BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berbicara adalah merupakan suatu aktivitas kehidupan manusia normal yang sangat penting, karena dengan berbicara kita dapat berkomunikasi antara sesama manusia, menyatakan pendapat, menyampaikan maksud dan pesan, mengungkapkan perasaan dalam segala kondisi emosional dan lain sebagainya.
Kalau diamati dalam kehidupan sehari-hari, banyak didapati orang yang berbicara. Namun tidak semua orang didalam berbicara itu memiliki kemampuan yang baik didalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain sehingga dapat dimengerti sesuai dengan keinginannya, dengan kata lain, tidak semua orang memiliki kemampuan yang baik didalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan detail yang tepat antara apa yang ada dalam pikiran atau perasaannya dengan apa yang diucapkannya sehingga orang lain yang mendengarkannya dapat memiliki pengertian dan pemahaman yang pas dengan keinginan si pembicara.
Untuk penyampaian hal-hal yang sederhana mungkin bukanlah suatu masalah, akan tetapi untuk menyampaikan suatu ide/gagasan, pendapat, penjelasan terhadap suatu permasalahan, atau menjabarkan suatu tema sentral, biasanya memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi bagi seorang pembicara yang belum terbiasa, bahkan tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik. Dibutuhkan suatu keterampilan atau kecakapan dengan proses latihan yang secukupnya untuk dapat tampil dengan baik menjadi seorang pembicara yang handal.
1.2.Tujuan
Tujuan retorika adalah persuasi, yang dimaksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya pendengar akan kebenaran gagasan hal yang dibicarakan pembicara. Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Retorika Dalam keseharian
Berbicara atau bertutur merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan orang dalam kehidupan bermasyarakat. Sebelum dikenal adanya tulisan, bertutur sudah digunakan sebagai alat komunikasi. Seiring perkembangan zaman, kegiatan bertutur memiliki peranan penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Sering kita temui daerah dengan kebudayaan yang baik memiliki kebiasaan bertutur yang baik pula, sesuai dengan ungkapan ”bahasa menggambarkan budaya setempat”.
Berbicara menjadi suatu hal yang penting dalam keseharian. Berbicara dipergunakan untuk berkomunikasi, menyampaikan informasi, menyampaikan maksud, sampai digunakan untuk berdebat. Kecakapan dalam berbicara untuk menyampaikan suatu ide merupakan kecerdasan linguistik, bagian dari delapan kecerdasan yang disampaikan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 dalam bukunya Frames of Mind. Kecerdasan ini pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia dengan kadar kemampuannya yang berbeda-beda. Untuk memiliki kemampuan ini ternyata bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang mampu merumuskan sebuah gagasan dengan baik, namun kesulitan dalam hal penyampaiannya. Dalam penyampaiannya pun harus jelas dan sistematis agar mudah dipahami oleh pendengar.
Dahulu kemampuan berbicara yang baik hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai status atau fungsi tertentu seperti kepala suku saat upacara adat, pemakaman, kelahiran, dan sebagainya. Penguasaan mantra, kata-kata bijak, dan nasehat yang diberikan kepada masyarakat menjadi kelebihan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan orang lain. Kemampuan berbicara inilah yang membuat para kepala suku dihormati dan disegani oleh masyarakatnya.
Kemampuan berbicara ini juga berkembang di Yunani dan Roma dengan tokohnya seperti Socrates dan Aristoteles. Mereka menyebut kemampuan berbicara ini dengan retorika yang berasal dari bahasa Latin rhetorica yang berarti ’ilmu berbicara/bertutur’. Awalnya mereka menganggap ilmu ini untuk memenangkan suatu kasus. Namun, penggunaan retorika kini sudah bergeser pada ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha bertutur untuk membina saling pengertian. Sesuai yang dikatakan oleh I Gusti Ngurah Oka.: “Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.”
