Cerpen: Utami Pratiwi
“Auuh.” Teriakmu manja. Padahal belum juga gunting kuku yang kupegang menyentuh ujung-ujung kukumu.
Kemudian kita tertawa bersama. Ya, ketika itu dalam mata kita dunia hanya dua warna, putih dan biru.
***
Angin meniupkan hawa semilir. Menerbangkan beberapa daun yang selanjutnya tergeletak tak berdaya pada rerumputan. Juga menerbangkan ingatan kenangan kita berdua. Dan tatapan tertuju pada rerumputan tempatku berpijak. Ya, tempat kita duduk bersama, membuat lima belas menit istirahat kedua menjadi waktu yang amat singkat. Itu dulu sekali, ketika kita belum memasuki usia kepala tiga seperti sekarang. Sudah berapa tahun kita tak jumpa?
“Apa yang ingin kamu katakan.”
“Mengapa tak menikmati sebentar saja kesunyian ini?”
Sebuah akal-akalan licik dari Suli dan Anna yang mengusir semua penghuni kelas dan menjebak kita berdua. Kau tahu bagaimana perasaanku saat itu? Mungkin kamu menikmati, sedang aku panik juga sedikit jengkel!
Setelah pertemuan jebakan itu, aku tidak merasa ada kesepakan. Namun bahagia itu menjadi sederhana ketika kedatanganmu istirahat kedua yang membawa kita duduk bersama di rerumputan ini dan pulang sekolah yang menjadi jauh lebih indah ketika kamu berjalan di sisiku sampai di depan rumah. Dua tahun menjadi waktu yang singkat. Dan setahun setelah itu menjadi waktu yang sangat lama.
Angin kembali datang, namun tak bersama dirimu.
“Al, kamu tahu aku kecewa? Kenapa harus Anna?”
“Sungguh kami tak ada apa-apa.”
“Hanya lima hari, lima hari saja aku pergi. Sudahlah.”
Anna yang merencanakan penjebakan pertemuan kita itu ternyata dalam hatinya juga menyimpan cinta. Padahal tak sedikit pun aku berpikir bahwa ia tak hanya mengusir teman-teman dari ruang kelas, namun juga mengusirku dari ruang hatimu. Mungkin salahku yang hanya melihat sinar matamu dan tak menyadari ternyata di sampingku juga ada perempuan yang melihatmu dengan tatapan berbeda. Ah, demi apa semua ini?
Kemudian setahun terakhirku tanpamu di rerumputan ini hanya berteman gitar dan suara sumbang Suli. Biasanya kita bercanda dan Suli memainkan gitar menyatu dengan suara merdu Anna. Lima belas menit yang amat lama untuk melewati istirahat kedua. Juga sepinya pulang sekolah berjalan sendiri sampai di depan rumah. Ketika bus jemputanmu lewat, dengan diam-diam aku mengintip dari tirai jendela rumahku, dan kamu mengintip dari kaca bus itu. Sebenarnya kita bertemu pandang, hanya saja sama-sama terhalang.
“Arin, sudah lama?” Sapamu tiba-tiba. Tanpa aba-aba kamu duduk di sampingku, sama menikmati semilir angin.
“Lumayan, cukup untuk mengenang semua yang pernah terjadi di tempat ini.” Kataku sambil menatap wajah yang sangat lama tak kutemui.
Kita menyepakati bertemu hari ini. Setelah kemarin malam tiba-tiba smsmu muncul di hapeku. Lebih menarik melihatmu kembali di sini dari pada menanyakan dari mana kamu memperoleh nomor hapeku.
“Gedung sekolah sudah banyak yang berubah. Hanya saja pohon ini masih seperti dulu. Bagaimana kabarmu?” kau ulurkan tangan, bersalaman.
“Mungkin tak sebaik dirimu.”
Tanganku menyentuh tanganmu. Kuku-kuku yang masih sama seperti dulu.
“Mengapa harus kamu ya yang ku pilih?”
“Iya, mengapa kamu yang pertama?”
“Sebenarnya lima hari itu tidak ada apa-apa.” Ia memulai pembicaraan mengenai masa lalu. Semacam menjelaskan yang dulu belum sempat terlisankan.
“Ya, aku percaya, sekarang. Bukankah itu sudah lama sekali.” Aku menggoda.
“Lima hari itu, ketika kamu tak masuk sekolah, tiba-tiba Anna membawaku ke tempat ini. Ia mengatakan kalau mencintaiku. Aku diam saja bahkan melangkah pergi menjauhi. Namun ia berteriak. Membuat anak-anak yang berlarian di sekitar tempat ini mendengar perasaannya. Semuanya tahu, juga lima hari kemudian kamu ikut tahu.”
“Tidakkah kamu merasa ini sangat lucu? Itu bahkan sudah kejadian lima belas tahun lalu. Anna itu seperti perempuan lainnya, ia juga ingin kamu tahu bahwa ia tak bisa terlalu lama menyimpan cinta. Untuk kamu, Al.”
“Arin, aku hanya tak mau kamu selamanya menyalahkanku, dari dulu kamu selalu memutar balikkan fakta.” Ada nada protes dari ucapannya.
“Ha ha ha, bagaimana kabar mereka. Anna mempunyai seorang anak. Laki-laki. Sekarang ia menjadi sinden. Kalau Suli aku tak tahu bagaimana kabarnya.”
“Sekarang anakmu berapa?” sebuah pertanyaan yang sangat mengejutkan.
“Dua. Perempuan dan laki-laki.”
“Oh, jadi kabar itu tak benar. Syukurlah.” Tatapannya sungguh sangat mencurigakan. Mungkin ia tahu yang sebenarnya.
“Tentang?”
“Sudah lupakan. Anakku baru satu, laki-laki.”
“Pasti ganteng seperti bapaknya.”
“Mungkin saja.”
“Bagaimana kalau kita akhiri saja.”
“Tentang?”
“Kebohongan ini. Tidakkah kamu lelah?”
Senyum yang sedari tadi kami sembunyikan berubah tawa. Seperti anak muda yang tak melupakan rasa jatuh cinta yang pertama. Selama ini aku masih sendiri. Bukan karena aku menunggunya, tetapi karena kesendirian itu menjadi sebuah pilihan. Dan Al mempunyai cerita yang sama.
Cinta tak pernah terlambat, bahkan ia mampu menunggu hingga lima belas tahun untuk kembali bersama.
***
Tangan yang bermain-main bersama daun pada rerumputan ini tiba-tiba kau pindahkan dalam genggamanmu. Selanjutnya kau mengambil sebuah barang kecil dari saku baju, sebuah gunting kuku.
“Auuh.” Teriakmu manja. Padahal belum juga gunting kuku yang kupegang menyentuh ujung-ujung kukumu.
Kemudian kita tertawa bersama. Ya, dalam mata kita, dunia memang tak lagi dua warna, bukan putih dan biru. Tetapi satu warna. Merah jambu.
Note: Cerpen ini menjadi Juara II lomba penulisan cerpen Kreskit (Kreativitas Kita) PBSI