Arti Sebuah Persahabatan
Oleh: Prito Windiarto
Keterpaksaan. Sesuatu yang dipaksakan memang sulit menghadirkan kenyamanan. Itu pula yang dirasakan seorang remaja bernama Syamsudin. Ia disekolahkan di sebuah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Khusus Jurusan Perkebunan di Kota Cilacap. Sesuatu yang sama-sekali tak pernah diinginkannnya. Ayahnya lah yang memaksanya sekolah di sana. Ia yang seorang kepala mandor di perkebunan PTPN ingin anaknya kelak menggantikannya sebagai kepala mandor. Tapi apa lacur, sang anak lebih tertarik pada dunia arsitek, konstruksi.
Maka yang ia lakukan selama sekolah, bukanya menyimak pelajaran, matanya lebih sibuk menatap jendela. Darinya ia bisa melihat tangki-tangki raksasa milik pertamina. Di sisi jendela lain ia bisa melihat sebuah gedung perkantoran yang unik, bergaya art deco. Dalam benaknya ia memikirkan gedung-gedung dengan desain atristik. Bangunan-bangunan dengan konsep kreatif.
Tak mengherankan dalam THB (tes hasil belajar), ia selalu mendapat nilai yang buruk. Tentu saja ketika pulang, diperlihatkannya nilai-nilai itu, tanpa merasa bersalah sedikitpun. Sang ayah muntab. Memarahinya, bahkan hendak menukulnya.
“Kamana wae maneh teh, hah? Ulin wae!”
“Atos Pak, atos. Karunya si Syam. Nembe gen sumping, sing istirah heula kang!” Ibu Syamsudin menengahi. Syamsudin dikurung di kamar. Bekal sekolahnya dipotong setengahnya. Ia lebih banyak diam, namun darah remajanya bergejolak. Ia siap memberontak.
Maka lihatlah, di semester berikutnya. Kelakuan Syamsudin semakin aneh. Bukan sekedar tak memperhatikan pelajaran, ia kini lebih sering bolos. Bersama remaja terminal Cilacap ia ikut mengamen. Bahkan sempat terbawa sampai Yogyakarta. Berhari-hari di sana. Mengamen untuk mengganjal perut. Ia seperti gelandang kebanyakan, kumal, bau pesing, merokok, dan sesekali menenggak minuman keras. Untunglah wali kelasnya berinisiatif mencari, bertanya pada anak terminal dan menyusulnya ke Yogyakarta. Setelah beberapa hari mencari, Syam ditemukan dipojokan gang Malioboro dengan baju lusuh. Ia dipaksa pulang. Awalnya menolak, tapi terus dipaksa, akhirnya mau juga.
Pihak sekolah kelimpungan. Orang tua Syamsudin dipanggil. Ayah semakin muntab, ibu menangis sesenggukan.
“Hoyong naon sih maneh?” Ayah mendelik pada Syamsudin yang tertunduk di sudut shofa kantor kepala sekolah. Ia diam.
“Hoyong Naon?!” Ayah semakin keras membentak. Menarik kerah baju Syam.
“Eh, eh, ada apa ini? Sudah-sudah, tenang-tenang!” Kepala sekolah yang baru kembali dari toilet melerai.
“Nak Syam… Kenapa denganmu? Sebenarnya kamu ini pandai, tapi kenapa nilaimu jeblog begini Nak. Kenapa juga mengelandang seperti itu?” Pak Kepsek menanyai Syam penuh perhatian. Ayah membuang muka.
“Tanya saja pada Ayah, Pak!” Syam kini berbicara, suaranya bergetar. Ibu memeluk anak lelakinya itu, yang segera ditepis oleh Syam.
“Baiklah, sepertinya kalian perlu bermusyawah dulu di rumah untuk mengambil langkah berikutnya. Pihak sekolah memberi tenggang dua minggu untuk mengambil keputusan. Lebih cepat, lebih baik!
“Untuk Pak Ikra, mohon beri kesempatan Syam bicara, mengutarakan keinginannya. Kalau bisa turuti kemauannya. Semoga bisa dimengerti.”
“Baik. Akan saya pertimbangkan.” Bapak jemawa, meyalami Bapak Kepala sekolah.
“Terima kasih Pak atas perhatian Bapak. Mohon maaf merepotkan” Ibu berbasa-basi.
“Sama-sama Bu. Mohon maaf jika ada banyak kekurangan di Sekolah ini. Syam… kau bertalenta, jangan rusak potensi besarmu itu. Hanya orang yang berpikir besarlah yang tahu dirinya punya talenta yang luar biasa!” Kepala sekolah menepuk bahu Syam.
Dalam perjalanan pulang, keluarga kecil itu lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hari pertama di rumah, diisi pertengkaran. Ayah dan Syam kembali beradu argumen. Ibu selalu membela Syam. Pada satu titik, kini ayah bertengkar dengan ibu. Hati syam benar-benar teriris. Ia lebih banyak menyepi ke perkebunan karet. Menatap daun-daun yang bergoyang ditiup angin. Menghirup udara segar yang kadang-kadang terkontaminasi bau getah karet yang khas. Baginya itu lebih baik daripada di rumah mendengar ocehan yang tak lekas ujung-pangkalnya.