2.2. Pemanfaatan Retorika dalam keseharian
Pemanfaatan retorika dalam kehidupan sehari-hari antara lain: “secara spontan atau intuitif, secara tradisonal atau konvensional, dan secara terencana.” Pemamanfaatan retorika secara spontan atau intuitif ini sering terjadi dalam kehidupan bertutur sehari-hari. Biasanya pembicara tidak banyak mempersiapkan bahan materi yang akan dibicarakan. Jadi lebih bersifat spontan. Pemanfaatan retorika secara tradisional yaitu dengan mengikuti konvensi atau kesepakatan yang sudah diberikan oleh generasi sebelumnya. Seperti penghormatan kepada pejabat dengan menggunakan kalimat “Yang terhormat”. Pemanfaatan retorika secara terencana maksudnya ialah, “penggunaan retorika yang direncanakan sebelumnya secara sadar diarahkan ke suatu tujuan yang jelas” Pemanfaatan retorika secara terencana dibagi menjadi bidang politik, bidang usaha atau ekonomi, karyawan bahasa, bidang kesenian, dan bidang pendidikan. Pada bidang pendidikan, pemanfaatan retorika secara terarah tampak lebih menonjol lagi pada proses pengajaran di dalam kelas.
Pendidikan merupakan pilar utama dalam usaha memajukan bangsa dengan mencetak generasi yang cerdas dan mandiri. Pendidikan menjadi sarana dalam mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu mencerdaskan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pendidikan, bangsa yang peduli dengan pendidikan, dan bangsa yang mengedepankan pendidikan. Sebuah negara akan terpuruk bila pendidikan yang diselenggarakan negara tersebut kurang atau tidak baik.
Dalam dunia pendidikan, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, berbicara menjadi kompetensi yang harus dimiliki siswa. Berbicara menjadi bagian catur tunggal, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang tidak dapat dipisahkan dari keempat keterampilan berbahasa tersebut. Bila satu saja dari keempat keterampilan itu tidak ada, maka dapat dipastikan orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasyah Aliyah (MA), pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, secara efektif dan efisien, baik lisan maupun tulisan. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia.
2.3. Penerapan Retorika dalam keseharian
Dalam pembelajaran kemampuan berbahasa, kemampuan berbicara sering terabaikan karena yang ditekankan dan mendapat perhatian lebih ialah kemampuan menulis. Padahal tujuan utama pembelajaran bahasa ialah untuk berkomunikasi. Bukan hanya tulisan tetapi juga lisan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang khusus untuk kemampuan berbicara. Diperlukan keseriusan dalam hal ini. Diperlukan strategi dan metode yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pada kurikulum kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) / Madrasyah Aliyah (MA) seperti di sekolah saya dulu MAN 3 Banda Aceh, salah satu Standar Kompetensi berbicara pada kelas XII yaitu pidato, merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa. Kompetensi Dasar yang harus dimiliki setelah proses pembelajaran adalah siswa mampu berpidato tanpa teks dengan menggunakan pelafalan, intonasi, nada, dan sikap yang tepat.
Dalam penerapannya, pembelajaran berpidato pada tingkat SMA ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. Siswa cenderung menjadi pribadi yang sulit berbicara di depan umum. Hal utama yang menjadi penyebab biasanya adalah faktor keragu-raguan atau keberanian dari siswa. Siswa khawatir berkata salah ketika berpidato. Bahan pembicaraan yang sudah dipersiapkan menjadi hilang ketika berada di depan orang banyak untuk berpidato. Dari sekian banyak siswa tentunya ada beberapa siswa yang mampu tampil dengan berani dan percaya diri. Hal ini karena adanya pembiasaan yang dilakukan karena siswa tersebut mempunyai pengalaman dalam berorganisasi yang menuntut mereka untuk sering berinteraksi dengan banyak orang. Keberanian dan percaya diri memang merupakan modal utama dalam berpidato, namun tidak cukup hanya kedua hal itu saja. Dalam berpidato, siswa dituntut mampu memilih kata dan menyusun kalimat dengan baik serta memahami faktor-faktor lain seperti pelafalan yang baik, intonasi, dan sikap yang tepat.
