Senyum Ragu


Landu, aku kembali membuka tulisan dulu, ketika bulan November. Bertepatan dengan datang musim hujan dan kedatanganmu. Saat itu indah sekali rasanya. Juga saat aku tak ingin berjalan beriringan denganmu. Aku berkata akan bahagia siapapun yang akan mendampingi berjalan dalam teduh payungmu. Gilaaaa! Sekarang aku tak bisa seperti itu!

Semalam kutanggalkan segala gengsi. Awalnya memang hanya ingin mengendap-endap di depan rumahmu, hanya saja karena Daniar yang memaksaku masuk, kuberanikan juga. Sampai depan gerbang itu, dengan cahaya lampu yang hidup-mati itu, aku sudah hampir menggugurkan airmata, juga air dari langit.

Hujan, seperti November lalu. Langit masih hujan. Dengan mantol warna pink (ya ampun!), helm masih bertengger dalam kepala, kuintip dalam rumahmu. Doaku, semoga tak ada perempuan lain di sisimu. Ya, menemukan dirimu yang duduk dan memegang hp. Hp? Ya, bukankah dalam hubungan kita kembali ke masa purba? Kenapa kau pegang-pegang hp? Kukira hpmu sudah raib di tong sampah atau mungkin terbakar.

Aku mendapatkan lagi sepasang mata itu, kemudian senyum ragu-ragu. Aku tahu, sepertinya kamu tak mau mempersembahkan senyum untukku.

Mianhae, ya ampuuun. Sudah beberapa kali kusampaikan dan kamu bilang tak ada apa-apa. Kuraih tanganmu dan kuucap mianhae. Kau tak menerima? Itu urusanmu. Sebab kewajibanku sudah kulakukan. Datangku hanya singgah sebentar. Kau ambilkan beberapa buku. Kemudian dengan plastik biru kubawa.

Aku pulang.

Setidaknya Landu, aku tahu kamu dalam keadaan sehat. Walau kamu tahu Landu, hatiku tak sesehat kata ‘tak apa-apa’ yang masih saja kau ucapkan.

Aku pulang.

Aku masih ingin pulang ke rumah jiwamu. Izinkan aku, walau hanya mengendap-endap melalui jendela depan rumahmu. (maling!)

Ah, kuhapus rintik hujan.