Cerpen Tentang Cinta Semusim

Tentang Cinta Semusim
Cerpen: Utami Pratiwi



Semusim yang menyimpan banyak rasa, banyak cerita. Diawali dengan bunga Desember yang tumbuh bulan November hingga akhir bulan April yang mulai gerah. Fiuh...
Akhir April yang tak lagi basah. Musim sudah memasuki pancaroba. Namun aku lebih menikmati semusim lalu. Karena November membawa hujan bersama kehadiranmu.
Pada langit-langit kamar aku bisa melukis wajahmu dengan jelas. Wajah enam bulan ini yang ketika tidur pun aku mengingatnya. Ah, akhir April memang lagi tak basah, namun basah itu kini berpindah pada sebuah bantal yang sedari tadi menampung air mata. Kulirik sebuah akuarium yang tinggal berisi air. Ikan di dalamnya kemarin mati.
Bulan November, bersamaan dengan merekahnya merah bunga Desember. Sebuah kedekatan yang sebelumnya tak terpikir pada hemisfer otakku. Diskusi sastra melibatkan kehadiranmu, juga kedatanganku yang sebenarnya tak sengaja. Aku tak mengenalmu, hanya sebatas tahu. Lewat sajak-sajak romantis beberapa puisi.
Aku seorang mahasiswa biasa yang kemudian mencintai puisi. Lebih-lebih puisimu.
“Aku sudah menemukannya. Sekarang tinggal menunggu bagaimana reaksi orang itu.” Katamu ketika kunjungan kedua di kosku, bersama dengan berbagai makanan yang selalu lupa kita sentuh.
“Mengapa kamu tanyakan padaku Janu?”
“Karena orang itu kamu.”
Aku terdiam. Ini mungkin berhubungan dengan pertemuan kita yang lalu, sebuah perbincangan tentang jodoh. Jodoh yang seolah semakin menjauh dalam kebimbangan semakin bertambahnya usia.
“Mengapa? Percayalah. Di dalam cinta, usia dan jarak itu hanya sebuah angka.”
Kamu menyadari tentang jarak usia kita yang terpaut cukup jauh. Delapan tahun. Namun sebenarnya diamku bukan karena usia kita, hanya aku tak menemukan kata-kata untuk menerima.
“Karena aku adalah air yang menjadi tempat hidupnya ikan.” Lanjutmu.
Kemudian kita sama-sama tersenyum. Menyaksikan malam dengan rinai hujan melalui jendela kosku. Langit memang tak sedang melukiskan rasi bintang Aquarius milikmu dan Pisces milikku. Namun ia menyaksikan kita. Bisa jadi hujan itu merupakan luapan isyarat bahagia karena malam ini semesta kembali menyaksikan datangnya sebuah cinta.
***
Ah, aku masih merasakan hangat pelukanmu, juga helaan nafas rindu. Mengingatkan aku pada sebuah tempat kita berteduh ketika hujan menghujam bumi mengiringi senja berpulang kepada malam.
 “Aku sangat mengenal sifatmu.” Katamu, seiring tangan yang merangkul pundakku.
“Oh ya? mengapa bisa begitu.” Kupandang wajahnya yang menatap deras hujan.
“Pisces itu mudah sekali tak setia. Berbeda dengan Aquarius.”
Aku tersenyum.
“Aku bisa membuktikan kalau aku setia. Usiaku memang masih, dua puluh dua tahun. Tapi tunggu saja, aku bisa membuktikan setia itu. Bantu Febi ya. Seperti katamu mengenai ikan yang hidup di air.” Aku melangkah, menengadah pada tetes-tetes hujan. Dingin. “di sini, aku hidup dalam airmu.” Kataku dengan tersenyum.
Tempat kita berteduh menghindari hujan adalah sebuah toko yang menjual berbagai ikan. Kamu membelikan akuarium kecil berisi satu ikan.
“Febi, Akuiarium ini adalah rumah yang melindungi kita, air dan ikan di dalamnya. Mulai malam nanti ada yang selalu terjaga menjaga tidurmu.”
November dan Desember telah kita lalui dengan kebersamaan. Dua bulan itu menjadi sangat istimewa. Aku bisa memasuki duniamu. Dunia yang kuduga rumit. Melihat apa yang sebelumnya buta dalam mataku, mendengar apa yang sebelumnya tak tertangkap telingaku, juga mengecap rasa yang sebelumnya tak diterima indera perasaku. Dunia sastrawan yang membuatku luluh mencintai sajak-sajakmu.
 Ya, sepertinya memang rasi bintang kita sangat berjodoh dengan hujan. Sampai pertengahan bulan Januari. Bulan di mana kamu dilahirkan memunculkan diam yang tanpa alasan. Diam yang tak sempat aku memahaminya. Juga ketika bunga Desember di dekat kamarku itu mulai layu, sudah lelah untuk merekah. Hanya akuarium berisi ikan pemberianmu masih setia menjaga tidurku.
Aku menemukan dirimu yang berbeda. Tak sehangat biasanya. Aku tak mau menduga bahwa cintamu hanya seusia bunga Desember itu. Yang indah hanya pada musimnya.
“Janu, sepertinya aku kehilangan dirimu yang dulu.”
“Aku sedang bermasalah dengan diriku sendiri. Tak ada hubungannya dengan kamu.”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Sesuatu yang seharusnya kamu lakukan.”
Dua bulan memang aku tenggelam memasuki dunia Janu, sehingga duniaku sendiri terabaikan. Kucoba kembali membangun chemistry untuk menyentuh Tugas Akhirku di kampus. Berharap semua kegiatan mengalihkan dingin sikap Janu.
Namun tetap saja, aku menjadi orang yang diam-diam masih mengikuti kegiatannya. Menghadiri forum diskusi sastra tanpa terlihat oleh matanya, juga malam-malam menembus hujan untuk membawakan makanan untuk Janu. Aku sengaja tidak menghubunginya terlebih dahulu. Karena memang hanya menemui kecewa. Sms yang tak pernah dibalas, juga telepon yang diabaikan.
Aku berdiri di depan pagar kosnya, yang kutemui kembali sia-sia. Kamar yang terletak di ujung itu gelap. Menandakan penghuninya sedang tak ada.
“Malam ini aku datang membawa makan malam perdamaian, tak kutemui dirimu. Namun aku berbisik pada pintu ini agar menyampaikan rinduku. Selamat makan.”

