Makalah Filsafat Ilmu (Etika dalam Sains)

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia, baik sebagai individu atau masyarakat, menyimpan segudang dilema yang sangat menarik jika diperbincangkan. Banyak dimensi yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam misteri dari individu bernama manusia. Dilema-dilema itu antara lain terkait masalah ketuhanan, jiwa/roh, kebebasan, dan lain sebagainya.
Dalam menghadapi dilema – dilema tersebut, manusia akan berusaha mencari jalan keluarnya. Dan dalam mencari jalan keluarnya, manusia harus mematuhi berbagai norma, nilai, atau etika. Agar pemecahan  tersebut tidak mengalami kontroversi.
Begitu juga dalam hal penelitian ilmu pengetahuan, atau sains. Ada etika – etika tertentu yang harus kita patuhi, agar ilmu yang kita teliti sesuai dengan batas – batas yang telah ditentukan, serta dapat diterima orang lain.
Apa-apa saja etika dalam sains? Apa hubungan etika dengan filsafat? Dalam makalah ini kita akan membahas berbagai etika dalam ilmu pengetahuan dan juga apa hubungannya dengan filsafat.









BAB II
ISI
ETIKA DALAM SAINS


A.    ETIKA
Etika adalah kajian atau pemikiran sistematis, kritis dan mendasar tentang moralitas. Berbeda dengan moral, yang dihasilkan etika bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Salah-satu tujuan etika adalah membantu kita mencari orientasi, agar kita tidak hanya ikut-ikutan saja terhadap berbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup. Karenanya, dengan etika diharapkan kita dengan sadar melakukan segala hal perbuatan dan tatacara hidup. Sehingga kita lebih mampu mempertanggungjawabkan kehidupan kita.

Saat ini, keberadaan etika sangat diperlukan. Bahkan dinyatakan oleh K. Bartens dalam bukunya yang berjudul ’Etika’, saat ini etika sedang naik daun. Masyarakat yang semakin plural, meliputi berbagai suku, bangsa, bahasa, ideologi dan sebagainya. Mereka masing-masing membawa norma-norma moral yang berlainan satu sama lain. Kesatuan tatanan moral hampir tak ada lagi.

Kondisi ini diperparah dengan gelombang globalisasi dan modernisasi yang tiada henti. Gelombang modernisasi telah merasuk ke segala penjuru dan pelosok tanah air. Berbagai perubahan dalam masyarakat pun terjadi. Baik dalam penggunaan teknologi yang semakin canggih, maupun cara berfikir masyarakat pun berubah secara radikal. Rasionalisme, individualisme, sekularisme, kepercayaan akan kemajuan, konsumereisme, pluralisme religius serta sistem pendidikan secara hakiki mengubah budaya dan rohani di Indonesia.
Perubahan demi perubahan tersebut pun banyak dimanfaatkan oleh orang lain yang ingin memancing diair keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat.

Melihat kondisi tersebut, etika akan membantu kita agar tak kehilangan orientasi dan mengambil sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan. Etika juga membantu kita menghadapi ideologi-ideologi, yang mengaku sebagai penyelamat itu, secara kritis dan objektif.



B.     ETIKA DAN AGAMA
            Selama ini agama sering dianggap sebagai sebuah institusi moral. Para agamawan, dengan pengusaan terhadap wahyu Tuhan, menjadi legalisator hukum moral. Umumnya para agamawan itupun mendapat kepercayaan dari umatnya. Para agamawan tersebut selalu mampu menjelaskan moral versi mereka dihadapan umatnya. Bagi umat yang taat, setiap kata agamawan itu adalah firman Tuhan yang harus dipatuhi.
          
  Tapi bukan berarti moral agama tanpa masalah. Interpretasi terhadap wahyu Tuhan menjadi masalah yang selalu dihadapi para ulama atau semacamnya. Hingga kini, telah terbit puluhan tafsir dari kitab suci, misalnya Al-Quran. Dan terkadang masing-masing madzhab memiliki tafsir yang berbeda terhadap kitab suci. Maka tak jarang apa yang menurut kita adalah tafsir atau maksud dari kitab suci, ternyata hanya penafsiran satu madzhab belaka.
       