Metode yang paling sering digunakan guru dalam pembelajaran berpidato adalah guru menjelaskan faktor-faktor yang dinilai dalam berpidato. Kemudian siswa diminta untuk berpidato. Setelah itu, performa siswa tersebut dievaluasi secara bersama-sama. Metode ini memang baik untuk memberikan pemahaman tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam berpidato. Namun, dalam hal praktek tentunya siswa menampilkan hanya sebatas pengetahuannya saja. Kecuali bila siswa memiliki pengalaman lomba berpidato atau memiliki jabatan ketua pada suatu organisasi yang sering diminta untuk berpidato. Bagi siswa yang belum memiliki pengalaman yang cukup mengenai pidato maka sangatlah perlu siswa tersebut melihat sebuah contoh dalam berpidato. Dalam hal inilah seorang guru harus memberikan sebuah model yang dapat dipelajari oleh siswa. Model itu dapat dilakukan oleh guru ataupun selain guru.
Seperti pendapat Albert Bandura dalam teori sosial learning yang menyatakan bahwa proses belajar dimulai dari meniru, maka dalam belajar berpidato alangkah baiknya bila siswa mencontoh pemidato yang baik. Dengan contoh ini siswa akan mendapatkan gambaran mengenai cara berpidato yang baik. Contoh ini dapat dijadikan model dalam pembelajaran berpidato.
Media merupakan alat komunikasi dalam pendidikan. Media pendidikan menjadi alat bantu untuk menyampaikan pesan yang diberikan oleh guru kepada siswa. Penggunaan media tidaklah asal saja tetapi harus dengan pertimbangan bahwa penggunaan media tersebut sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Jangan sampai media yang telah dipersiapkan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Dengan bantuan media, proses dan hasil pembelajaran diharapkan menjadi lebih baik jika dibandingkan tanpa menggunakan media. “Media tidak terbatas hanya pada alat saja secara luas media bisa termasuk manusia, benda ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan.” Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain, “sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang” , media inilah yang dapat membantu memperkaya wawasan siswa dalam belajar.
Dalam proses pembelajaran, model merupakan media yang dapat dijadikan sumber untuk belajar. Model ini dapat dicontoh dan dikembangkan oleh siswa. Oleh karena itu, media bisa pula guru atau model yang diberikan di luar pihak guru, seperti model dalam berpidato yang telah disebutkan sebelumnya.
Mengenai model mana yang harus dipilih kita harus melihat kualitas model itu sendiri. Sesuatu yang akan dijadikan model diusahakanlah yang terbaik karena akan dicontoh dan mungkin dikembangkan oleh siswa setelah mengamati model tersebut. Dalam model untuk berpidato beberapa hal pokok yang wajib menjadi kriteria, yaitu kemampuan linguistik, kemampuan mempersuasi, dan kemampuan memotivasi. Ketiga hal tersebut terangkum dalam ilmu retorika.
2.4. Manfaat Retorika dalam keseharian
Motivator bisnis merupakan salah satu profesi yang menggunakan ilmu retorika. Kemampuan retorika sangat berguna dan membantu untuk menunjang profesi ini. Tugas utama sebagai motivator bisnis ialah mampu mempersuasi para pendengar agar termotivasi untuk melakukan saran-saran yang diberikan olehnya. Layaknya seorang orator dalam sebuah kampanye, seorang motivator bisnis harus tampil dengan percaya diri dan mampu meyakinkan pendengarnya dengan sikap dan kata-kata yang diungkapkannya. Dengan kriteria ini seorang motivator bisnis merupakan model yang layak untuk pembelajaran berpidato karena dengan predikatnya sebagai seorang ”motivator” maka tentunya ia harus memiliki kriteria-kriteria tersebut.
