Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad (Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil)

Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil
 
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebagai berikut :
Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadist, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama lain mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lapadz-lapadz tertentu.
Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan : Bid’ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun orang-orang yang melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini berbeda beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis  pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :
1.      Ma’rifatur-rijal, karya Yahya Ibnu Ma’in.
2.      Ad-Dluafa, karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H)
3.      At-tsiqat, karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
4.      Al-jarhu wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 – 326 H)
5.      Mizanul itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 – 748 H)
6.      Lisanul mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)