     Disamping itu, dalam pluralnya masyarakat saat ini, moral agama hanya bersifat ekslusif. Ia tak mampu menjelaskan moral terhadap orang diluarnya. Dan walaupun mampu mendoktrin pengikutnya tentang moral, tapi mereka tak punya dasar yang kuat sebagai pertanggungjawaban di hadapan publik umum. Ketika ditanya mengapa mereka melakukan perbuatan ini itu dan melarang yang lainnya, mereka hanya mengutarakan jawaban bahwa ini yang diperintahkan Tuhan dalam kitab suci. Karena itu, penting kiranya etika untuk mempertanggungjawabkan itu semua secara universal dan inklusif.

C.    ETIKA MERUPAKAN BAGIAN FILSAFAT
            Etika merupakan salah-satu cabang tertua dari filsafat. Hal itu bisa dinyatakan setidaknya melalui tiga sudut pandang. Tiga sudut pandang tersebut adalah sejarah, tema-tema yang dikaji dan definisi. Dari sudut pandang sejarah telah dimulai dari zaman klasik sejarah filsafat, yang selalu dipenuhi dengan pembahasan tentang etika. Setidaknya terhitung sejak masa hidup Sokrates.
Sokrates dan para Kaum Shopis adalah orang-orang yang memindahkan filsafat dari kosmosentris ke antroposentris. Dan di antara tema-tema yang menjadi objek kajian adalah etika, misalnya nilai, kebebasan, suara hati, jiwa, ego, super ego dan sebagainya.

Filsafat membahas berbagai persoalan yang pernah terjadi pada setiap masa. Seperti Sokrates membahasa masalah moral, karena ketika itu moral mulai dipersoalkan seiring dengan berkambangnya filsafat yang selalu mengkritisi segalanya. Sokrates tampil dimuka umum untuk memperoleh jawaban yang memuaskan tentang keutamaan, keadilan, dan kebajikan. Di zaman modern, tampil Immanuel Kant sebagai tokoh yang membahas moralitas dengan menulis Critique of Practical Reason.

Filsafat pada umumnya didefinisikan sebagai suatu tindak pemikiran yang logis, kritis, mendasar hingga ke akar-akar permasalahan. Dalam buku Persoalan-Persoalan Filsafat yang diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi, salah-satu definisi filsafat yang diajukan adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sangat kita junjung tinggi.

Dalam hal ini, norma dan moral secara tak langsung menjadi objek yang harus dikaji oleh filsafat. Sebab sebagai mahluk sosial, manusia tak habis-habisnya menghadapi bermacam problema. Dalam hubungan antar manusia, moralitas menjadi persoalan pokok yang amat mengusik. Masalah ini tak habis-habisnya untuk dibahas dari zaman dahulu hingga sekarang. Sebagaiman telah dijelaskan dalam pendahuluan makalah ini. Dan etika adalah cabang yang mengkaji moral secara kritis, sistematis dan mendasar. Oleh karena itu, layak disebut sebagai cabang dari filsafat.

Di sini tak akan dibahas cabang dan pemabagian-pembagian etika. Namun, sebagaimana telah disinggung, bahwa etika adalah bagian dan sangat penting menjadi kajian filsafat.

Etika sebagai ilmu melanjutkan kecendrungan kita dalam hidup sehari-hari. Etika mulai, jika kita merefleksikan unsur-unsur etis dari pendapat-pendapat yang spontan. Kebutuhan refleksi ini dirasakan manakala pendapat kita berbeda dengan orang lain. Maka timbulah pertanyaan, siapa yang paling benar? Apa dasar objektifitas dari argumen kita? Dan lain sebagainya. Tugas etika adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dengan demikian, filsafat merupakan sebuah refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma atau dari sudut baik dan buruk.

Dalam konteks Yunani kuno, etika telah berbentuk dengan kematangan. Etika adalah ilmu yang tidak merupakan suatu ilmu empiris. Filsafat tidak membatasi diri pada gejala-gejala kongkret belaka sebagaimana sains. Filsafat memberanikan diri juga untuk melampau taraf kongkret dengan seolah-olah menanyakan dibalik gejala-gejala konkret.

Ciri khas filsafat juga tampak dalam etika yang juga tak terhenti pada hal-hal konkret, pada yang secara faktual dilakukan. Tapi ia bertanya tentang yang harus atau tidak boleh dilakukan, tentang baik atau buruk dilakukan.

Dalam contoh kasus korupsi misalnya. Etika tidak akan menanyakan, bagaimana fungsinya dalam masyarakat, apakah banyak dilakukan, golongan mana yang terlibat, alasan apa saja yang menyebabkan mereka melakukan korupsi. Ini semua merupakan pertanyaan sosiologi.
Dalam kasus ini, etika akan menyibukan diri dengan segi normatif dan evaluatif. Misalnya, apakah korupsi dapat dibenarkan atau tidak? Bagaimana argumen mereka yang menolak dan mendukung korupsi? Apakah argumen mereka dapat dipertanggungjawabkan? Dan tentu saja etika terlebih dulu harus menyelidiki apa yang persisnya disebut dengan korupsi.

