Konflik Yang Terjadi Di Lampung




Bentrokan berdarah antarkampung di Lampung Selatan pada awal pekan ini semestinya bisa dicegah bila kepolisian dan pemerintah setempat lebih sigap. Tanda-tanda konflik sudah terlihat sebelum meledak, namun pemerintah daerah dan polisi lamban bergerak. Lambatnya antisipasi ini makin mengherankan karena konflik serupa bukanlah yang pertama kali terjadi di Lampung Selatan. Dalam setahun ini saja sudah empat kali terjadi bentrokan yang berakibat hilangnya nyawa dan rusaknya puluhan rumah.

Berulangnya konflik dalam waktu singkat menunjukkan bahwa akar persoalan belum diatasi hingga tuntas. Ketika bentrokan terjadi, penyelesaian yang dilakukan hanya menyentuh permukaan, bukan akar masalahnya. Upaya dialog di antara pihak yang bertikai melalui mediasi pihak musyawarah pimpinan daerah akhirnya hanya bersifat formalitas. Solusi yang diajukan pun tak ditindaklanjuti. Wajar saja jika konflik pun kembali terjadi. Siklus itulah yang terjadi dalam bentrokan terakhir di Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan. Dalam bentrokan ini, 14 orang tewas.

Konflik Lampung ini berakar dari kurang harmonisnya hubungan antara warga pendatang, yaitu kelompok etnis Bali, dan penduduk asli. Warga Bali datang ke Lampung sejak zaman Belanda sebagai transmigran. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, rombongan yang berdatangan makin banyak. Sebagian dari mereka adalah korban letusan Gunung Agung, Bali, pada 1963. Sebagian lain yang menyusul kemudian adalah rombongan proyek transmigrasi yang dilakukan pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.

Ketika rombongan warga Bali ini mulai bermukim, benih-benih gesekan bermunculan. Gesekan itu didorong oleh kesenjangan ekonomi antara kelompok pendatang dan penduduk asli. Pendatang umumnya sukses sebagai pengusaha dan petani kebun kelapa sawit, sedangkan warga lokal banyak yang menjadi petani penggarap. Penduduk lokal juga menuding para pendatang dari Bali ini enggan membaur. Kebiasaan warga Bali membangun kampung menyerupai desa asalnya di Bali, lengkap dengan pusat ibadah dan kebudayaannya, dianggap sebagai simbol keengganan membaur.

Benih ketegangan itulah yang dengan mudah meledak menjadi bentrokan, bahkan oleh sebab yang sepele. Inilah yang terjadi dalam bentrokan terakhir di Desa Balinuraga. Bentrokan terjadi gara-gara muncul isu bahwa pemuda dari Desa Balinuraga melecehkan dua gadis dari Desa Agom.

Untuk mencegah konflik serupa, dialog di antara kedua kelompok semestinya lebih intensif. Melakukan dialog hanya saat konflik terjadi tidak akan menyelesaikan persoalan. Langkah pemerintah Lampung mengumpulkan tokoh-tokoh adat Lampung dan tokoh dari warga Bali untuk melakukan rekonsiliasi boleh saja dilakukan. Namun pertemuan ini seharusnya menghasilkan format penyelesaian konflik yang bisa diterima kedua pihak secara permanen. Salah satunya, dengan membuka jalur komunikasi di antara kedua kelompok agar tidak mudah terjadi salah paham.

Aparat keamanan juga semestinya lebih peka melihat situasi. Meski bentrokan sering terjadi secara tiba-tiba, tanda-tanda awal biasanya sudah terlihat. Misalnya, beredarnya isu yang makin lama makin panas. Polisi mesti lebih cermat melihat tanda-tanda itu dan dengan cepat melakukan pencegahan. Antisipasi awal itu penting karena, dari beberapa kali konflik, polisi kewalahan menanganinya saat bentrokan telanjur meluas.

