BAB I
PEMBAHASAN
2.1 Pemakaian Tanda Baca
Dalam hal pembuatan karangan ilmiah, kesalahan huruf dan tanda baca sering muncul. Dan di dalam penulisan tanda baca sering sekali kita lalai dan melakukan kesalahan dalam penulisanya. Sehingga menjadikan karangan atau karya ilmiah kita menjadi sebuah karya yang kurang baik karena ada kesalahan dalam penulisanya. Dari berbagai kesalahan itu, sebenarnya para penulis karya ilmiah mampu untuk membuat tulaisanya, akan tetapi mereka sering lalai dan ceroboh dalam penggunaan tanda baca. Karena apa, tanda baca selalu di anggap sepele dalam penggunaanya sehingga kadang menjadikan kalimat itu menjadi rancu dan berbeda arti. Suatu contoh kita ambil kalimat “kucing makan tikus mati”. Dalam konteks kalimat ini jika tidak kita beri pemisah tanda baca maka akan menjadikanya sulit untuk dipahamai. Dari kalimat “kucing makan tikus mati” siapakah yang mati dalam konteks kalimat ini?, akan tetapi apabila kita ganti konteks kalimat ini dengan pemberian tanda baca seperti ini ”kucing makan, tikus mati”, siapakah yang mati dalam konteks kalimat ini?, kemudian apabila kita gunakan konteks kalimat ini ”kucing makan tikus, mati”, siapakah yang mati dalam konteks kalimat ini?. Kucing makan tikus mati adalah salah satu contoh kalimat yang banyak persepsi apabila kita salah menggunakan tanda bacanya. Oleh karena itu, pemakaian tanda baca dalam penyusunan kalimat sangat perlu untuk diperhatikan.
2.3.1 Tanda Titik (.)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya:
Ayahku tinggal di Solo.
Biarlah mereka duduk di sana.
Dia menanyakan siapa yang akan datang.
2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar.
Misalnya:
a. III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa
B. Direktorat Jenderal Agraria
1. ...
b. 1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Ilustrasi
1.2.1 Gambar Tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
Catatan:
Tanda titik tidak dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan atau ikhtisar jika angka atau huruf itu merupakan yang terakhir dalam deretan angka atau huruf.
3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukan waktu.
Misalnya:
pukul 1.35.20 (pukul 1 lewat 35 menit 20 detik)
4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukan jangka waktu.
Misalnya:
1.35.20 jam ( 1 jam, 35 menit, 20 detik)
0.20.30 jam (20 menit, 30 detik)
0.0.30 jam (30 detik)
5. Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Weltervreden: Balai Poestaka.
6. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya.
Misalnya:
Desa itu berpenduduk 24.200 orang.
Gempa yang terjadi semalam menewaskan 1.231 jiwa.
7. Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukan jumlah.
Misalnya:
Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung.
Lihat halaman 2345 dan seterusnya.
Nomor gironya 5645678.
8. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
Misalnya:
Acara kunjungan Adam Malik
Bentuk dan Kedaulatan (Bab I UUD ‘45)
Salah Asuhan
9. Tanda titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2) nama dan alamat penerima surat.
Misalnya:
Jalan Diponegoro 82 (tanpa titik)
Jakarta (tanpa titik)
1 April 1985 (tanpa titik)
Yth. Sdr. Moh. Hasan (tanpa titik)
Jalan Arif 43 (tanpa titik)
Palembang (tanpa titik)
Atau:
Kantor Penempatan Tenaga (tanpa titik)
Jalan Cikini 71 (tanpa titik)
Jakarta (tanpa titik)
2.3.2 Tanda Koma (,)
a) Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat khusus memerlukan perangko.
b) Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat serata berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
Misalnya:
Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.
c) Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Kalau hari hujan, saya tidak akan dating
Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.
d) Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Saya tidak akan datang kalau hari hujan.
Dia lupa akan janjinya karena sibuk.
Dia tahu bahwa soal itu penting.
e) Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula,meskipun begitu, akan tetapi.
Misalnya:
... Oleh karena itu, kita harus hati-hati.
... Jadi, soalnya tidak semudah itu.
f) Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya, nanti jatuh.
g) Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dari kalimat.
Misalnya:
Kata Ibu, “ Saya gembira sekali.”
“Saya gembira sekali,” kata Ibu, “karena kamu lulus.”
h) Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
(i) Surat-surat ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pakuan, Bogor.
(ii) Sdr. Anwar, Jalan Pisang Batu 1, Bogor
(iii) Surabaya, 10 Mei 1960
(iv) Kuala Lumpur, Malaysia.
i) Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Alisjahbana, Sultan Takdir. 1949. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid 1 dan 2. Djakarta: PT Pustaka Rakjat.
j) Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E.
Ny. Khadijah, M.A.
k) Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misalnya:
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, berkunjung ke Manado.
Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti latihan paduan suara.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang pemakaiannya tidak diapit tanda koma:
Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan namanya pada panitia.
l) Tanda koma dipakai di muka angka persepuluh atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
Rp 12,50
m) Tanda koma dapat dipakai––untuk menghindari salah baca––di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh.
Atas bantuan Edyar, Agus mengucapkan terima kasih.
Bandingkan dengan:
Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh dalam pembinaan dan pengembangan bahasa.
Agus mengucapkan terima kasih atas bantuan Edyar.
n) Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
“ Di mana Saudara tinggal?” tanya Karim.
“Berdiri lurus-lurus!” perintahnya.
2.2 Pemakaian Huruf Kapital atau Huruf Besar
Penggunaan huruf kapital atau huruf besar yaitu pada huruf pertama:
1. Pada awal kalimat.
Contoh : Pada hari minggu kuturut ayah ke kota.
2. Pada petikan langsung.
Contoh : Ayah berkata, “Berapa nilai rapormu?”.
3. Ungkapan yang berhubungan dengan hal – hal keagamaan, kitab suci, nama Tuhan, dan termasuk kata ganti nama Tuhan.
Contoh : Allah, Islam, Al Qur’an, Kristen.
4. Pada gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Contoh : Nabi Muhammad Saw, Raden Mas Margono, Daeng Gassing, Haji Sobri.
5. Pada nama jabatan dan pangkat, yang diikuti nama orang.
Contoh : Presiden SBY, Jenderal Soeharto.
6. Nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang ditulis dengan huruf kecil.
7. Nama orang.
Contoh : Sri, Risna, Unnul, Insana, Ayu.
8. Nama bangsa, suku, dan bahasa.
Contoh : Bangsa Indonesia, suku Makassar, bahasa Indonesia.
9. Nama tahun, bulan, hari, hari raya dan peristiwa sejarah.
Contoh : Tahun Masehi, September, Senin, hari Lebaran, Perang Dunia I.
10. Nama khas dalam geografi.
Contoh : Teluk Bone, Makassar, Danau Toba.
11. Huruf capital tidak dipakai bila tidak diikuti namanya.
12. Nama badan, lembaga pemerintah, dan ketatanegaraan serta dokumen resmi.
Contoh : BUMN, KPK, DikNas.
13. Semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti: di, ke, dari, yang, untuk, yang tidak terletak pada posisi awal.
14. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
15. Pada singkatan nama, gelar, pangkat, dan sapaan.
Contoh : Prof., Mayjen.
16. Kata penunjuk hukum kekerabatan (bapak, ibu, saudara, kakak, adik, paman, bibi, nenek, dan kakek) yang juga dipakai kata ganti atau sapaan seperti Anda.
2.3 Penulisan Kata Depan (di, ke)
di dan ke merupakan kata depan dalam bahasa Indonesia. Terkadang juga kedua kata depan tersebut disamakan dengan prefiks di- dan ke- meskipun keduanya sangat berbeda. Di dan ke sebagai kata depan yang menunjukkan tempat ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya, misalnya: di pantai, ke sekolah. Sedangkan prefiks di- dan ke- yang menunjukkan suatu proses atau kejadian ditulis secara serangkai, misalnya: diterima, kekasih.
Yang tergolong kata depan ialah di, ke, dari, daripada, kepada. Penulisan di, ke, dipisahkan dengan kata yang mengikutinya. Kecuali penulisan ke dan dari yang dianggap sudah kental dan merupakan bentuk satu kata. Misalnya, bentuk kepada dan daripada.
Contoh:
Bukuku kauletakkan di mana?
Hari ini saya ke kota.
