dok.google |
Mentari senja menerobos di sela-sela dedaun kersen di atas kepala kita. Sesekali bunganya yang berwarna putih jatuh gugur runtuh satu-satu. Seperti membayangkan di bawah pohon sakura di negara tirai bambu sana. Romantis. Tempat duduk masih lengang. Di sini, kursi paling belakang ada dua perempuan ayu. Seorang mengenakan jilbab biru, sedang satu lagi mengenakan jilbab pink. Baju mereka senada dengan jilbab yang dikenakan.
Si biru sudah menantikan jam 3 hari itu. Lain lagi dengan si Pink, dia tak hanya hari itu saja menantikan. Bahkan sudah jauh hari. Sttt, dan ini adalah rahasia, penampilan hari ini spesial. Setelah kaki lelah menginjak-injak jajaran Malioboro. Demi seseorang spesial di hari itu. Seolah ingin menunjukkan kepada semua orang jika dari 16 itu, ia termasuk dalam jajaran yang tercantik! Dan orang yang telah menyia-nyiakan tentu saja salah besar. Itu anggapannya. Namun sayang,
***
Jangan terlalu banyak berharap jika tak mau dikecewaan. Ini kalimat yang berulang kali terkatakan dan tertulis. Memang, kadang berbicara itu jauh lebih mudah dari pada menjalani. Begitu pula hari ini. Sambutan dari awal bukan untuk dia. Sebuah tempat masih lengang, jauh dari anggapan dan angan. Tak dipersilakan. Setidaknya bicara “Duduklah.” Itu saja cukup.
Muka sayu, lesu, sendu itu terlihat lelah. Acara yang dirancang mulai jam 3 molor sampai hampir setengah 5. Ya, itu sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah. Bertemu dengan orang-orang yang dulu dikenal. Ditanyakan kabar, ah betapa bahagianya. Meski sudah jarang berjumpa karena sudah tak ada alasan.
Tak ada yang lebih sibuk. Mondar-mandir ke sana ke mari.
“Aku tahu, kamu ingin ia berdiri dibelakangnmu dan menawarimu sesuatu.”
“Ah, kenapa kau lisankan?”
“Karena, jika aku menjadi kamu, yang kuucapkan tadi adalah yang aku pikirkan.”
Dan,
“Kamu sudah makan?”
“Belum.”
“Ini buku buat kamu, maaf tadi gak lihat soalnya.”
Kemudian ia beranjak lagi. Menuju orang-orang yang berwajah tak asing sebenarnya. Namun tak berani menyapa.
“Mengapa cuma aku ya yang ditanya?”
“Ayo pulang.”
“Kamu gak mau makan dulu?”
“Malas ah, ayo pulang.”
Kembali menjabat tangan. Muka orang di depan itu masih juga sayu. Seperti kelelahan. Mungkin memang watak yang seperti itu.
Sebelum itu, diantara sajak-sajak yang dibacakan, ada yang mirip atau serupa. Tapi bukan, tak usahlah berbanyak-banyak berharap. Betapa bahagianya mempunyai mereka yang berbeda bidang keahlian. Sehingga bisa menyatakan jika ‘kamu adalah pelukis idolaku, kamu adalah pembaca puisi idolaku’ dan di dalam hati berkata ‘dan dia adalah penyair dalam tataran nomor satu’.
Dalam tas, tak ada tissu. Bahkan secuil. Padahal jauh hari sudah serangkain rencana yang tersusun. Tak ada air mata dalam pembacaan saja-sajak itu. tak sedikit pun. Hanya saja mangkel yang sudah ditenggorokan. Sehingga beduk tanda buka puasa tak mampu melegakan. Masih mengganjal di sini.
“Dan garam yang membuat sedap lidahmu.”
Akan berbeda memaknai jika seperti ini, ‘dan garam yang membuat perih setiap luka.’
Dan malam merayap. Dengan denting gitar, tabuh jimbe, gemericik entah apa aku tak tahu namanya, keyboar, sepasang penyanyi yang aduhai tak terlihat indah sama sekali, juga penutupan perjamuan dengan doa yang sepertinya tidak serius sekali.
Buku dibuka, masih ada satu-satu bunga putih berjatuhan. Mengenai sajak-sajak yang diperbandingakan dua manusia.
“Memang, cinta yang terlelu menggebu di awal itu tak baik, misalnya bulan puasa menghabiskan waktu di alun-alun kidul dengan bermain kembang api.”
“Oh, jadi itu alasan kamu mencintai kembang api yang katamu romantis?”
“Hahaha, yuk, sholat di masjid kenangan.”
Tangan yang kembali beradu dan mengucap salam.
Mungkin saja, ini suatu sinyal yang diucapkan tidak secara nyata.
“Kita, sudah benar berakhir.”