“Kamu harus tetap sekolah di sana!”
“Mau jadi apa kamu, hah? Siapa yang akan menggantikan Ayah kelak?”
“Bodohnya kamu!”
Ucapan itu masih terngiang. Jelas-jelas membuatnya senewen.
Sore itu, gerimis membasuh perkebunan karet. Tampak di saung Syam sedang melamun, menatap rerindang pohon karet. Seseorang menenteng karung tampak terbirit menuju saung, sesegera mungkin menghindari tempias hujan.
“Boleh aku berteduh di sini!” pintanya pada Syam. Syam terkaget.
“Owh… boleh…” Ia menoleh. Dua pasang mata beradu. Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal.
“Kamu….” Tanya Syam keheranan,
“Iya Syam. Aku Kadar, temanmu ketika SMP, dulu. Apa kabar?”
“Baik.” Jawab Syam ketus. Entah kenapa rasa kesalnya pada Kadar masih membekas. Dulu, diakhir masa SMP ia pernah jatuh hati pada seorang gadis, Arimbi, namun nahas ternyata Arimbi malah menyukai Kadar. Syam mangkel, padahal apa lebih Kadar darinya, jelas-jelas Syam lebih berada dari Kadar yang hanya dari keluarga tani. Ah, karena kekesalan itu beberapa kali Syam sempat menghina Kadar. Kini, Kadar ada didekatnya, satu saung tanpa sedikitpun terlihat dendam.
“Hmm… hujannya semakin lebat. Dingin. Oya, saya bawa goreng singkong, mau?” Kadar menyodorkan sebilah singkong goreng. Syam buru-buru menggeleng.
“Baiklah. Tidak masalah kalau tidak mau. Tapi kalau mau ambil saja!” kadar meletakkan singkong goreng itu di plastik yang ia bawa. Hujan membesar, dingin.
“Eh? Kapan datang?” tanya Kadar
“Dua hari lalu!”
“Senang ya bisa sekolah di kota. Bisa cerita gimana sekolahnya?”
“Biasa saja!” Lagi-lagi Syam menjawab ketus.
“Baiklah, kalau kamu tak mau cerita, biar aku saja yang cerita. Hmmm…. Selepas SMP aku tak melanjutkan sekolah. Tak ada biaya. Jangankan untuk sekolah untuk makan saja susah. Aku paham itu. Tak terlalu masalah berhenti sekolah, yang tak boleh adalah berhenti belajar. Belajar tak harus dari bangku sekolah saja, bukan? Kita bisa belajar dari alam. Karena itu, walau ada sedikit penyesalan, aku menerima kenyataan tak bisa lagi melanjutkan sekolah sepertimu.
“Kini aku bekerja memelihara domba-domba tetangga. Ada 7 domba. Masing-masing punya nama, yang terkeren kunamai KoesPlus. Yang berbulu putih kunamai the Beatles. Yang paling gagah kumanai Godbless. Trus ada Gombloh, Albar, Titik puspa, dan Lidya Kandau. Mereka itu nama artis favoritku, entah kalau mereka tahu kupakai nama itu apakah akan marah atau tidak, hehe”
Syam sedikit tersenyum. Kadar menyeringai senang.
“Ah ya, hujan sudah mulai reda. Aku harus mencari rumput lagi. Kasihan artis-artisku itu kelaparan. Oya, kau mau menitip salam pada mereka?” Kadar bertanya pada Syam. Ia diam saja.
“Ah iya, kau titip salam untuk Lidya Kandau yang ‘cantik’ itu ya? Baiklah akan kusampaikan padanya bahwa kini ia punya penggemar baru, hehe” Kadar menjawab sendiri pertanyaannya. Syam tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala. Kadar beranjak, menenteng karung.
“Singkong mu ini ketinggalan!” Seru Syam setengah berteriak.
“Sudah makan saya!” Jawab Kadar lebih jelas.
Syam mengangkat baru, satu tangannya mengambil bilahan sengkong bakar, mendaratkannya di mulut. Perutnya lapar, sedari pagi belum makan. Singkong goreng terasa nikmat. Ditatapnya Kadar. Remaja yang dianggapnya musuh itu justru menunjukan sikap persahabatan. Sesuatu yang tak dimilikinya saat ini, sahabat.
*Bersambung
#Ini bagian dari "4 Bintang". Yang belum tahu kapan rampungnya, mohon doanya saja, semoga dimudahkan penyelesaiannya. Bismillah. Salam Bintang! Karena kita bertalenta!
Fragmen ini terspesial untuk para adik dimanapun anda berada (termasuk saya juga, hehe). Mari sayangi kakak kita, mereka adalah sahabat terbaik yang kita punya, rela melakukan apa saja. Mereka ingin kita menjadi lebih baik lagi, menggenggam semua cita. Dan saatnya kita ucapkan, "Kak, terima kasih engkau telah menjadi sahabat terbaikku, sejak kecil, sampai detik ini, bahkan sampai masa depan. Sungguh terima kasih. Aku Mencintaimu Kak, Karena Allah"