondok di Pondok Rejoso Jombang, Kiai Asrori tak aktif mengikuti ngaji. Namun itu tak membuat risau KH Mustain Ramli, pimpinan Pondok Rejoso. “Biarkan saja, anak macan kan akhirnya jadi macan juga,” kata Kiai Mustain Ramli.

Karena kepintarannya yang luar biasa, terutama di bidang ilmu agama, di kalangan kiai dan santri pondok, Kiai Asrori dinilai memiliki ilmu laduni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Dia memperoleh ilmu itu tanpa melalui proses belajar-mengajar yang wajar sebagaimana dijalani santri pondok pada umumnya.

Selama menimba ilmu di Pondok Rejoso itu, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum Al-Din karya Imam Al Ghazali dengan sangat baik. “Kalau saya bukan bapaknya, saya mau kok ngaji kepadanya,” ujar KH Utsman Al Ishaqi sebagaimana dikutip dari buku “Politik Tarekat” karya Dr Mahmud Sujuthi.

Karena kepintarannya itu, tak ada keraguan sedikit pun pada Kiai Utsman untuk menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan tarekat yang dipimpinnya kepada anaknya, Kiai Asrori. Kendati Kiai Asrori bukan anak laki-laki tertua dari 9 bersaudara.

“Kiai Asrori ulama tarekat yang luar biasa dan istiqomah menjalankan perannya itu dengan baik. Karena itu, semua fatwa dan pandangannya diikuti umatnya. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau,” kata Rois Syuriah NU Jatim, KH Miftakhul Akhyar.

Tarekat Qodiriyyah Wan Naqsabandiyah Kedinding Lor Surabaya di bawah pimpinan Kiai Asrori termasuk 3 lembaga tarekat besar di lingkungan NU. Dua lembaga tarekat lain adalah Tarekat Rejoso Jombang di bawah pimpinan KH Mustain Ramli dan Tarekat Cukir Jombang dengan pimpinan KH Adlan Ali.

Hakikatnya, ketiga tarekat itu awalnya bersumber dari satu wadah, yakni Tarekat Rejoso Jombang. Setelah KH Mustain Ramli merapat ke Golkar pascapemilu 1971 dan mendukung partai itu pada pemilu 1977, terjadi pembelahan tarekat di kalangan NU.

Yang berdiri berseberangan secara politik dengan Tarekat Rejoso adalah Tarekat Cukir di bawah pimpinan KH Adlan Ali. Tarekat Cukir ketika itu dekat dengan kalangan PPP dan Pondok Tebuireng Jombang di bawah pimpinan KH Yusuf Hasyim (Pak Ud).

Tarekat Kedinding Lor di bawah KH Utsman Al Ishaqi memisahkan diri dari Tarekat Rejoso di bawah mursyid KH Mustain Ramli bukan karena pertimbangan politik yakni masuknya Kiai Mustain ke Golkar. Tapi, karena Kiai Mustain menghapus KH Utsman Al Ishaqi dari silsilah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Rejoso.

Padahal, yang mengangkat Kiai Mustain sebagai mursyid adalah Kiai Utsman atas permintaan Nyi Djah, bukan langsung dari ayahnya KH Ramli Tamim.
Pada era 1970-an, komunitas tarekat yang identik dengan kalangan NU itu menjadi sasaran penguasa Orde Baru untuk dirangkul. Soeharto melalui Golkar berhasil merebut dan mengambil hati KH Mustain Ramli yang memimpin Tarekat Rejoso. Padahal, saat itu sebagian besar kiai, tokoh, dan warga NU merapat ke PPP. Sebab, partai ini dinilai sebagai satu-satunya partai yang mewadahi dan memperjuangkan aspirasi umat Islam dan berasas Islam pula.

Karena itu, kiai tarekat lain yang lebih dekat ke PPP mendirikan Tarekat Cukir dengan tokoh utama KH Adlan Ali dan didukung Pondok Tebuireng. Dalam perspektif politik, Tarekat Rejoso dan Cukir berada di posisi berseberangan. Di sisi lain, Tarekat Kedinding Lor berada di titik netral. Tak terikat dengan partai mana pun maupun menyandarkan diri di antara Tarekat Rejoso dan Cukir.

Dari sisi perilaku politik, Tarekat Rejoso bersifat adaptif kompromis, Tarekat Cukir bersifat antagonis, dan Tarekat Kedinding Lor bersifat kooperatif. Selain itu, dari sudut pola pemikiran, antara Tarekat Rejoso dan Kedinding sama-sama bersifat rasionalistik, realistik, dan substantivistik. Sedang Tarekat Cukir bersifat skripturalistik, idealistik, dan formalistik.

Cuma dari sisi afiliasi politik, antara ketiga tarekat itu berbeda-beda. Tarekat Rejoso merapat ke Golkar, Tarekat Cukir bersandar ke PPP, dan Tarekat Kedinding Lor berposisi netral. Karena sifat netralnya secara politik, Tarekat Kedinding Lor di bawah pimpinan Kiai Asrori memiliki hubungan dan jaringan yang luar biasa banyak dengan berbagai kalangan di tingkat nasional.

Kiai Asrori memiliki akses dengan pusat-pusat kekuasaan di Jakarta. Ketika Ibu Tien Soeharto wafat dan diperingati 100 hari kematiannya, Kiai Asrori yang memimpin tahlil akbar di Ndalem Kalitan Solo dan makam Astana Giribangun Karanganyar, Jateng.

Tapi, Tarekat Kedinding Lor tak pernah mengarahkan jamaahnya untuk memilih parpol tertentu pada pemilu, termasuk pada pileg dan pilpres 2009 lalu. Pondok Al Fithrah, selain dikenal sebagai mursyid Tarekat Kedinding Lor Surabaya, Kiai Asrori mewarisi peran ayahnya sebagai pengasuh ponpes. Pondok Assalafi Al Fithrah yang didirikan tahun 1985 bersama 3 santri Pondok Darul Ubudiyah Jatipurwo Surabaya, yakni Zainal Arief, Wahdi Alawy, dan Khoiruddin sekarang mengalami perkembangan pesat.

Pondok Al Fithrah kini memiliki 2.600 santri dan santriwati. Dari jumlah itu, 1.209 santri bersifat menetap dan yang tak menetap sebanyak 1.391 santri. Pondok yang berdiri di atas lahan 4 hektare lebih itu, memiliki lembaga pendidikan di semua tingkatan, dari tingkat TK, MI, MTS, MA, dan STIU Al Fithrah.

Ada sejumlah kegiatan unggulan Pondok Al Fithrah dibanding pondok salaf lainnya di lingkungan NU. Di antaranya, jamaah maktubah, aura aurod, dan qiroatul Alquran. (Ainurrohim-77)

dikutib sesuai aslinya dari Kitab
Al Khulashotul wa fiy-yah, fil Aadabi wa Kaifiy-yatidz-dzikri indas-saadatil Qodiyiyyah Wan naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah