Isep Saepul Muzaki (Notes) on Tuesday, May 8, 2012 at 1:25pm
Oleh : Isep Saepul Muzaki
Pendahuluan
Kata bijak ilmu ini menjadi sangat baik kita renungkan, kata itu dikemuka oleh sahabat pilihan, Muadz bin Jabal ra1. “ijlis binaa, nu’min sa’ah”, kemariah sebentar, kita duduk untuk memperbarui iman. Karen tabi’at hati itu senantiasa berbolak-balik,oleh karenanya kita sering mendo’a dengan do’a pembolak-balik hati, “allohuma ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinika wa ‘ala tho’atiKa”. Dalam dakwah ini di berbagai lininya, tarbiyah, siyasah, iqtishadiyah, perlahan berubaha menjadi kejenuhan dan kebosanan karena aktivitas yang sangat menggerogoti seluruh apa yang kita miliki, Hasan Al Bana menyampaikan bahwa dakwah ini sampai menyedot tenaga, pikiran, dan harta yang kita miliki, begitu pula Al Qur’an mendasari hal tersebut juga dalam Q. S At – Taubat : 88 (sila dilihat). Hal ini tidak seperti dulu, ketika dibina dalam halaqoh-halaqoh di rumah-rumah sempit, di pojok-pojok mushola, namun semuanya terasa penuh warna dan gairah. Saat ini kita merasa terhujani kemudian menguap kembali ke atas, ternikmati kemudian hilang tiada rasa sama sekali. Maka mari sejenak untuk berkotemplasi diri, mereorientasikan arah gerak kita, mari menghisab.
Tepat di saat ini mari kita perbaharui iman kita dalam ketaatan. Hal ini menjadi sangat penting adanya, karena setan menentang prakarsa seorang junud yang mengokohkan tekad taatnya, ia akan merasuk memprasangakai dalam hatinya dengan mempertanyakan “apakah ketaatan ini akan membuatnya meninggalkan suatu kebenaran yang diyakininya?”. Dalam hal lain pula para du’at dakwah sering tergelincir dalam menempatkan keta’atan, ia kadang terkelabui oleh “figure”/ “manusia”. Seringkali ia berta’at kepada seorang yang lain, namun ia menyeleweng kpd yang lain, bahkan dalam konteks perintah kebaikan yang sama. Oleh karenanya tulisan ini dibuat dalam menghisab diri khususnya, yang bagaiman diri menenun sebuah nilai keta’atan yang harus paripurna, ia tidak boleh tercecer dan terkhianati oleh tabi’at diri. Sehingga saya pribadi tertarik untuk membahas kajian kita kali ini dengan tema “Ketaatan bertepuk Sebelah Tangan”
Ath-Tha’ah
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (An-Nisa’ : 66-70)
“yang kami maksud dengan Tha’ah adalah melaksanakan perintah dan merealisasikan dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, bersemangat maupun malas. Yang demikian itu karena tahapan dakwah ini ada tiga : ta’rif (pengenalan), takwin (pebentukan), dan tanfidz (pelaksanaan)”. -Hasan Al Bana-
Dalam memahami keta’atan tersebut, di atas dikemukakakn sumber jelas dalam memahami makna keta’atan, ia terkuatkan oleh ayat Qur’an dan pernyataan oleh seorang pembaharu Islam, Hasan Al Bana.
Sesungguhnya rahasia kekuatan semua Jama’ah, angkatan bersenjata, dan Negara, terletak pada adanya penyerahan mayoritas kepada kelompok kecil yang memimpin dan menggariskan jalan, baik dikalangan kaum muslimin maupun non muslim, dari dulu sampai masa yang akang datang. (Muhammad Ahmad Ar Rasyid, 2002).