Tulisku pada sebuah kertas yang kutempelkan pada pintu kamarnya.
***
Memasuki bulan Februari, bulan kelahiranku. Janu sempat datang. Membawakan sebuah ucapan selamat ulang tahun. Namun aku tetap kehilangan dirinya yang dulu. Kehangatan  yang kurasakan hanya suam-suam.
Kemudian aku mencoba menerima kenyataan. Semacam simulasi, entah untuk menarik kembali atau untuk melepaskan. Aku masih setia diam-diam mengunjungi kosnya, walau tetap kutemui kekosongan. Lampu yang tak menyala dan bisikan pada pintu. Sekarang aku menyadari, ternyata usia, dan jarak melahirkan sebuah kerumitan.
Maret hujan masih turun satu-satu, hingga akhir April yang mulai gerah. Tiba-tiba ikan dalam akuarium yang setia menjaga tidurku mati. Ia tak sempat menyambut kehadiran Janu yang berjanji malam ini akan datang. Mungkin ikan itu sudah lelah untuk hidup, merasakan air yang menghidupinya mulai berubah.
“Ternyata ketakutanku akan bahagia itu terbukti. Hidupku terlalu rumit untuk kamu ikuti.” Janu memulai percakapan.
“Bodoh memang jika aku tak menanyakan diammu empat bulan ini. Sebenarnya ini tentang apa?”
“Janji yang tak bisa kutepati. Aku sengaja menghindarimu. Bukankah lebih baik sakit sekarang dari pada ditunda terlalu lama?”
Kemudian aku merasakan hangat pelukmu, mungkin saja untuk terakhir kalinya. Juga helaan nafas berat dan sesakku menahan air mata. Sudah jauh-jauh hari aku berjanji tak akan menangis dihadapanmu.
Aku mengalami nasib yang sama dengan ikan yang mati kemarin. Ikan ini juga telah mati, karena kehilangan air tempatnya untuk hidup. Langit malam penuh bintang gemintang. Aku menyaksikannya sendiri. Masih langit yang sama, perbedaan terletak pada enam bulan lalu ketika hujan riris menyaksikan tumbuhnya cinta, sedangkan malam ini langit menjauhkan rasi bintang Aquarius dan Pisces. Semesta mengambil hujan, namun menyaksikan hujan lain yang meleleh dari sepasang mata.
“Aku salah menjanjikan kebahagiaan. Usia memang tak menjadi masalah. Namun kita sekarang terhalang oleh jarak. Jarak yang tak lagi sekedar angka. Aku pulang ke kotaku. Selamanya. Sedang aku tahu kamu anak satu-satunya.Terlalu egois jika aku mengambilmu dari orang tua yang sangat menyayangimu.Mulai besok kita akan berada pada pulau yang berbeda.”

Sebuah bisikan diantara sela-sela nafas berat. Ah, mungkin saja memang ini tentang cinta semusim. Seperti semusimnya mekar bunga Desember yang layu tak menemui hujan. Semesta menghentikan hujan, juga menghentikan cinta kita. Cinta yang hanya semusim.
Kembali kutatap akuarium yang hanya berisi air. Kemudian di sampingnya terdapat sajak yang sangat kukagumi.
Mulai malam ini aku hanya bisa mengagumi sajakmu.


Jogja, 12 Mei 2013