Ke-putus-aN


“Apa kau kira aku tak merindukanmu? Malam ini kita rapel.”

“Mengapa ceritanya menjadi seperti ini? Ih. Tidak seperti yang kubanyangkan.”

Beberapa saat kemudian tak terdengar lagi suara, hanya helaan nafas halus yang menggambarkan sebuah rasa rindu.

“Ke sini. Dengarkan aku berbicara. Ini tidak sebentar. Kemarin kau bilang sudah tahu. Jadi bagaimana menurutmu?”

“Ya sudah, mungkin memang harusnya seperti ini. Cuma satu yang aku tak mau sesuatu nanti terjadi. Jangan bersanding dengan satu perempuan, perempuan itu. Aku tak mengiklaskan.”

“Untuk kembali dengan dia tidak mungkin, kalau yang satunya itu kemungkinan kecil.”

“Mungkin karena kau terlalu pandai jadi terlewatkan memikirkan hal yang sedang kita alami sekarang, dan aku yang terlalu bodohnya untuk menyadari hal ini akan terjadi.”

“Ya. Kamu tak tahu jika siang-siang datangku waktu itu ingin bercerita tentang sesuatu. Namun sikapmu seperti itu, hari selanjutnya berjalan dengan orang lain. Padahal aku tak suka itu. Kamu itu kurang mengerti bagaimana aku, bagaimana meluluhkanku.”

“Karena kamu sudah bersama dengan orang lain, sebelumnya juga tak pernah mengajakku. Padahal sebelum itu aku yang selalu menyertaimu.”

Menuju tempat yang berbeda. Malam itu mungkin menjadi malam terakhir. Namun ketika tangan itu dilingkarkan kembali pada pinggang yang sudah 6 bulan menjadi miliknya, sesuatu yang sudah lama ia tahan akan segera keluar. Maka, dilepaskan tangannya.

“Sebenarnya kau mau mengikuti kemanapun kamu pergi. Jika aku bisa egois tidak memikirkan orang yang lebih lama hidup denganku. Aku ingin sekali. Benar-benar ingin mengikutimu.”

“Aku tahu, walaupun sekarang kita sedang tertawa, sebenarnya hati kita menangis. Mengapa tak kau awali, mari menangis bersama.”

“Pisang coklat ini rasanya lucu.”

“Pisang kejunya lebih lucu.”

“Kamu tahu, aku sangat mencintaimu. Keputusan ini menyadarkan aku kalau pada titik ini aku sungguh-sungguh sangat mencintaimu.”

Kemudian tangan itu dikecup.

“Maafkan aku.”

Kata maaf dan kata terima kasih tak keluar dari mulut. Jika ia sampai keluar, maka akan disusul dengan air mata yang sudah lama ia bendung. Jauh sebelum hari ini datang, sudah ada semacam janji bila ia tak akan menangis di hadapan orang yang sangat dicintai. Namun kemudian semua itu berubah.

Sepertinya tidak ada yang salah ketika tubuh bertemu dengan tubuh lainnya, dibelai mesra dengan berbisik ‘maaf’.

“Jangan menangis, katamu kamu tangguh. Aku lebih suka melihatu marah-marah dibanding dengan menangis seperti ini. Aku tidak tahan melihatnya.”

“Sebenarnya aku juga tak mau. Aku tidak menangis. Ini hanya ingus yang tiba-tiba muncul.”

“Sudahlah.”

“Ternyata semua yang kubayangkan tak ada yang menjadi kenyataan. Kita terlalu jauh dengan harapan yang sebelumnya. Padahal aku sudah membayangkan siapa yang akan ada di tengah-tengah kita nanti. Laki-laki.”

“Maaf ya.”

Dalam sebuah ruangan rahasia, saling meneguk rindu yang sepertinya hari selanjutnya tak bisa dirasakan. Hari terakhir, juga bisa dikatakan malam terakhir. Masih terdengar sayup sayup helaan nafas rindu beradu yang mungkin juga mendekati saat-saat terakhir. Dalam ruang rahasia dan masih menjadi rahasia.

Kisah sedih di hari Minggu, yang selalu menyiksaku...
Mas pengamen yang budiman, sayangnya hari yang dilalui adalah hari Senin.