Dalam sebuah literarur lain, saya mengutip perkataan seorang panglima Inggris, Marsekal Montgomery tentang syarat-syarat kemenangan, yang memenangkan pertempuran Alamin(Mesir, 1942) melawan tentara jerman, berkata dalam buku hariannya : “Sesungguhnya saya memasukkan unsur-unsur penting dalam system kekrja, yaitu bahwa semua perintah pimpinan tidak boleh dibantah oleh perwira kecil. Sebagaimana sering saya saksikan dalam berbagai peristiwa. Karena apabila ada banyak strategi, maka pasukan akan dipastikan akan gagal, sebab mereka tidak meyakini kebenaran satu strategi” 2
Amal tha’at sahabat
Hudzaifah di medan ahzab
Kejadian ini berlangsung pada saat terjadinya perang khandak (parit), dinamakan itu karena berkat atas usulan salman al farisi untuk membuat parit agar kaum musyrikin makkah dalam jumlah yang banyak tidak bisa mendekati camp kaum muslimin. Perang ini juga di sebut sebagia perang ahzab (sekutu ; pasukan multinasional), karena yahudi bani quridhah yang pernah menyatakan perjanjian damainya dengan kaum muslimin telah nyata-nyata mengingkari janji, mereka malah bergabung bersama kaum kafir quraisy. Maka semakin lengkaplah kekuatan musuh dan semakin besarlah bahaya yang mengepung kaum muslimin.
Dalam keadaan tak menentu itu, datanglah pertolongan Allah swt. Terjadilah peristiwa alam yang langka. Suatu malam, hujan-angin datang di sertai badai besar hingga membuat panic setiap orang. Cuaca menjadi sangat dingin, di bersamai dengan kilatan halilintar yang membahana, masih diiringi deru putting beliung yang luar biasa kencangnya. Periuk-periuk pasukan kafir quraisy pun berjatuhan, kemah berterbangan terbawa angin. Dinginnya angin dan hujan membuat setiap orang menggigil luar biasa. Dan hal tersebut membuat semua orang kafir quraisy semakin tidak karuan hati dan fikirannya.
Dalam kondisi seperti itu pun membuat sulit dan berat bagi Rasulullaah saw. Justru untuk ingin mengetahui bagaimana kondisi pasukan musuh. Kaum muslimin merasakan hal yang sama dengan kaum kafir quraisy, mereka terdiam di tenda-tenda mereka mendekap kaki mencari kehangatan. Para shabat duduk membantu dalam kegelapan bagaikan onggokan bebatuan mati. Di tengah kebisuan itu Rasulullah saw. Bersabda, “adakah yang bersedia mencari berita musuh dan melaporkannya kepadaku, mudah-mudahan Allah menjadikannya bersamaku di hari kiamat !”. saat itu semua shabat terdiam, menahan dingin dan didekap penderitaan yang berat, serta ditambah rasa takut yang masih menyelimuti. Padahal biasanya para Shahabat akan menyegerakan diri pada saat menerima perintah Rasulullah saw. tersebut. Sampai rasulullah saw., mengulanginya tiga kali berturut-turut. Begitu pun dengan para Shahabat tetap tidak ada yang menyambut tawaran itu. Hingga kemudian Rasulullah saw. berseru, “qum… ya Hudzaifah!!!, carilah berita dan laporkanlah kepadaku !”
Dengan segera, ketika Rasululullah saw. menyebut namanya, Hudzaifah bangkit; tidak ada penolakan, tidak ada tawar menawar, dan langsung menghadap kepada rasulullah saw. Padahal, ketika itu hudzaifah sedang menikmati kehangatan dalam kedinginan yang membeku.
Hudzaifah mengisahkan pada saat ia menjalankan tugasnya tersebut, ia berkata “aku berangkat seperti orang yang sedang dicengkrama kematian, seolah-olah maut telah ada di depan pelupuk mataku. Aku pun tiba di wilayah konsentrasi musuh. Di sana aku dapat melihat dengan jelas abu sufyan yang menjadi panglima perang mereka sedang menghangatkan penggungnya d perapian. Secara reflek aku segera memasang anak memanah pada busur dan aku arahkan ke tubuhnya yang hanya berjarak beberapa langkah dari posisiku. Namun sebelum anak tersebut aku lepaskan, aku teringat perintah Rasulullah saw., “janganlah engkau melakukan tindakan apapun !”, maka aku segera mengurungkun niat, aku ingat betul akan tugasku. Tugasku hanya mencari berita tentang keadaan musuh belaka. Padahal jika aku lepaskan panahku tersebut aku sangat yakin pasti akan mengenai abu sufyan. Aku urungkan niat, dan berjalan berkeliling di antara mereka. Keadaanya sungguh sangat parah.
