(mungkin) Demi Kamu


Perasaan tak lain adalah aroma yang taksaksatmata. Sungguh absurd dan menggelikan! Siapapun yang pernah mengalami cinta sejati, cinta yang dalam dan tak terucapkan, tahu pernyataan-pernyataan ini tak lain hanyalah usaha-usaha tak menentu untuk meremehkan cara kerja hati. Tentu saja aroma seseorang yang kita cintai bisa sangat menggairahkan, tapi gairah itu harus muncul karena ketertarikan yang lain, ketertarikan yang aku yakin berbeda dari sekadar aroma semata.

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu, dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah kemana hati membawamu.

-Va dove Ti porTa il euore- Susanna Tamaro

Bagaimana kabarmu malam ini? Juga hujan yang menghujam bumi kita. Sukseskah peran yang kau sandang? Sukses kah sebuah acara yang dulu pernah aku menyertaimu? Semoga saja. Tak datangku bukan karena tak sayang. Lebih menghindari sebuah perselisihan. Mungkin semacam itu.
Semut-semut kecil tak hentinya menapaki lantai kamar, mungkin mereka tak sadar jika warna hitam itu sangat mencolok pada keramik putih. Diam-diam merayap ke kasur juga tubuhku. Ah, mungkin aku terlalu manis untuk kalian hingga mendekat kini.

Melakukan perjalanan yang kini terasa jarang. Dalam panas udara bercampur debu, deru knalpot, pengemis yang membaca puisi dan hal ini semakin tak kutemui.  Bahkan aku menemuinya baru sekali itu. Ha, biasanya mereka mengobral suara dengan bernyanyi. Kemudian ada dua orang biksu di kursi belakang, ini juga hal baru. Melihat secara dekat orang-orang dengan kepala mulus itu. Ya, selebihnya sepasang mahasiswa perempuan cantik, dan mereka tampaknya mahasiswa tingkat akhir. Tubuh bisa berbohong, mereka mungil, tapi wajah? Ah, bisa membacanya sendiri. Hari itu istimewa, walau terik. Aku sudah begitu lama tak menikmati perjalanan seperti itu.

Selanjutnya malam.

Buku itu semacam candu, melewati malam hampir pagi untuk menembus pada bagian akhir. Itu yang kulakukan. Kemudian menikmati sisa pagi dengan terlelap. Benarkah? Jika tiba-tiba dalam lelap itu muncul orang yang sepertinya asing tetapi tak asing. Datang sedemikian sering hingga dalam mimpi itu kita menyepakai sebagai cinta. Dengan membawa orang suruhan, ia siapkan kado terindah. Besar sekali ukurannya. Tepat di bawah pohon delima samping pohon kelengkeng depan rumahku. Dan malam itu ia datang dengan mengenakan sepeda motor beserta sebungkus kado ditangan. Kado itu berpindah di tanganku, tapi aku tak segera membukanya.

Kita sepertinya telah saling mengenal lama, tapi itu kapan aku lupa. Kemudian orang tua dan saudara-saudaranya datang. Tiba-tiba saja itu menjadi sebuah upacara penikahan. Ada pula kedua orang tuaku, namun mereka hanya diam. Aku seperti mengenal wajahnya, sungguh, tapi aku kemudian melupakan. Tak kalah tiba-tibanya, kamu yang mungkin dari dasar otakku muncul. Aku sangat mengingat jelas. Juga dengan motor yang biasa kamu kendarai, dengan celana itu, dengan jaket itu dengan topi itu dan dengan semacam syal itu, yang dulu pernah menghangatkan malamku. Ya, aku mengingat sosokmu dengan sangat jelas yang  datang.

Lalu, aku menangis. Mengais meminta pernikahan itu dibatalkan. Kembali orang tua ku tak bergeming. Aku terus menangis, dan melihat sama ada luka kecewa dari ia yang datang sebelum kamu beserta orang tua dan saudaranya. Aku tak sempat membuka kado yang sebelumnya kau beri, juga bungkusan besar di luar yang disiapkan sore sebelumnya. Ia berpaling. Aku menangis, memeluk orang yang seharusnya. Orang itu kamu.
Aku tak tahu pasti alasan menangis itu. Merasa bersalah kepadanya, atau merasa bahagia pernikahan itu dibatalkan. Yang jelas, aku lebih memilihmu yang datang sendiri dari pada datangnya yang membawa orang tua. Mungkin kamu yang terpilih, bahkan dari dasar mimpi semalam atau sepagi tadi?

Setelah makan sahur aku menulis. Agar tak melupakan semuanya. Sebenarnya sampai tersadar aku masih lelah, menangis menarik-narik jaket yang kau kenakan dan aku mencoba memeluk. Sayangnya aku lupa ekspresi wajahmu. Dan juga tak sempat tanya untuk apa datangmu. Menggagalkan kah atau malah akan memberi selamat. Ah, kenapa mimpi tadi tak berlajut semakin panjang. Kanapa?

Entah karena lupa tak berdoa atau apa, semalam aku memimpikanmu. Tiba-tiba kamu datang, sejenis mengusik. Ada lelaki yang mendadak melamarku, segala telah siap dan aku juga siap menerima. Nyatanya, hari itu datang aku dengan lantang menolak, hanya demi kamu. Bahkan orang tuaku tak ikut berkomentar. Seolah mereka sepakat dengan Tuhan dan langit yang menjodohkan kita. Kau tahu? Dalam mimpi tetap ada air mata. Jika ini nyata, kamu kah ia? Yang datang malam untuk menyaksikan ikrar penolakan, dei kamu, Mas...
11 April 13 04:23

Ini adalah ceritaku pagi tadi melalui sebuah HP.