Hanif adalah mahasiswa perguruan tinggi yang kritis. Ia menjadi sosok yang selalu dikagumi karena pemikiran-pemikirannya mengenai perbedaan agama yang sering kali tidak sempat mampir dalam pikiran orang lain. Idam salah satu orang yang mengagumi Hanif. Mereka berteman sejak kecil. Idam menjadi pengikut setia Hanif yang mengekor kemana pun dan menjadi orang yang selalu mencari aman. Di perpustakaan, mereka bertemu dengan Disti. Heran dengan Disti yang tidak berkerudung di lingkungan kampus dengan latar belakang islam. Berbagai kesempatan akhirnya mempertemukan Hanif, Idam, Disti juga Dinda (teman Disti). Disti sangat tertarik diskusi dengan Hanif mengenai perbedaan agama juga pandangan Hanif yang berbeda dengan orang kebanyakan. Masalah muncul ketika Hanif pulang ke rumah dan selalu berdebat dengan ayahnya. Di sisi lain, ia juga merasa kehampaan dalam hidupnya. Jalan yang dipilih adalah pergi. Banyak orang yang merindukannya. Juga perempuan yang separuh hatinya dibawa pergi olah Hanif.
Judul : Hanif
Penulis : Reza Nufa
Tahun Terbit : 2013
Penerbit : Diva Press
No. ISBN : 978-602-7933-46-0
Resentator : Utami Pratiwi
***
dok. istimewa |
Masih jelas teringat saat menenteng novel bersampul hijau sambil teriak, “Mas Hanif, minta tanda tangan!” padahal tanpa membawa pulpen. Sela-sela waktu ada yang berbaik hati mengambilkan pulpen itu aku kembali melihat novel yang ada dalam genggamanku dan ada kebingungan. lho? Kok pengarangnya Reza Nufa? Gila! Jangan-jangan aku salah orang. Malu ah! Dan setelah kucermati ternyata Hanif itu judul novelnya. Aku payah!
Awal membaca novel ini kukira memakai sudut pandang akuan tokoh Hanif, eh ternyata ada Idam yang membuat novelnya semakin ramai. Tokoh Hanif dan Idam itu seperti merefleksikan diriku. Aku mempunyai sepupu yang kutempatkan sebagai Hanif dan diriku adalah Idam. Sepupuku itu jago dalam segala hal dan aku sebagai pengekor dan bayanganya, intinya aku tak lebih hebat dari dia. Kami dari TK, SD, SMP, SMK satu sekolahan. Aku seperti Idam yang mencari-cari alasan untuk selalu sesekolah dengannya bahkan satu meja! Bedanya, kuliah ini kami memilih tempat yang berbeda. Dan kenyataan memang benar, ketika Hanif meninggalkan Idam, Idam bisa menjadi sosok yang lebih kuat. Mungkin sedikit sama denganku setelah berbeda universitas dengan sepupuku, karena kami memang mempunyai jalan masing-masing dan kami sama-sama bermetamorfosis menjadi manusia hebat! *menurutku sih.
Membaca Hanif sama seperti beberapa tahun lalu mengikuti mata kuliah Studi Islam. Ada materi yang dijelaskan sama persis dan membuatku semakin paham. Pembaca juga dimainkan emosi, apalagi pada lembar-lembar terakhir yang membuatku meneteskan air mata. Setelah itu tertawa, bahkan sambil ngakak menertawakan aku yang menangis.
Namun saya sedikit terganggu dengan penggambaran stereotip perempuan yang sempat dimunculkan oleh kak Reza Nufa. Saya bukan mendukung aliran feminisme, namun halaman 294:
“Obrolan yang berlangsung perlahan ini begitu menarik perhatianku. Kulihat Sri dan ibunya sudah beranjak dari tempat makan, merapikan piring-piring kotor dan meninggalkan kami berdua dalam perbimcangan.”
Seolah perempuan itu pekerjaannya ya hanya mengurus dapur, tidak berhak untuk ikut diskusi dan sebagainya. Tetapi di samping itu, novel ini menyajikan ending yang mengejutkan, tidak memaksa salah satu tokoh untuk berpindah agama karena (mugkin saja) saling jatuh cinta.
Buku ini cocok dibaca semua orang!
“Aku tahu selama ini pilihanku tidak salah. Kalaupun ingin jadi pengikut, bukan pioner, maka ikutilah orang-orang yang besar. Tanpa terkira aku sudah menjadi lebih besar dari banyak orang. Itulah ilmu paling berharga yang kudapatkan.”
“Aku sayang kamu, dan seluruh umat manusia.”
Coba sesekali kalimat itu dibalik deh!
Coba sesekali kalimat itu dibalik deh!
Novel yang bagus itu jika setiap pembaca bisa seperti mengalami sendiri dan memunculkan berbagai cerita lainnya. Menurut saya, Kak Reza Nufa berhasil memunculkan itu melalui Hanif.