Tiba-tiba, telinga menangkap perintah abu sufyan yang berteriak mengingatkan pasukannya. “wahai quraisy, hendaklah kalian tetap waspada di tengah kegelapan ini. Yakinlah bahwa orang-orang yang duduk di sisi kanan-kirimu benar-benar adalah kawanmu. Maka selidikilah !!”. aku pun secepat kilat menanyai dan memegang tangannya untuk menanyai orang-orang yang disekitarku. Dan selamatlah aku karena tidak ada yang menanyai identitasku.
Abu sufyan ku lihat berdiri dan menyampaikan kepada kaumnya untuk pulang, karena perbekalan telah habis dan tidak ada yang tersisa, serta bani quraidhoh telah mencedrai mereka. “pulang sajalah kita !, aku pun hendak pulang”.
Begitulah ketaatan hudzaifah ra. yang luar biasa. Sami’na wa atho’na dalam kondisi apapun, baik ringan maupun berat, susah atau senang.
Abdullah bin Zubair
Perang uhud adalah perang yang sangat begitu menyakiti hati Rasulullah saw., karena pada saat perang tersebut banyak para sahabatnya yang meninggal, termasuk paman yang sangat dicintainya, Hamzah, meninggal pada perang tersebut, dan tubuhnya dikoyak, serta jantungnya dimakan oleh hindun. Dan kekalahan ini diakibatkan oleh indisipliner sebagian sahabat nabi saw. Mereka mencedrai perintah Rasulullah saw. yang berarti mereka tidak mematuhi perintahnya. Hal tersebut terkecuali kepada salah satu sahabat pilihan Nabi saw., yaitu Abdullah bin Zubair sebagai pimpinan di belakang. Rasulullah saw. berpesan untuk berjaga di di bagian belakang walaupun berhasil mendesak dan mengalahkan musuh, jangan ikut turun menjarah ghonimah, melihat pasukan banyak yang gugur, “Tetaplah dalam posisi kalian sebelum aku perintahkan untuk turun !!”.
Akhirnya pun petaka pun terjadi, saat kaum muslimin melihat harta rampasan yang ditinggalkan pemiliknya, dan mereka meyakini musuh telah mundur, meraka berteriak “ghanimah..! ghanimah..!” dan ternyata tanpa dikomondo untuk turun, pasukan pemanahpun ikut tergiur dan akhirnya turun dari bukit untuk mengambil ghanimah. Abdullah bin Zubair berseru mngingatkan “wahai pasukan !! bertahanlah di tempatmu ! ingat pesan Nabimu !! Demi Allah aku tidak akan melanggar perintah Rasulullah saw !!”. Namun, peringatnnya hanyalah suara yang membahana. Tinggallah di bukit itu, dia dan beberapa pasukan yang tetap setia berjaga menaati perintah Nabi. Bilangan mereka tak sampai sepuluh orang.
Dan akhirnya kemenangan yang yang tinggal menunggu waktu itu berbuah petaka. Pasukan Islam menjadi kacau, dan akhirnya menuai kekalahan. Kekalahan perang uhud tak pelak lagi adlaha karena buah dari kekeringan rohani. Yakni, hilangnya semangat dan sikap ketaatan kepada Nabi-Nya saw.
