Senin berduka





Kita bermain-main siang siang hari Senin tertawa satu sama lain semua bahagia semua bahagia...

Namun Senin itu ada yang berbeda, sudah diulur berapa lama. Namun tetap saja hari Senin itu tiba. Mengenakan kaos yang sama seperti kurang lebih enam bulan lalu. Itu hal yang disengaja, namun yang sekarang di sampingnya mungkin tak memerhatikan. Kaos yang dipakai untuk memulai semuanya dan Senin ini untuk mengakhiri semuanya.

Ini semacam sedih terdahsyat. Pernah dulu menganggap bodoh dan konyol orang-orang yang rela mengiris nadi karena sebuah cinta, juga mereka yang opname karena memikirkan orang yang telah melepaskan. Semua anggapan itu tak lagi bodoh dan konyol jika sudah benar-benar mengalami dan merasakan.

“Move On donkkk.”

Kata-kata yang ringan, dan ketika mengalami sendiri, jauuuh lebih berat dari pada mempertahankan kelopak mata yang sangat ngantuk.

Ngilu, sangat ngilu rasanya. Seperti hati yang kena sembilu. Ingin rasanya menelan bius dan tak terbangun lagi. ini sungguh terlalu sakit.

Ia tahu ada kekhawatiran lebih, sehingga waktu untuk meninggalkan itu diulur hingga siang. Namun sama saja, walau Senin sudah berganti menjadi Selasa, rasa sakit itu tak akan kadaluarsa.

“Ini yang tak sempat kusampaikan. Terima kasih untuk selama ini, mengizinkan aku menjadi pendampingmu. Katanya kalau cinta itu pantang berkata maaf, yah walaupun aku merasa banyak salah.”

“Maaf ya.”

Kemudian ia mengenang kembali, tentang tubuh itu yang nantinya entah menjadi milik siapa, dan tubuh ini juga entah menjadi milik siapa.

“Kamu bukan bagian dari masa lalu.”