Etika bisa disebut juga sebagai filsafat praktis, karena ia membahas ”yang harus dilakukan”. Selain itu, etika juga langsung berhubungan dengan prilaku manusia. Tetapi etika tidak merupakan filsafat praktis dalam arti menyajikan resep-resep yang siap pakai. Bidangnya tidak teknis melainkan reflektif. Etika merefleksi tema-tema yang menyangkut prilaku manusia. Tema-tema yang dianalisis seperti yang disebut di atas antara lain, hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban dan keutamaan. Pendek kata, etika bergerak dibidang intelektual yang objeknya langung berkaitan dengan praktek kehidupan kita. Nilai dan norma etis dalam moralitas yang terdapat dalam agama, kebudayaan, nasionalisme, pergaulan anak muda dan lain-lain, menjadi objek kajian intelektual etika yang langsung dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, M. T. Misbah Yazdi dalam bukunya ’Falsafeh ye Akhlak’, yang diterjemahkan Amar Fauzi H. dan diterbitkan Al-Huda dengan judul ’Meniru Tuhan’, menjelaskan bahwa salah-satu faktor terpenting dalam pencapaian kebahagiaan dunia ahirat adalah akhlak mulia. Yang dimaksud dengan akhlak di sini tak lain adalah moral. Mengingat dalam definisi akhlak dalam buku ini mengacu pada arti etika pada umumnya. Disebutkannya bahwa ilmu akhlak (filsafat etika) adalah pengetahuan tentang tradisi, adat istiadat, dan sifat-sifat manusia. Selain itu, pembagian-pembagian akhlak juga sama dengan pembagian etika pada umumnya, seperti akhlak deskriptif dan normatif. Misbah Yazdi menjelaskan bahwa menurut Islam, akhlak adalah satu ajaran fundamental di samping akidah dan syariat. Ia adalah jalan hidup dan arah gerak lurus menuju kesempurnaan sejati. Bagi Misbah Yazdi, ahklak (moral) adalah satu-satunya jalan menuju kebahagian dunia akhirat.


D.    SAINS DAN FILSAFAT
            Pembahasan kedua dalam makalah ini adalah tentang hubungan sains dengan filsafat. Sains atau ilmu pengetahuan pada zaman klasik tak terpisah dengan filsafat. Para filsuf terdahulu seperti Aristoteles dan Plato selalu mendasarkan penyelidikannya pada metafisika. Plato misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang kita punya saat ini adalah bawaan dari alam idea. Proses berfikir ia samakan dengan proses mengingat apa-apa yang pernah dilihat oleh manusia di alam idea dahulu. Baginya, pengetahuan manusia bersifat apriori (mendahului pengalaman). Begitu pula dengan para filsuf-filsuf sebelumnya. Sejak Thales dan para pemikir sebelum Sokrates dan Kaum Shopis, mereka menumpahkan perhatian filsafatnya pada proses kejadian alam semesta, yang berarti objek fisik.
          
  Tapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang diawali oleh renaisans yang kemudian disambut hangat oleh kaum empirisme, peta sains mulai bergeser. Namun metodelogi rasionalisme yang dimotori Descrates sebagai penggerak renaisans berbeda dengan empirisme. Jika rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih hanya diperoleh melalui rasio, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan yang sahih bersumber dari pengalaman. Menurut empirisme, pengetahuan tidak diperoleh secara apriori melainkan aposteriori (melalui pengalaman).

            Gejolak renaisains itu pun terus bergulir ke Jerman dengan zaman pencerahannya. Kemudian sampailah kita pada aliran positivisme yang dibangun oleh Agust Comte. Melalui positivismenya, Comte menegaskan pengetahuan tidak melampaui fakta-fakta. Ia kemudian menolak metafisika. Dan pada akhirnya, ia menolak, etika, teologi dan seni, yang dianggap melampaui fenomena-fenomena yang teramati. Menurut Comte, sejarah pengetahuan berkembang melalui tiga tahap. Dari tahap teologis, metafisis dan terahir positifis. Baginya perkembangan ini layaknya perkembangan kehidupan manusia, mulai dari anak-anak, remaja, kemudian dewasa.
        
