Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang diterima dari orang lain.
Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi (2001:120), kesalahan tulis (tashhif) bisa saja terjadi pada kata atau lafadh dalam sebuah Hadis atau penglihatan rawi, baik dalam segi sanad maupun matannya. Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin Murajim (dengan ra’ dan jim pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’ (Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Ibnu Lahi’ah menulis secara salah kata ihtajara dengan menggantikannya menjadi ihtajama (berbekam). Menurutnya, kadang kesalahan tulis terjadi karena salah dengar, seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal. Kadang pula kesalahan terjadi pada makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad bin al-Mutsanna berikut ini, Nahnu qaumun lana syarafun, nahnu min ‘anazah shalla ilaina Rasulullah (Kami adalah sekelompok orang yang memiliki kehormatan. Kami lahir dari kabilah Anazah di mana Rasulullah pernah shalat di kabilah kami). Kata ‘anazah di sini dipahami secara salah oleh Muhammad bin al-Mutsanna. Padahal yang dimaksudkan dari Hadis bahwa Rasulullah shalat di depannya diberi tanda dengan tongkat. Bahkan ada orabg arab pedesaan yang salah memahami ‘anazah. Ia mengira bahwa kata itu adalah ‘anzah (dengan nun), yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.