Kursi ini di buat dari kayu jati.
Catatan:
Perhatikan beberapa penulisan di bawah ini dengan cermat!
keluar (satu kata) ke dirangkaikan.
kemari (satu kata) ke dirangkaikan.
Perhatikan pula pemakaian beberapa bentuk kata depan yang sudah mengalami proses morfologis di bawah ini:
Nasehatnya jangan dikesampingkan.
Kemarikan tasku di meja itu.
Jika bentuk kata depan ke dan di bisa saling dipertukarkan maka penulisannya dipisahkan dari kata yang mengikutinya.
Contoh:
ke sana dapat diganti di sana.
ke sini dapat diganti di sini.
ke atas dapat diganti di atas.
Bandingkan pula penulisan ke, jika diikuti luar:
Ayahnya sedang keluar.
Kakaknya sedang keluar kota.
Pamannya ke luar negeri.
Astronot terbang ke luar angkasa.
Kesimpulannya:
Keluar (merupakan satu kata yang mempunyai lawan kata masuk).
ke luar kota, ke luar negeri, dan ke luar daerah (ke + frse yang salah satu unsurnya ialah “luar”).
Bukan ke + luar, yang benar ialah:
ke + luar kota
ke + luar negeri
ke + luar daerah
2.4 Penulisan Kata Ganti (ku, mu, kau)
Kata ganti dalam bahasa Indonesia antara lain adalah –ku, –mu, kau. Penulisan kata ganti ini harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahului atau yang mengikutinya. Kata ganti ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; ku dan mu ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Contoh:
a. Ikan ini kubeli di pasar dengan menggunakan ibuku.
b. Kemarin saya meminjam pulpenmu.
c. Dimana kaubeli baju ini?.
Ketiga morfem tersebut merupakan kata ganti orang. Morfem –ku dan –mu merupakan kata ganti orang pertama dan kedua dalam bentuk ringkasnya.
Ku merupakan bentuk ringkas dari ‘aku’ dan merupakan kata ganti orang pertama tunggal. Mu merupakan bentuk ringkas dari ‘kamu’, merupakan pengganti orang kedua tunggal / jamak.
a. Akhiran –ku, memiliki arti / fungsi sebagai kata ganti orang pertama tunggal.
b. Akhiran –mu, memiliki arti / fungsi sebagai kata ganti orang kedua tunggal.
2.5 Penulisan Partikel (pun, per)
Penulisan partikel dalam bahasa Indonesia ada dua macam. Ada partikel yang ditulis terpisah dan ada yang ditulis serangkai. Partikel yang ditulis terpisah seperti partikel per yang semakna dengan demi dan partikel pun yang berarti juga.
Penulisan partikel “per” yang berarti “mulai”, “demi”, dan “tiap-tiap” ditulis terpisah dari bagian-bagian kalimat yang mengikutinya atau yang mendahuluinya. Namun, partikel per pada bilangan pecahan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Contoh:
Mereka meninggalkan ruangan satu per satu.
Harga kain itu Rp. 4.000,00 per meter.
Partikel “pun” ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Contoh:
Ke mana pun perginya, dicarinya juga.
Apa pun yang terjadi ia tetap pergi.
Satu kali pun ia tak pernah gagal.
Catatan:
Partikel pun yang dianggap padu benar dengan kata yang mendahuluinya ditulis serangkai.
Contoh:
bagaimanapun,
walaupun,
meskipun,
sekalipun,
ataupun,
maupun, dll.
f. Belajar sepanjang hayat
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.
Pada hakikatnya KTSP merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab tidak banyak perubahan berarti yang dilakukan. Yang tampak jelas berubah adalah penentuan mata pelajaran masing-masing bidang studi dengan penjabaran aspek-aspeknya. Persoalan baru itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban berat. Belum lagi soal kerepotan dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi belajarnya.
Dengan dasar Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka kurikulum 2006 diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru berusia dua tahun.
Dalam pelaksanaannya kurikulum terbaru tersebut mengalami berbagai kendala. Terutama persoalan minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dan terutama sekali kesiapan guru dan sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri. Namun oleh Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya panduan KTSP yang disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum 2006 itu terkesan masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai kebijakan dan landasan yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh pemerintah.