Pemodelan retorika motivator bisnis ini berlaku sebagai media pada saat pembelajaran berpidato. Pemberian model yang baik akan mempermudah siswa dalam belajar. Dengan media, pemodelan retorika motivator bisnis ini diharapkan memberikan wawasan yang lebih baik kepada siswa untuk berpidato serta siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam berpidato sehingga dapat meyakinkan pendengarnya.
Bicara merupakan bentuk komunikasi manusia yang paling mendasar, yang membedakan kita sebagai suatu spesies. Meskipun setiap hari kita berbicara, dan sepantasnya kita berlatih agar dapat bicara lebih baik. Alasannya sederhana, jalan menuju sukses, baik di bidang sosial maupun prefesional, biasanya dapat dilalui dengan bicara. Bicara merupakan salah kenikmatan hidup terbesar, satu hal yang terpenting adalah mau berbicara. Banyangkan saja dalam sehari kita dapat berapa banyak mengucapkan ribuan kata. Mengapa kita tidak mengembangkan keterampilan bicara dan menjadi pembicara terbaik.
Bicara itu seperti bermain golf, mengendarai mobil, atau seperti mengelola bisnis toko. Semakin sering melakukannya maka semakin mahir dan semakin merasakan senang. Tetapi kita harus mengetahui dasar-dasarnya, demikian juga dengan berbicara yaitu dasar-dasar percakapan yang berhasil antara lain: kejujuran, sikap yang benar, minat terhadap orang lain, dan keterbukaan terhadap diri sendiri dan orang lain.
Untuk sebagian orang seperti penyiar radio, penyiar tv, motivator, dll, merupakan pembicara yang bekerja dengan mengembangkan keterampilan berbicara. Sehingga berbicara bisa jadi sebagai sumber penghasilan.
2.5. Cara Beretorika yang baik
Menurut Larry King “orang sukses adalah pembicara yang sukses dan sebaliknya. Adakah orang sukses yang tidak dapat mengekspresikan dirinya? Jawabannya adalah nihil. Mungkin mereka tidak pandai ngobrol atau mungkin tidak dapat bicara di depan umum, tetapi mereka cukup berbicara dalam suasana sosial cukup berbeda, untuk meraih kesuksesan. Untuk sebagian orang berbicara di depan umum bukan mejadi hal yang mudah, tak heran kalau seseorang mengangap bicara adalah momok yang sangat menakutkan dan memalukan, malah menjadikan orang gugup ketika disuruh berbicara sehingga sering terjadi kesleo lidah, dan menjadi terpleset kata. Mereka itu hanya orang-orang yang takut berbicara karena takut salah, atau takut salah untuk mengatakan hal yang benar.
Tidak ada yang mengatakan Harry Truman sebagai orator ulung, tapi banyak yang mengganggapnya presiden hebat. Ia adalah pembicara yag baik dalam urusan politik. Ia bukan pembicara yang memikat, tetapi merupakan komunikator yang baik, karena ia berusaha agar pembicaranya mudah dipahami. Ia tidak teoritis, tetapi mampu meluncurkan gagasan yang jelas dan langsung.
Tetapi kebanyakan yang paling penting untuk kita adalah mengefektifkan percakapan sehari-hari, entah dalam kehidupan sehari-hari, atau di ruang publik. Tak ubahnya seorang pembelajar yang mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. Berbicarapun sama, seseorang mempunyai gaya berbicara sendiri-sendiri. Seseorang dapat menilai dan memberikan gambaran bahwa gaya bicara orang berbeda-beda, tetapi masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri, dan mengomentari apakah gaya berbicaranya cocok atau tidak dengan vocal pembicara. Berbicara adalah hal yang simple sebenarnya berbicara menggunakan otak, lakukan dengan enjoy, mengikuti zaman, jangan berpikir negatif, mengembangkan unsur-unsur yang ada seperti warna suara, penyampaian, dan penampilan (performance), dan sikap komunikator. Anggap lah berbicara adalah kesempatan. Tak usah enggan untuk berbicra ingat pepatah: “Jika anda tidak merasa ahli berbicara maka yakinlah bahwa anda akan ahli berbicara, namun jika anda merasa pandai berbicara maka anda dapat melakukan lebih baik”. Terus berlatih dan kembangkan kemampuan berbicara di mulai berbicara yang sederhana, dan memperhatikan orang bicara adalah salah satu media untuk belajar menjadi pembicara yang baik dan dapat lebih dinikmati.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Retorika sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Berbicara pada dasarnya harus dimiliki oleh semua orang yang didalam kegiatannya membutuhkan komunikasi, baik yang sifatnya satu arah maupun yang timbal balik ataupun keduanya. Seseorang yang memiliki ketermapilan berbicara yang baik, akan memiliki kemudahan didalam pergaulan, baik di rumah, di kantor, maupun di tempat lain. Dengan keterampilannya segala pesan yang disampaikannya akan mudah dicerna, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar dengan siapa saja.