Abu Bakr dan kebelian panglima Usamah bin Zaid
Ketika itu, Usamah baru berusia belasan tahun. Padahal, dalam pasukan itu terdapat shabat-shabat besar semacam : Abu Bakr, Umar Al Khattab, Utsman, Ali, Abu Ubaidah ibnu jarrah, abdurahman bin auf, dan sahabat senior lainnya. Maka sangat wajar dan manusiawi apabila ada beberapa shabat yang tidak memahami keputusan Nabi saw. tatkala mengangkat panglima perang yang masih muda belia, miskin pengalaman, dan memimpin para shahabat veteran badr yang sudah sangat senior. Menghadapi keraguan dan kritik sebagian shahabat itu Rasul saw., dengan tegas bersabda “kalau kalian tidak menyetujui kebijaksanaanku mengangkat Usamah, berarti kalian tidak menyetujui juga kebijaksanaanku dahulu ketika mengangkat Zaid bin harits (ayah usamah) sebagai panglima perang mut’ah. Demi Allah, Zaid dahulu memang tepat sebagai panglima. Sekarang pun Usamah, anaknya, juga orang yang tepat menjadi panglima! Aku memang suka pada anak itu !”
Sampai pada perkataan Nabi saw. tersebut langsung difahami oleh para shabat, yang meraka yakini akan banyak hikmah yang akan didapatinya, dan mereka pun segera medaftarkan diri untuk menjadi pasukan yang dipimpinnya. Dalam waktu yang berjalan, titah Rasulullah kepada Usamah dalam melaksanakan perintahnya mendapatkan masalah, di karenakan kondisi kesehat Rasulullah saw. tidak membaik hingga sampai pada wafatnya Rasulullah saw., yang mengakibatkan terguncangnya seluruh kaum muslimin.
Di wafatnya Rasulullah saw. mengakibatkan pemusyawarahn untuk pergantian pemimpin kaum muslimin, yang akhirnya memufakat pada Abu Bakr As Shidiq sebagai khalifah. Dan tugas pertamakali Abu Bakr adalah melanjut titah Rasul yang harus di seleseikan, salah satunya titah pada Usamah bin Zaid. Usamah pun melaksanakan perintah khalifah. Disiapkanlah rombongan pasukan. Tiba-tiba, Usamah berkata pada Umar Al Khatab, “menghadaplah kepada khalifah, dan mohonkanlah izin aku untuk mengurangi pasukan. Demikian itu aku merasa cukup dengan beberapa tokoh saja. Demikian itu karena aku merasa khawatir akan keselamatan khalifah dan rakyat yang ada dalam tanggung jawabnya!”
Orang-orang anshar menitipkan pesan kepada umar untuk disampaikan kepada khalifah, “jika khalifah tetap menghendaki kami melanjutkan perjalanan, maka sampaikanlah usulan kami agar beliau mengangkat orang yang lebih senior dari Usamah untuk memimpin kami !”
Umar pun segera kembali dan menyampaikan hal yang telah dititipkannya kepada beliau untuk disampaikan kepada khalifah abu bakr, dan kemudian pada saat mendengar dari apa yang disampaikan umar kepada beliau, maka abu bakr pun marah besar, dia mengatakan “sekiranya aku dimakan anjing dan derigala sekalipun, aku tidak akan menolak keputusan yang telah diambil Rasulullah saw”. Dan Umar menimbal lagi dengan mengatakan bahwa kaum anshor ppun menghendaki seperti itu, maka suara Abu bakr pun semakin keraslah menegur umar, “mati saja ibumu, hai ibnul khattab!, Rasulullah saw., telah megangkatnya, lalu kau menyuruhku untuk memecatnya ?”
Umar pun kembali, dan kaum anshor menanyakan jawaban khalifah, dan umar pun menjaawab “ semoga Allah memberkati. Lantjutkan perjalanan, khalifah tidak menyetujui usul kalian. Kalian hanya menghantarkan aku menerima kemurkaan khalifah saja”. Dan itulah ketaatan dari seorang usamah dan abu bakr dalam mentaati perintah Rasulullah saw.