    Pada tahap dewasa ini, manusia tidak lagi mengamati objek-objek yang tak teramati, melainkan semua objek yang dapat diindra. Akhirnya, pada tahap positifis ini, organisasi masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona dan kekuasaan elit intelektual muncul. Bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru untuk mengorganisasikan masyarakat industri.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, doktrin positifisme yang hanya memusatkan diri pada hal yang faktual pun mulai merajarela. Ia semakin perkasa dan seakan-akan membenarkan bahwa teologis, metafisis adalah masa kanak-kanak pertumbuhan masyarakat dunia. Apalagi teknologi yang semakin membantu manusia dalam berbagai aktivitasnya, misalnya mobil, telepon, internet dan sebagainya, memberantas penghalang hubungan manusia modern. Sehingga jarak dan waktu bukan jadi masalah lagi.

            Tetapi di tengah kemajuan teknologi tersebut, ada masalah yang mulai menyelimuti manusia. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk melayani dan mempermudah manusia pada perjalanannya lain. Kini teknologi mulai berbalik menyerang manusia. Manusia mulai kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Banyak kemajuan teknologi yang justru merusak lingkungan dan nilai kemanusiaan.

            Jika menilik pada sejarah sebelumnya, sains atau ilmu pengetahuan, selalu berhubung erat dengan filsafat dan cabang-cabang lain seperti metafisika, etika dan sebagainya. Terlebih dalam tradisi filsafat Islam. Sains masih terkait erat dengan filsafat bahkan theologi. Dalam karya Mulyadi Kartanegara yang berjudul ’Gerbang Kearifan’ dijelaskan, tak ada objek ilmu satu pun yang tak berhubungan dengan dunia metafisik. Para filsuf muslim memandang bahwa terdapat sumber abadi dan sejati bagi apapun yang terjadi di jagad raya ini, yang pada gilirannya akan dijadikan objek penelitian.
            Selain itu, tujuan dari semua ilmu dari sudut aksiologis adalah memperoleh kebahagiaan. Menurut para filsuf muslim, kebahagiaan dalam menuntut ilmu dengan objek keilmuannya. Karena meteafisika adalah ilmu yang mempelajari Sebab Pertama atau Tuhan, yang menempati objek tertinggi ilmu, maka filsafat (metafisika) patut dijadikan basis etis penelitian ilmiah. Kebahagiaan yang dituntut di sini bukan hanya kebahagian fisik yang bersifat sementara. Tapi kebahagiaan hakiki yang bersifat abadi dengan ketenangan jiwa.

            Menilik sejarah peradaban keilmuan Islam, sains memang tak bisa dilepaskan dari filsafat. Dari masa ke masa, baik pemerintahan Bani Umayyah dan Abasiyah, tak ada beda antara sains dan filsafat. Bahkan dalam tradisi Islam, filsafat disebut sebagai induk dari ilmu aqliah. Pada tahun 700 dalam pemerintahan Dinasti Umayyah, terbangun observatorium astronomi di Damaskus. Begitu pula pada Dinasti Abasiyah, Khalifah Al-Mansyur diriwayatkan pernah mengumpulkan ilmuan, termasuk dokter-dokter dari Persia sampai India. Ini membuktikan, bahwa dalam Islam, sains dan filsafat tetap berdampingan. Dan hingga kini, hal itu tetap terjaga.
           








BAB III
PENUTUP
 Di akhir makalah ini, kami ingin menyimpulkan bahwa Etika dan Sains merupakan filsafat praktis. Karena keduanya, dalam penerapannya, langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Keduanya sama-sama bertujuan memberi solusi atas kesulitan dan masalah yang dihadapi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, teknologi telepon / media komunikasi. Semua beri’tikad memperlancar dan memberi solusi dari kesulitan yang dihadapi manusia. Usaha pemikiran, penelitian yang dilakukan secara kritis dan sistematis merupakan cara kerja filsafat. Karena itu, keduanya merupakan cabang dari filsafat.












DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Osman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Mizan Jakarta,
Bertens, K. Etika, Gremedia, Jakarta, Cet. Ke 9 2007
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004
Kartanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan, Lentera Hati, Jakarta 2006
Suseno, Fran Magnis, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, Ricard T. Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bintang Terang, Jakarta, 1984
Yazdi, M. T. Misbah, Meniru Tuhan, Al-Huda, Jakarta, 2006
file:///G:/membumikan-filsafat-melalui-etika-dan-sains.html