3.2. Saran
Untuk pembaca lebih meningkat keterampilan berbicara, karena retorika itu sangat penting dalam kehidupan sehari – hari, dapat membuat kita mudah dalam berkomunikasi di depan umum atau antar personal
DAFTAR PUSTAKA
Keraf Gorsyi. Diksi dan Gaya Bahasa Seri Retorika, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2006
NGURAH..I GUSTI OKA. Retorik Sebuah Tinjauan Pengantar , Bandung, Tarate Bandung 1985.
SUWITO, Sosiolinguistik , Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 1985.
Untuk peran reproduktif biologis, sebagian besar buku ajar sudah benar dalam mengilustrasikan gambar yang berwawasan gender. Seperti, seorang ibu yang sedang menyusui, sedangkan sang ayah membantu mencucikan baju si bayi. Ilustrasi seperti itu sangat mengena, karena menonjolkan peran laki-laki dan perempuan yang setara dalam hal merawat anak. Namun demikian, untuk peran reproduktif sosial, masih banyak buku ajar yang bias gender, seperti dijumpai dalam buku Bahasa Indonesia kelas 4 SD terbitan Erlangga halaman 62, dimana kita melihat adanya ilustrasi gambar yang menunjukkan seorang ibu yang sedang mengerjakan tugas domestik (menyeterika, memasak), dan anak perempuan yang sedang mencuci baju dan membersihkan halaman. Ada beberapa buku yang menggambarkan seorang ibu berbelanja di pasar dan selalu didampingi anak perempuannya (misal : buku Matematika 3B Yudistira halaman 56 dan 61, Matematika 4B Yudistira halaman 92). Selain gambar, soal-soal cerita matematika banyak sekali yang menunjukkan bias gender.
Peran sosial juga masih banyak yang ditampilkan secara bias gender, seperti kerja bakti yang selalu digambarkan hanya dikerjakan oleh bapak-bapak / kaum laki-laki. Sebagai contoh, dapat dijumpai dalam buku Bahasa Jawa kelas 4 terbitan Tiga Serangkai pada halaman 7. Selain itu, banyak bahan ajar yang menampilkan anak-anak perempuan yang sedang bermain boneka, sedangkan anak laki-laki bermain sepakbola (misal : buku Matematika 3B Yudistira halaman 16 dan 22). Nilai-nilai gender yang ditampilkan secara bias gender banyak dijumpai hampir pada semua buku, seperti baju yang dikenakan laki-laki cenderung warna biru dan gelap, sedangkan perempuan warna pink, merah dan warna-warna cerah lainnya. Seorang dokter selalu digambarkan seorang laki-laki, sedangkan suster / perawatnya perempuan.
4. Sumbangan utama sosiolinguistik kepada pengajaran bahasa ialah:
o Penekanan kebermaknaan bahasa dalam pengajaran bahasa;
o Pengertian yang lebih mendalam tentang ragam bahasa;
o Tujuan pengajaran bahasa yang bersumber pada penggunaan bahasa dalam masyarakat;
o Bentuk bahasa yang diajarkan disesuaikan dengan bentuk bahasa yang ada dalam masyarakat.