Di sisi lain, solidaritas mahasiswa yang tergabung dalam Lampung Damai yang terdiri dari  BEM UNILA, LMND, GMKI, dan UKM Hindu bersepakat menyerukan agar tidak ada lagi pertikaian di Bumi Sai Ruwa Jurai. Solidaritas Lampung Damai meyayangkan peristiwa yang menelan korban jiwa kembali lagi terjadi di Lampung, tepatnya di Lampung Selatan. Solidaritas Mahasiswa itu meyayangkan pemerintah dan kepolisian yang lamban dalam mengantisipasi berbagai persoalan yang timbul di bumi Gerbang Sumatera itu.

Pernyataan itu disampaikan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung Arjun Fatahillah. "Dengan melihat situasi tersebut, kami mengajak semua pihak untuk mendorong perdamaian terhadap kedua belah pihak yang bertikai. Serta berharap kejadian ini tidak akan terulang lagi dimasa yang akan datang," ujarnya.

Oleh karenanya, Solidaritas Mahasiswa untuk Lampung Damai mengimbau kepada seluruh masyarakat akan dapat menahan diri dan tidak terprovokasi atas isu sara ini yang menyebabkan perpecahan. Solidaritas Mahasiswa mendesak pemerintah harus segera melakukan upaya mediasi dan rekonsiliasi diantara pihak yang bertikai.

Selain itu, Solidaritas Mahasiswa untuk Lampung Damai juga menyayangkan kelalaian pihak aparat dan pemerintah sampai konflik ini meluas. Serta, mendorong pihak aparat untuk menegakkan hukum dengan adil juga mendorong aparat kepolisian untuk segera mengendalikan konflik agar tercipta rasa aman ditengah masyarakat.

Poin penting yang disampaikan Solidaritas Mahasiswa untuk Lampung Damai adalah mengajak semua pihak untuk membantu meringankan penderitaan seluruh masyarakat yang menjadi korban kerusuhan Lampung Selatan serta menolak rencana pemerintah mengesahkan RUU kamnas yang berpotensi mencederai demokrasi.

Sementara itu, pengungsi dari Desa Balinuraga dan Desa Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Kabupaten Lampung Selatan, yang terlibat bentrokan dengan warga beberapa desa di Kalianda, menginginkan perdamaian dan tidak terjadi lagi konflik yang menelan korban jiwa.

"Kami bersedia damai secepat mungkin dan tidak ada lagi keributan. Yang sudah, biarkan berlalu," kata Made Lastri, 35, warga Desa Balinuraga yang ikut mengungsi di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, Bandarlampung, Rabu (31/10).

Ia mengatakan kejadian seperti itu bukan hanya berakibat kerugian materi, namun juga sangat merugikan masyarakat luas yang tidak mengetahui permasalahannya. "Ke depan, kami ingin tidak ada lagi pertikaian dan masyarakat harus saling menghormati, agar tercipta hidup yang arif dan damai," ujarnya.

Lastri yang rumahnya ikut terbakar mengungkapkan, sebelum mengungsi ke SPN Kemiling, dirinya beserta keluarga dan warga desa lainnya telah mengungsi ke hutan di sekitar desa mereka. "Saya dua hari di hutan tidak makan. Kabar bahwa rumah saya terbakar pun diberitahu oleh tetangga," ujar dia lagi.


Dirinya beserta warga lain, tidak sempat membawa pakaian untuk ganti, dan hingga hari ini sangat membutuhkan pakaian tersebut. Hal senada diungkapkan Wayan Sudana, 39, yang rumahnya ikut terbakar. Ia menegaskan bahwa dirinya menginginkan agar pemerintah secepat mungkin dapat membantu mengatasi masalah ini.

"Pemerintah harus turun tangan untuk membantu menciptakan perdamaian di antara kami," ujar dia. Ia mengungkapkan akibat konflik tersebut dirinya mengalami kerugian materi yang cukup besar. Menurut dia, anaknya telah diungsikan ke rumah kerabatnya yang berada di Kabupaten Lampung Timur. "Anak saya sudah diungsikan tadi pagi ke tempat kerabat, saya bertahan di sini untuk mengetahui informasi selanjutnya," ujar dia.

Sebelum kejadian bentrokan itu, dia mengungkapkan, anaknya telah diungsikan agar tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya. "Harapan kami hanya perdamaian tercipta di daerah saya," ujar dia. (IRIB Indonesia/Tempo)