Wi & Pelukis

Ketika ada orang yang benar bercerita tetang susahnya ia mempertahankan sebuah mimpi dari kegemaran.

Sore kemarin, hujan satu-satu membasahi tanah Jogja. Dingin membungkus kami yang berbincang di sebuah rumah makan. Aku dengan rakusnya melahap hidangan, sedang ia yang di sampingku kalem dengan segelas teh manis saja. Kemudian cerita itu.

“Aku pertama kali ikut lomba pas SMP jauh tempatnya. Ibuku tidak mengizinkan. Malam sebelum lomba itu aku minta antar bapak. Bapak yang mendukungku. Sedang ibu, beliau tetap tak mau tahu potensiku. Itu lho, yang punya perempatan bus gitu, namanya apa Wi? Aku lupa. Orangnya serem, item, tinggi, gondrong. Tapi aku belajar lukis dari beliau Wi. Setiap pulang sekolah, dan kalau tiba di rumah terlalu sore ibu pasti ngomel. Pas lomba itu, bapak yang mengantar, seperti kataku di awal. Tapi ibu tidak memberi sangu. Bapak membelikan aku cat air entah dari mana, sepertinya pada akhirnya ibu memberi uang. Aku masih ingat, cat air itu bungkusnya putih. Aku lupa mereknya, yang jelas itu cat yang lumayan bagus. Pas udah sudah selesai, sama seperti pas grebek tadi, aku kumpul-kumpul gitu, bapak ngajak aku pulang. Aku gak mau, aku pengen mendengarkan pengumuman juara. Bapak seperti mau nangis Wi, aku tahu, beliau ngajak pulang itu karena takut aku kecewa misal gak menang. Mungkin bapak itu heran, kok aku ini kukuh banget. Ternyata ya Wi, namaku dipanggil. Aku dapat juara dua. Seneng banget rasanya. Sampai di rumah, aku belum cerita sama ibu, waktu itu ibu di rumah nenek. Sore setelah solat gitu aku ke rumah nenek sama bapak. Baru di situ aku bilang ke ibu kalau aku juara. Ibu menangis.”

Aku yang mendengarkan cerita itu, ketika lahap makan jadi susah sekali menelan. Ngganjel banget pengen mewek. Sumpah!

“Eh, ibu sms wi. Bilang katanya aku jangan lukis mulu. Fokus skripsi. Yah gini lah. Menurutku ya, hobi yang gak makan modal itu nulis. Ya gak?”

“Ada modal, secangkir kopi.”

“Ya, tapi kan gak nulis juga setiap pagi kita minum kopi. Ya kan?”

Aku mengiyakan.

“Aku lagi nyari modal Wi buat lukis.”

Kita sedang kembali membangun hubungan. Setelah dua hari di ruangan berac, makan enak, buku gratis berbanding dengan #BestFest yang unyek-unyekan sikut sana, sodok sini, gerah minta ampun pas grebek buku, juga dua siswa yang diinjak-injak. Sebelum itu sepanjang jalan kita bercerita, tantang bapak yang naik motor sendirian kemudian meludah satu gayung katamu dan mari kita sebut dengan muntah. Hahahah, aku ingin tertawa mengenang ceritamu yang memang lucu menuturkan. Ya, gayamu itu. Kemudian menceritakan mantan yang iuma itu ituuuu saja. Karena memang mantanmu cuma satu. Sedanga kau si anau, si itu dan yang terkahir itu.

“Pulang Wi, pulang. Aku gak tega di sini. Kalau udah menyangkut nafsu mengerikan ya. rebutan buku sampai njak-injkakan gitu. Coba bayangin ya Wi, kalau mereka tahu kita ini cagur, atau mereka itu yang diinjak-injak tadi adalah murid kita. Gimana coba Wi?”

Dan banyak cerita lainnya. TBY yang kembali mengenang mantan. Karena di tempat itu pertama kali aku meraih hangat telapak tangannya. Dan ada lukisan Journey yang dipamerkan sama seperti lukisan yang kulihat enam bulan lalu bersamanya di UGM.

“Wi, ternyata untuk ikut grebek buku gak cukup asah kuku aja. Harus punya tubuh tinggi kuat dan tangguh. Dan yang jelas jangan menjadi yang paling depan kalau gak mau diinjak-injak.”

“Wi, aku mau ke Padang. Lomba lukis. Semoga ibuku berubah ya. Mendukungku.”