Planet Egois

Ini semacam makan sebuah permen. Sudah lama dimulut, rasanya manis. Kemudian karena suatu hal ia berubah menjadi pahit. Memuntahkan tak mungkin, sedang menelan juga tak bisa. Ia mengganjal ditenggorokan. Rasanya sakit. Sakit seperti menahan tangis sekian lama agar gak pecah...

Saat ini aku akan bertutur tentang sesuatu yang bernama egois. Egois yang membuat dunia berporos pada kehidupanku. Ini mungkin mustahil terjadi, namun apa yang bisa kalian lalukan? Bukankah ini aku yang menceritakan. Tulisan ini setidaknya menjadi sisi lain hal-hal yang tidak mungkin ditembus. Aku akan tertidur, kemudian bangun kembali ketika bulan Oktober 2012. Ketika semua masih baik-baik saja.

Dalam mimpi, aku buang segala ramuan 2211201229042013. Itu sejenis permen seperti yang kusebutkan sebelumnya. Permen dari ramuan beberapa masa.

“Katamu tak akan mengambil sesuatu yang berasal dari masa lalu?”

“Apakah kamu berharap menjadi masa lalu?”

“Sungguh tidak, hanya saja ini menjadi sangat sulit. Aku terlalu mempercayai, cerita tentang ikan yang membutuhkan air. Mungkin saja ikan ini harusnya terpanah oleh bintang yang muncul bulan Desember.”

“Aku telah mempersiapkan sesuatu untukmu, ini bukan masalah masa lalu. Tapi masa depan.”

“Aku terlalu pesimis dengan masa depan?”

“Bukankah kita sekarang berada pada bulan Oktober, bukan saatnya membicarakan masa itu. Aku akan mengulangi kata-kata ini, aku sudah menemukan, tinggal orang itu bagaimana menyikapinya.”

“Mengapa kau tanyakan padaku, tanyakan pada orang yang kau maksud.”

Ini adalah de javu, kembali de javu. Tatapan yang seperti dulu, hanya dengan lesung pipit di sebelah kanan. Ya, yang sebelah kiri telah habis dilahab mereka yang dulu menikmati pipinya.

“Lupakan semuanya. Akan kubawa ke planet lain. Agar tak ada yang mengusik hubungan kita.”

Kemudian kehidupan berporos pada mereka. Mereka yang berbahagia dan yang lainnya mengikuti.

“Akhirnya tubuhmu ini menjadi milikku, dan tubuhku menjadi milikmu.”

“Kita berada di bulan apa?”

“Mendekati kesebelas.”

“Bunuh aku, biar sekarang saja aku merasakan ngilu.”

“Aku sudah membunuhmu, tepat di depan pintu kamarmu, beberapa hari lagi.”

“Bunuh aku lagi, dalam ruangan rahasia ini.”

“Aku akan tetap menjadi milikmu, bagaimuana pun sakit itu.”

“Bunuh aku. Aku tak mau terbangun. Bunuh aku.”

“Mengapa kau juga tak percaya. Aku sudah membunuhmu. Sudah.”

“Mengapa mati itu rasanya seperti ini. Mengapa Planet Egois masih melemparkan permen-permen dalam multku. Aku tak bisa memuntahkan, aku tak bisa menelan. Aku ingin menangis. Mana bahagia yang kau janjikan dalam planet ini?”

“Sekali lagi, aku bukan bagian masa lalumu, walau aku sudah sedikit ingkar tentang bahagia yang kujanjikan. Tubuh ini masih milikmu, dan tubuhmu masih milikku.”

“Kamu tahu? Aku sedang merasakan sakit yang teramat sangat. Mengapa rasanya seperti ini?”

Ternyata walaupun kehidupan berporos kepadaku, aku tetap merasakan sakit. Sakit yang mungkin setiap orang pernah merasakan. Kehidupan memaksaku kembali ke masa ini.

Dalam senja yang hangat, senja yang redup. Kembali ia mengenang nikmatnya dibunuh di depan pintu dan di sebuah ruangan rahasia. Bodohkan menunggu sang pembunuh di depan ruang rahasia ini. Di depan papan bertulisan ‘Anugrah’