Abu bakr sendiri turut berangkat melepas pasukan dengan berjalan kaki sampai di batas kota. Melihat khalifah berjalan kaki, sementara dirinya berada di panggung kuda, usamah memohon, “wahai khalifah Rasulullah, anda harus naik kendaraan, atau aku harus turun menyertaimu?”
“demi Allah, jangan turun dari kudamu dan aku pun tak hendak menaiki kuda. Tidak boleh kah aku mengotori kakiku dengan debujihad fi sabilillah. Yang demikian itu karena orang yang berjihad akan mendapat tujuh ratus kebaikan untuk tiap langkahnya, tujuh ratus derajat dirinya ditinggikan, tujuh ratus keburukan dihapuskan karenanya !” jawab abu bakr tegas dan berwibawa.
Abu bakr sangat hormat terhadap Usamah, sampai-sampai tatkala abu bakr hendak menahan umar untuk tinggal di madinah, ia harus meminta izin kepada usamah.
Kondisi kekinian
Kondisi kekinian dari pada kita adalah adanya pembiasan keta’atan, seakan ketaatan adalah taat nya kita kepada seseorang, lepas dari itu maka kita seakan menjadi bagian yang menunda ketaatan tersebut. Sehingga ketaatan itu pada aakhirnya adalah suatu “mood” saja, atau saat itulah seseoang akan bergantung pada keinginannya hawa nafsu. Ia akan taat pada hal-hal yang sesuai dengan keinginannya dan ringan. Tetapi ia akan menjadi bagian penentang, pada saat tidak sesuai dengan keinginannya dan berat.
Abdul wahab ‘azzam berkata : “Mereka akan segera taat pada hal-hal yang mereka sukai, namun mereka akan bermalas-malasan pada hal-hal yang mereka benci. Apabila dihadapkan pada ujian untuk melakukan suatu ha yang tidak mereka sukai sekalipun di dalamnya ada kemaslahatan jam’ah, maka mereka akan berpaling sambil memberi alasan, atau mereka akan mentaati dengan terpaksa, dan melaksanakan dengan hati kesal”.
“Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan 'uzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih.” -Q. S At Taubat : 90-
Padahal kita harus melaksanakan kewajiban dalam keadaan suka ataupun tidak suka. kita harus menerima kewajiban sebagai suatu kebutuhan, kepastian yang mengandung keraguan, dan kesungguhan yang tidak mengenal kemalasan. Tidak ada tempat bagi pendapat pribadi di dalamnya. Tidak ada pilihan bagi hawa nafsu di dalamnya. Ia adalah kewajiban yang harus diterima engan ridho, dilaksanakan dengan penuh semangat, dipikul dengan sabar, dan diyakini bermanfaat sekalipun anda harus menderita.
Beginilah sebuah jama’ah dan individu dalam membentuk tabi’at diri dalam menuai kewajiban, tidak ada niat dan daya untuk lari atau tawar-menawar. Karena semua itu ukuran kejujuran dalam individu, dan neraca keihlasan di dalam jam’ah 3. Sayyid Qutb berkata : “salah satu ciri khas Bani Israil; melanggar kesepakatan, mengkhianati janji, tidak mau taat, lari dari kewajiban, ucapan yang tidak bisa dipegang dan berpaling dari kebenaran yang nyata. Akan tetapi, karakter ini juga merupakan tabi’at setiap jama’ah yang belum matang pendidikan imannya.
Oleh karena itu, tarbiyah untuk memiliki ketaatan sejati termasuk asas dalam gerakan dakwah kita. As-Syahid Hasan Al Bana telah menjelaskan bahwa jalan kita didasarkan pada : “pembentukan (takwin) dengan cara menyeleksi unsur-unsur yang tidak layak untuk mengemban semua beban jihad dan memadukan sebagiannya dengan sebagian lain”. Sehingga dalam hal ini sekali lagi “keta’atan” ini akan menyeleksi secara sendiri sesiapa di antara kita yang memiliki baiknya iman atau tidak. Dakwah pada tahap ini, bersifat “khusus”. Tidak akan bergabung dengannya kecuali orang yang benar-benar telah siap mengemban semua beban jihad yang panjang dan banyak resiko. Kesiapan pertama dalam hal ini adalah “ketaatan yang sempurna”. Sedangkan syiar dakwah pada tahap ini adalah “perintah” dan “ketaatan”, tanpa keraguan, tanpa protes, tanpa bimbang, dan tanpa meras berat.
Berbagai alasan “ketaatan bertepuk sebelah tangan”
Meremehkan amal jama’i
Ia lebih senang dalam kesendiriannya, cenderung untuk tidak mau berjama’ah. Ia berpikir lebih baik sendiri dan tidak mau dalam ikatan sebuah aturan. Lebih senang pada ijtihad-ijtihad pribadi, dan mengabaikan mufakat jama’i.
Bergantung kepada individu lebih kuat
Lebih banyak bergantung kepada pribadi tertentu ketimbang kepada jama’ah dan pimpinan, merupakan penyimpangan yang dapat mengakibatkan ketaatan seseorang inilah yang bertepuk sebelah tangan. Taatnya adalah atas pribadi tertentu, bukan atas dasar iman dan Allah di hatinya. Karenannya hal ini banyak kita melihat fenomena, lebih taat kepada MR nya dari pada perintah pimpinan dan jama’ah, hal ini bukan berarti salah, namun ketaatannya harus memiliki keselarasan yang seimbang dengan ketaatan pada yang lain. Selanjutnya menyebabkan pribadi tersebut larut dengan kepribadian orang yang bergantung kepadanya, yang berakibat mereka tidak mempunyai kemandirian dan efektifitas kerja dalam shaf jama’ah.
Friksi-friksi dalam jama’ah
Tumbuhnya friksi-friksi atau blok-blok dalam jama’ah. Ia berkumpul atas satu rasa hal atau pikiran sama, yang ia merasa sudah memiliki kontribusi bentuk lain, yang tidak perlu untuk berta’at dalam hal lain. Matsal siroh ini, adalah seperti halnya terjatuhnya Sa’labah dalam pikir sudah berkontribusi lewat harta, dan tidak perlu untuk berkontribusi lain. Atau matsal lain adalah Abdullah bin luhay, duri dalam daging, yang mengoyak-ngoyak ukhuwwah, dan kekokohan jama’ah.
Memudarnya tsiqoh dan kefahaman
Tsiqoh adalah ujung tombak akhir pemahaman akhir dari arkanul bai’at, yang didasari awal atas tafahum/ kefahaman. Sehingga setidaknya memiliki sikap tsiqoh ini adalah awal yang baik pula untuk bisa faham, dan dari kefahaman inilah yang akan mengokoh sebuah nilai tsiqoh. Dan dua dasar inilah yang menyebabkan seseorang taat atau pun tidak
Catatatan kaki :
Mu’adz bin jabal adalah cendikiawan muslim yang paling tahu hala dan haram. Mu’adz adalah kaum anshar yang termasuk assabiqunal awwalun, yang ikut Bai’at Aqobah II. Dan Rasulullah saw., bersabda “Umatku yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Mu’az Bin Jabal”
Majalah Al-Hawadts, Lebanon, edisi 865, terbit 8 Juli 1973
Abdul wahhab ‘Azzam, Al Syawarid, 6
Marajji :
Al – qur’an
Khalid Muhammad Khalid (2007), 60 Siroh Sahabat Rasulullah saw, Al-I’Tishom, Jakarta
Majmu ‘ah Rasail Al –Imam Assyahid Hasan Al banna, Risalah Ta’lim, hal. 16
Muhammad Ahmad Ar Rasyid (2002), Hambatan-hambatan Dakwah, Robbani Pers, Jakarta
Parman Hanif M.Pd (2006), Teladan Tarbiyah Dalam Bingkai Arkanul Bai’ah, Auliya Press, Solo
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Al-Baqaroh : 226
Syaikh Mushthafa Masyhur (2000), Fiqh Dakwah Jilid I, Al-I’Tishom, Jakarta