Perbedaan mendasar yang terdapat dalam kurikulum 2006 dibandingkan kurikulum sebelumnya adalah kurikulum 2006 bersifat desentralistik artinya sekolah diberi kewenangan secara penuh untuk menyusun rencana pendidikan dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan (SI dan SKL) mulai dari tujuan, visi dan misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya. Namun, kewenangan dan kebebasan sekolah tersebut dalam penyelenggaraan program pendidikannya tetap harus disesuaikan dengan (1) Kondisi lingkungan sekolah, (2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan daerah. Dalam pelaksanaannya, orang tua dan masyarakat dapat berperan dan terlibat secara aktif sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan program pendidikannya.
a) Bongkar Pasang Kurikulum
Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai dari apresiasi atas peran swasta, seperti penggunaan system modul atau sekolah pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada uji coba sistem cara belajar siswa aktif (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.
Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada awalnya tampak bagus, namun pada akhirnya setelah melihat kondisi liberatif, pemerintah kemudian mengambil alih kendali seluruh praktik pendidikan. Pendidikan yang tadinya liberatif desentralistis, ditarik kembali ke semangat deliberatif dan sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang sebagai partner, tetapi sebagai pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan seiring dengan reformasi pemerintahan. Namun lagi-lagi, masalah pendidikan yang diotonomikan di daerah di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari sebelumnya.Timbul banyak masalah, mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) sekolah, sampai pada pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga Honorer yang carut marut (Susanto dan Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).
Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan kurikulum 1975, tidak membuat praktek pendidikan di tanah air semakin membaik. Bahkan ketika sekolah belum semua menggunakan kurikulum 1975, mulai dirasakan, bahwa kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Kemudian lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka pemerintah menerbitkan UU No. 2 Tahun 1989. Undang-undang yang dihasilkan secara terencana lewat sebuah panitia penilai pun tidak lepas dari kritik. Kurikulum 1984 kemudian dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi kurikulum baru 1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol ketimbang berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pun dibanti, dan setelah lewat proses yang panjang dan menuai banyak kritik, baru terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan dengan lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula kurikulum baru 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap lulusan (Permanasari, Kompas, 30 Desember 2005).
Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak daerah pedalaman Indonesia, masih ada sekolah yang belum sempat mempraktekkan kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua orang guru dari pedalaman Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan Dalimunthe dan Raja Dima Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005)
Meskipun selalu dibungkus dengan istilah penyempurnaan pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari kegiatan perombakan kebijakan. Kita menghargai adanye pembenahan kurikulum yang belum sempat tersosialisasi dengan baik, namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk memperhitungkan kelengkapan sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid. Pertimbangannya adalah apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan tetap tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek pendidikan secara keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang dikutak-katik oleh pejabat atau Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya, maka memang Indonesia (Pemerintah) benar-benar tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang arah dan tujuan pendidikan nasional. Kecenderungannya adalah akan terbukti, bahwa rencana perubahan kurikulum yang setiap waktu lebih bersifat mega proyek, ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang membutuhkan pelayanan pendidikan secara baik (Sularto, ST, Kompas, 22 Februari 2006).
b) Bagaimana Sekolah dan Guru Menyikapi
Guru dan pihak sekolah, sebaiknya berani bersikap mandiri dan tidak dibingungkan oleh keputusan pemerintah yang berencana mengubah kurikulum. Sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengemas dan merekayasa kurikulum sendiri diharapkan tetap punya keyakinan untuk tidak didikte oleh kurikulum nasional, yang dalam penerapannya mungkin saja sangat detail, tanpa mempertimbangkan aspek muatan lokal, kondisi sosial, budaya masyarakat di daerah tempat sekolah berada. Dalam konteks ini, sekolah, guru dan murid harus yakin dengan pendiriannya (Ali, Kompas, 21 Februari 2006).
Yang jelas dan penting bagi guru adalah kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip dan idealisme dalam pendidikan. Hal tersebut perlu untuk membentengi diri jangan timbul kesan bahwa perubahan kurikulum dilakukan, karena adanya ketidaksiapan guru dalam pelaksanaan kurikulum (Suparno, Kompas 27 Februari 2006). Tidak kalah pentingnya, bahwa pembatalan kurikulum KBK, mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan di Indonesia yang selama ini hanya dilakukan dengan kurikulum coba-coba, tanpa ada pengkajian dan riset yang mendalam. Anggaran pendidikan kita selama ini hanya habis untuk urusan uji coba. Dengan demikian, jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan, apalagi untuk kesejahteraan guru dan dosen, sangat jauh dari harapan kita semua (Abduhzen, Kompas, 28 Februari 2006).
Jadi, hal yang penting menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan di bidang pendidikan, adalah bahwa hendaknya perubahan kebijakan yang diambil tidak dilakukan secara mendadak, tetapi perlu perencanaan yang matang, dan sosialisasi merupakan kata kunci yang penting untuk menjamin siswa, guru dan sekolah tidak menjadi korban perubahan tersebut (Elin, Kompas, 24 Juli 2006).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjalanan pendidikan dan kurikulumnya sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, menunjukkan praktek pendidikan tidak pernah lepas dari metode uji coba kebijaksanaan di bidang pendidikan. Begitu mudah berubah. Kurikulum pendidikan yang seharusnya tidak gampang diubah, sebelum ada pengkajian dan riset yang mendalam, telah menyebabkan sekor pendidikan di tanah air belum mampu mengatasi ketertinggalan bangsa ini dalam mengikuti kompetisi regional dan global.
Dampak berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan sebagai kebijakan yang bersifat instant dan tidak didasari atas pertimbangan pedagogis edukatif. Ke depan yang perlu dilakukan bukan mengkutak-katik kurikulum yang sudah ada, melainkan kita harus memusatkan perhatian yang serius pada pembenahan infrastruktur persekolahan yang banyak mengalami kerusakan, seperti gedung-gedung, sekolah yang telah runtuh dimakan usia. Selain itu perhatian serius juga harus dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga guru dan dosen, pemberian akses kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak didik sebagai garda terdepan bangsa dalam memajukan pendidikan nasional.
Catatan sejarah tentang pelapukan terhadap praktik pendidikan dan kurikulumnya, harus segera diperbaiki kembali dengan memfokuskan perhatian pada isi, visi, misi dan orientasi pendidikan yang berlandaskan pada pendidikan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah menjadikan pilar pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan nasional bangsa ke depan. Saya khawatir sepuluh tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi bangsa buruh atau kuli di negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal dengan Negara-negara sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera pendidikan di tanah air dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara kultural, bangsa ini sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi dan menjadi mimpi buruk bagi bangsa kita.
B. Saran
Memperhatikan situasi dan kondisi pengelolaan pendidikan di Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka ada lima hal yang perlu dilakukan suatu pergantian kurikulum atau pemberlakuan kurikulum baru, yaitu : 1) sebelum kurikulum baru ditetapkan, guru di seluruh Indonesia harus dibantu memahami isi dan hakekat kurikulum yang baru itu. Oleh karena itu, perlu sosialisasi yang sungguh merata di seluruh Indonesia. Pemerintah tidak boleh berasumsi atau menganggap bahwa guru akan tahu sendiri, atau mereka akan belajar sendiri setelah kurikulum ditetapkan, 2) untuk mempercepat sosialisasi, teks kurikulum yang sudah ditatar dengan kurikulum baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi, 3) media komunikasi, surat kabar, dan jaringan internet dapat digunakan sebagai media sosialisasi kurikulum yang baru, sehingga dapat terjangkau lebih cepat di seluruh pelosok Indonesia, 4) guru perlu dibantu agar dapat menyikapi kurikulum apapun secara bijak, sehingga tidak menjadi bingung. Guru perlu menyadari, bahwa meskipun kurikulum nantinya tidak lagi menggunakan KBK, namun mereka telah terbantu dalam proses kegiatan belajar mengajar KBK. Guru perlu dibantu bersikap cerdas untuk mengambil hal yang sungguh baik dan berguna dari kurikulum KBK ataupun kurikulum lama, meskipun kurikulum baru ditetapkan, 5) sangat penting bagi guru untuk mengembangkan sikap terbuka dan kemandirian dan percaya diri. Sebab bagaimanapun juga, guru masih tetap menjadi pilar utama dan ujung tombak dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa tanpa harus terbelenggu dan terkungkung oleh perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA