Makalah Ulumul Qur'an


PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(Q.S.An-Nahl 89).
Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya. Firman Allah: Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52).
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara rinci pada bab-bab selanjutnya.


BAB I
ULUMUL QUR’AN


A.  Pengertian Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Berdasarkan pengertian di atas Ulumul Qur’an merupakan ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.

B.  Ruang Lingkup Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah : Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109).

C.  Sejarah Perkembangan Al-Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.



BAB II
AL-QUR’AN DAN KANDUNGANNYA


A.  Pengertian Al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi) Al-Qur’an merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a yang bermakna Talaa [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan. Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
Secara Syari’at (Terminologi) Al-Qur’an adalah kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

B.  Nama-Nama Al-Qur’an
1.        Al-Kitab = Tulisan yang Lengkap ( 2:2 ).
2.        Al-furqan = Memisahkan yang Haq dari yang Bathil ( 25:1 ).
3.        Al-Mau'idhah =Nasihat ( 10:57 ).
4.        Asy-Syifa' =  Obat ( 10:57 ).
5.        Al-Huda = Yang Memimpin ( 72:13 ).
6.        Al-Hikmah = Kebijaksanaan ( 17:39 ).
7.        Al-Hukmu = Keputusan ( 13:37 ).
8.        Al-Khoir = Kebaikan ( 3:103 ).
9.        Adz-Dzikru = Peringatan ( 15:9 ).
10.    Ar-Ruh = Roh ( 42:52 ).
11.    Al-Muthohharoh = Yang Disucikan ( 80:14 ).

C.  Garis-Garis Besar Kandungan Al-Qur’an
Di dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal berikut ini :
1.    Aqidah / Akidah
Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
2.    Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian "fuqaha" ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.
3.    Akhlaq / Akhlak
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
4.    Hukum-Hukum
Hukum yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam islam berdasarkan Alqur'an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat, mu'amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
5.    Peringatan / Tadzkir
Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa'id. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan balasan berupa nikmat surga jannah atau waa'ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam alquran atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambarang yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
6.    Sejarah-Sejarah atau Kisah-Kisah
Sejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lain ikibar.
7.    Dorongan Untuk Berpikir
Di dalam al-qur'an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan pemikiran menusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.



BAB III
WAHYU DAN PERMASALAHANNYA


A.  Pengertian Wahyu
Secara bahasa kata “wahyu” berarti “isyarat yang cepat, surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.
Sedangkan kata wahyu menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ialah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”. Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau yang digunakan oleh Alquran sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat diartikan sebagai “Pemberitahuan Tuhan kepada nabi/rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat.

B.  Macam-Macam Wahyu
Berkaitan dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, maka segala sesuatu yang disampaikan beliau kepada umatnya dalam kapasitas beliau sebagai rasul, adalah wahyu. Karena apa yang disampaikannya tidaklah lahir dari keinginan pribadinya, melainkan berupa wahyu yang diterimanya dari Allah. Seperti dalam firman-Nya: Artinya: Dan dia (Muhammad) tidak memngucapkan sesuatu yang keluar dari hawa nafsunya, melainkan (apa yang diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan Tuhan [Al-Najm/53: 3 – 4].
Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya dideskripsikan dalam tiga macam bentuk wahyu, yaitu: Alquran, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi.



C.  Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim
Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah agama”. Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalam Kitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.
Ilham dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim) terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.




BAB IV
ILMU NUZUL AL-QUR’AN


A.  Pengertian Nuzulul Qur’an
Nuzulul Qur’an merupakan permbahasan yang menunjukkan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an.

B.  Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun, yakni 13 tahun ketika Nabi Saw tinggal di Mekah dan 10 tahun ketika Nabi Saw di Madinah.
Turunnya al-Qur’an adakalanya hanya berupa ayat dari sebuah surat atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap hingga selesai semuanya diturunkan.
Ada dua cara pewahyuan Al-Qur’an, yaitu dengan cara sekaligus dan dengan beransur-ansur. Dua tata cara ini pada hakikatnya tidak bertentangan. Dikatakan sekaligus, yaitu proses pewahyuan pada tahap pertama dari Lauh al-Mahfuz ke bayt al-‘izzah di langit dunia. Sedangkan yang berangsur-angsur, ketika proses pewahyuan Al-Qur’an dari  bayt al-‘izzah kepada Nabi Muhammad Saw selama lebih kurang 23 tahun.

C.  Hikmah Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur-Angsur
-          Agar supaya mudah diingat
-          Agar supaya berkesan karena turunya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.





BAB V
PEMBUKUAN AL-QUR’AN


A.  Sejarah Pembukaan Mushaf Al Qur'an
1.    Sejarah Pembukuan Mushaf AI Qur'an pada Masa Rasulullah
Kita telah mengetahui Al-Qur'an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Rasulullah menerima A1-Qur'an melalui malaikat Jibril kemudian beliau, membacakan serta. mendiktekannya kepada para sahabat yang mendengarkannya.
Pada priode pertama sejarah pembukuan Al-Qur'an dapat dikatakan bahwa setiap ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur'an terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Qiyamah 17 :
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Ayat di atas memebrikan petunjuk kepada kita bahwa al-qur’an itu dijamin kemurniannya dan terpelihara serta terkumpul dengan baik sejak saat turunnya sampai sekarang ini. Pengumpulan ayat Al-Qur’an ini dibantu oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung dicatat pada plepah kurma, kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan. Kelompok pencatat Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi:
Artinya: Ambillah (pelajarilah) Al-Qur’an itu dari tempat orang (sahabatku): Abdullah ibnu Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal dan Ubay bin Kaab. (H.R Bukhari).
Tugas mencatat wahyu itu telah selesai semuanya menjelang wafatnya Rasulullah SAW. Semua naskah yang berserakan itu telah terkumpul dan terpelihara dengan baik, akan tetapi belum disusun dalam satu mushaf.



2.        Pembukuan Al-Qur’an masa Khulafaur Rasyidin
Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi khalifah beliau segera memerintahkan agar naskah yang tersimpan di rumah Rasulullah disalin dan disusun kembali. Pekerjaan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan meninggalnya 70 orang penghafal Al-Qur’an, dan setelah musailamah Al-Kazzab sebagai Nabi palsu dihancurkan. Gagasan mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar ibnu Khattab. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari penghafalnya yang telah gugur dalam pertempuran.
Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur'an baik yang terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur'an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur'an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Pada masa Urnar bin Khattab tidak ada lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan A1-Qur'an oleh karena itu pada masa ini Khalifah Umar menitik beratkan kegiatannya pada penyiaran agama Islam.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk Agama Islam. Maka timbul lagi persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-Qur'an Salah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang dari pertempuran. melaporkan kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat tentang qiraat (bacaan) Al-Qur'an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap kabilah mengaku bacaannya adalah Yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, sebelum terjadi pertengkaran tentang kitab suci Al Qur'an di antara mereka seperti yang terjadi pada orana Yahudi dan Nasrani tentang Taurat dan Injil. Usul itu segera diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk meminta mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak). Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri.
Demikianlah sejak saat itu mushaf Al Qur'an ter"ebut dinamai mushaf al Imam atau lebih dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.


BAB VI
ILMU ASBABUN NUZUL

A.  Pengertian Ilmu Asbabunnuzul
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Subhi Shalih
 “Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
4. Mana’ al-Qathan
 “Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.


A.  Cara Mengetahui Riwayat Asbab an-Nuzul
Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an.
Al-wahidi berkata:
“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.
Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “Beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.


BAB VII
ILMU NASIKH DAN MANSUKH

A.      Pengertian Nasikh dan Mansyukh
Pengertian nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta 'akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.
Berdasarkan pengertian ini, mereka mengartikan pengecualian (istitsna), syarat dan sifat sebagai nasakh, karena hal itu mengandung pembatalan yang zhahir dan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian, nasakh dalam pandangan mereka adalah penjelasan tentang maksud suatu dalil dengan tidak mempergunakan lafazh tersebut, akan tetapi dengan suatu perkara yang di luar itu. Orang yang mengamati pendapat mereka akan melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak terbatas, dan hilanglah macam-macam bentuk (rekaan) yang dituntut oleh karena diartikannya pendapat mereka pada istilah baru yang muncul kemudian.
Menurut Hisyam bin Hasan dari Muhammad bin Sirin bahwa Hudzaifah berkata, "Orang yang memberikan fatwa adalah salah satu dari 3 orang, yaitu:
Ø Orang yang mengetahui nasikh dan mansukh Al Qur'an,
Ø Penguasa yang tidak menemukan jalan lain, dan
Ø Orang bodoh yang mengada-ada. " [kami berpendapat bahwa golongan inilah yang membuat hancur umat islam, Admin Rumah Islam]
Selanjutnya Ibnu Sirin berkata, "Aku bukan salah seorang dari kedua yang pertama, dan aku tidak mengharapkan menjadi orang bodoh yang mengada-ada."
Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan di dalam bukunya Jami ' Fadhl Al Ilm : Khalaf bin Qasim menceritakan kepada kami, Yahya bin Rabi' menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hamad Al Mushishi mengatakan kepada kami, Ibrahim bin Waqid mengatakan kepada kami, Al Muthalib bin Ziyad mengatakan kepada kami, ia berkata, "Ja' far bin Husain (imam kami) menceritakan kepadaku, ia berkata, `Aku melihat Abu Hanifah dalam mimpi, dan aku berkata, 'Aim yang Allah lakukan terhadapmu, wahai Abu Hanifah?' Ia menjawab, 'Dia mengampuniku.' Aku bertanya lagi, Dengan ilmu?' Ia menjawab, `Alangkah berbahayanya fatwa-fatwa itu bagi pemiliknya'. Aku bertanya, `Lalu dengan apa?' Ia menjawab, Dengan perkataan manusia tentang aku yang tidak diketahui Allah bahwa itu adalah dariku."
Abu Umar mengatakan: Abu Utsman Al Haddad berkata, "Seorang hakim lebih mudah berbuat dosa dan lebih dekat pada keselamatan daripada seorang ahli fikih (maksudnya mufti), karena ahli fikih mengeluarkan apa-apa yang dimaksudkannya pada suatu saat dengan keterbatasan perkataannya, sedangkan hakim harus menentukan suatu keputusan dengan ketetapan yang pasti."
Ulama lain berpendapat bahwa seorang mufti lebih dekat pada keselamatan daripada seorang hakim, karena seorang mufti tidak menetapkan fatwanya, tetapi ia menyampaikannya kepada orang yang memerlukannya. Jika ia mau, ia dapat mempergunakannya dan dapat pula meninggalkannya. Sedangkan hakim, ia menetapkan suatu keputusan sehingga keberadaan hakim sama dengan mufti dalam hal menyampaikan suatu hukum. Tetapi, hakim berbeda dengan mufti dalam hal ketetapan atas keputusannya. Dari pandangan ini, keputusan hakim lebih besar bahayanya.




BAB VIII
ILMU MAKI DAN MADANI

A.  Pengertian Makiyah dan Madaniyah
Secara umum ilmu Makki dan Madani adalah ilmu yang membahas tentang ayat-ayat atau surat yang diturunkan di Mekkah atau di Madinah. Di kalangan para ulama terdapat beberapa pendapat mengenai definisi ilmu ini. Perbedaan tersebut mucul disebabkan berbedanya kriteria yang mereka pakai untuk menentukan definisi Makki dan Madani:
1.    Sebagian ulama mendefinisikan: makki adalah yang diturunkan di Mekkah walaupun turunya setelah Nabi hijrah dan Madani ialah yang diturunkan di Madinah
2.    Sebagian ulama mendefinisikan: makki adalah ayat atau surat yang khitabnya (sasarannya) diturunkan kepada penduduk Mekah, dan madani ialah kitabnya (sasarannya) yang ditunjukkan kepada penduduk Madinah.
3.    Sebagian ulama yang lain mendefinisikan : makki adalah yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah meskipun turunnya diluar daerah Mekkah, dan Madani ialah yang turun setelah nabi hijrah ke Madinah meskipun turunnya diluar daerah Madinah.

Dari ketiga definisi diatas definisi yang terakhir (ketiga) yang lebih populer dikalangan ulama dianggap sebagai definisi yang lebih tepat. karena defini tersebut dapat merangkum seluruh ayat dan surat Al – Qur’an.
B.  Perbedaan Makki Dan Madani
Untuk membedakan Makki dan Madani para ulama mempunyai 3 macam padangan yang masing – masing mempunyai dasar – dasar sendiri, yaitu :
1.    Dari segi turunnya
Makki adalah surah yang diturunkan sebelum Hijrah sekalipun bukan di Mekkah. madani adalah surah yang diturunkan sesudah Hijrah sekalipun bukan di Madinah. Surat yang diturunkan sesudah Hijrah sekalipun di Mekkahatau ‘Arafah adalah seperti yang diturunkan pada tahun penakhlukan kota  Mekkah. dalam surat An – Nisa’:58.
2.    Dari segi tempat turunnya
·      Makki adalah yang turun di Mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah
·      Madani adalah surah yang diturunkan di Madinah dn sekitanya, seperti uhud, Quba, dan Sil.

3.    Dari segi sasarannya
·           Makki adalah surah yang didalamnya terdapat seruan yang ditunjukkan kepada penduduk Mekkah, sedangkan
·           Madani yaitu surah yang didalamnya terdapat seruan yang ditunjukkan kepada penduduk Madinah.
Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa:
·      Ayat al – qur’an yang mengandung ya ayyuhan nas (wahai manusia) adalah makki, sedangkan
·      Ayat yang mengandung seruan ya ayyuhal lazina amanu ( wahai orang – orang yang beriman) adalah madani.
Namun melalui pengamatan cermat, tampak bgi kita bahwa kebanyakan surah Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satus seruan itu. dan ketentuan demikian pun tidak konsisten. Misanya, surah Al – Baqarah itu Madina, tetapi didalamnya terdapat ayat: “ya ayyuhannas” (an – Nisa). Surah Al – Hajj i ini makki, didalamnya terdapat juga : “ya ayyuha lazina amanu”.
Al – Qur’an Nul Karim adalah seruan ilahi terhadap semua makhluk, ia dapat saja menyeru orang yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya, begitu pula orang yang tidak beriman dapat diperintah untuk beribadah, sebagaimana orang yang beriman diperintahkan konsisten menambah ibadahnya.
C.  Contoh Surat Makki dan Madani:
Pendapat yang paling mendekati kebenarannya tentang bilangan surat-surat Makkiah dan Madaniah ialah :
Madaniyah ada 20 surat , yaitu:
1.      Al – Baqarah
2.      Ali – Imran
3.      An – Nisa’
4.      Al – Maidah
5.      Al – Anfal
6.      At – Taubah
7.      An – Nur
8.      Al – Ahzab
9.      Muhammad
10.  Al – Fath
11.  Al – Hujurah
12.  Al – Hadid
13.  Al – Mujadalah
14.  Al – hasyr
15.  Al – Mumtahanah
16.  Al – jumu’ah
17.  Al – Munafiqun
18.  Al – talaq
19.  At  - Tahrim
20.  An - Nasr
Makkiyah ada 83 surat yaitu:
1.      Al – an’am
2.      Al – a’raf
3.      Yunus
4.      Hud
5.      Yusuf
6.      Ibrahim
7.      Al – hijr
8.      An – nahl
9.      Al – isra’
10.  Al – kaff
11.  Mariam
12.  Taha
13.  Al – ambiyah
14.  Al – hajj
15.  Al – mu’minun
16.  Al – furqan
17.  Asy – asyra
18.  An – nahml
19.  Al – qasas
20.  Al – ankabut
21.  Ar – rum
22.  Lugman
23.  As – sajdah
24.  Saba’
25.  Fatir
26.  Yasin
27.  As – saffaat
28.  Sad
29.  Az – zumar
30.  Al – mukmin
31.  Fussilat
32.  Asy – syura
33.  Az – zukhruf
34.  Ad – dukhan
35.  Al – jasiyah
36.  Al – ahqaf
37.  Qaf
38.  Az – zariyat
39.  At – tur
40.  An – najm
41.  Al – waqi’ah
42.  Al – qamar
43.  Al - mulk
44.  Al – qalam
45.  Al – haqqah
46.  Al – ma’arij
47.  Nuh
48.  Al – jin
49.  Al – muzzamil
50.  Al – muddassir
51.  Al – qiyamah
52.  Al – insan
53.  Al – mursalat
54.  An – naba’
55.  An – nazi’at
56.  ‘abasa
57.  At – taqwir
58.  Al – infitar
59.  Al – masad
60.  Al – insyidar
61.  Al – buruj
62.  At – tariq
63.  Al – a’la
64.  Al – gasyiyah
65.  Al – fajr
66.  Al – balad
67.  Asy – syams
68.  Al – lail
69.  Ad – duha
70.  Alam – nasyrah
71.  At – tin
72.  Al’ala
73.  Al – adiyat
74.  Al – qari’ah
75.  At – taqasur
76.  Al – asr
77.  Al – ma’un
78.  Al – kausar
79.  Al – humazah
80.  Al – fil
81.  Quraisy
82.  Al - mutafifin



BAB IX
ILMU FAWATIUHUSSUAR


A.  Pengertian Ilmu Fawatiuhussuar
Secara bahasa, fawatih al-suwar adalah ungkapan bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan al-suwar. Fawatih merupakan bentuk jamak dari kata fatih, yang artinya pembuka. Sedangkan al-suwar merupakan bentuk jamak dari surah, yang artinya surah dalam Al-Qur’an. Dan jika digabungkan artinya menjadi pembukaan-pembukaan surah (Al-Qur’an).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fawatihu al-suwar merupakan kalimat atau kumpulan kata-kata maupun huruf-huruf yang menempati pembukaan surah-surah dalam Al-Qur’an.

B.  Macam-Macam Fawatihusssuar
Pembukaan-pembukaan surat ini dikategorikan kepada beberapa bentuk:
1.    Bentuk yang terdiri dari satu huruf. Bentuk ini terdapat pada tiga surat, yaitu surat Sad, Qaf, wa Al-Qalam. Surat pertama dibuka dengan Sad, kedua dengan Qaf dan ketiga dibuka dengan Nun.
2.    Bentuk yang terdiri dari dua huruf. Bentuk ini terdapat pada sepuluh surat . tujuh diantaranya disebut hawamim yaitu surat-surat yang dimulai dengan huruf Ha dan Mim. Surat-suratnya adalah surat Gafir, Fushilat, As-Syura, Al-Zukhruf, Al-Dukhan, Al-Jatsiyah, dan Al-Ahqaf. Khusus pada surat As-Syura.
3.    Pembukaan surat yang terdiri dari tiga huruf. Di antaranya dalam surat Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Ankabut, Ar-Rum, Luqman dan Al-Sajadah. Dan yang Lima huruf  yaitu pada surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim dan Al-Hijr. Dua susunan hurufnya  terdapat pada pembukaan surat As-Syura dan Al-Qashash.
4.    Pembukaan surat yang terdiri dari empat huruf, yaitu pada surat Al-A’raf dan pada surat Ar-Rad.
5.    Pembukaan surat yang terdiri dari lima huruf hanya satu, yaitu pada surat Maryam.
C.  Kedudukan Pembuka Surat Al-Qur’an
Menurut As-Suyuti, pembukaan-pembukaan surat (awail Al-Suwar) atau huruf-huruf potongan (Al-Huruf Al-Muqatta’ah) ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat lagi dalam memahami dan menafsirkannya. Dalam hal ini pendapat para ulama pokoknya terbagi dua. Pertama, kelompok ulama yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui Allah. As-Suyuti memandang pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar (terpilih). Ibnu Al-Munzir meriwayatkan bahwa ketika Al-Syabi ditanya tentang pembukaan-pembukaan surat ini berkata, artinya : “Sesungguhnya bagi setiap kitab ada saripatinya, dan sari pati Kitab (Al-Qur’an) ini adalah huruf-huruf ejaanya”.
Abu Bakar juga diriwayatkan pernah berkata, artinya : “Pada setiap kitab ada rahasia, dan rahasianya dalam Al-Qur’an adalah permulaan surat-suratnya”.
Kedua, pendapat yang memandang huruf-huruf di awal surat-surat ini sebagai huruf-huruf yang mengandung pengertian yang dapat dipahami oleh manusia. Karena itu penganut pendapat ini memberikan pengertian dan penafsiran kepada huruf-huruf tersebut.
Dengan keterangan di atas, jelas bahwa pembukaan-pembukaan surat ada 29 macam yang terdiri dari tiga belas bentuk. Huruf yang paling banyak terdapat dalam pembukaan-pembukaan ini adalah huruf Alif dan Lam, kemudian Mim, dan seterusnya secara berurutan huruf Ha, Ra’, Sin, Ta, Sad, Ha, dan Ya, ‘Ain, dan Qaf, dan akhirnya Kaf, dan Nun. Seluruh huruf yang terdapat dalam pembukaan-pembukaan surat ini dengan tanpa berulang jumlah 14 huruf atau separuh dari jumlah keseluruhan ejaan.




BAB X
ILMU Al-MUKAM DAN MUTASYABIH

A.    Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Secara bahasa muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan. Bisa bermakna, menolak dari kerusakan. Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman.
Mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar. mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha-yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah Swt.
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1.    Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya.
2.    Muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain.

B.    Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih:
1.     Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri. Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik yang berasal dari ulama mutaqaddimin.
2.     Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin.


BAB XI
I’JAZU QUR’AN


A.  Pengertian I’jazul Qur’an
I’jaz (kemukjizatan) adalah penetapan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan), yang dimaksud dengan i’jaz ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.

B.  Macam-macam I’jazul Qur’an
Dalam menjelaskan macam-macam I’jazil Qur’an para ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing, di antaranya yaitu:
1.    Dr. Abd. Rozzaq Naufal, dalam kitab Al-I’jazu al-Adadi Lil Qur’anil Karim menerangkan bahwa i’jazil Qur’an itu ada 4 macam, adalah sebagai berikut:
a.    Al-I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra Arab.
b.    Al-I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syari’at Islam.
c.    Al-I’jazul Ilmu yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
d.   Al-I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan segi quantity / matematis, statistik yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang.

2.    Imam al-Khotthoby (wafat 388 H) dalam buku al-Bayan fi I’jazil Qur’an mengatakan bahwa kemukjizatan al-Qur’an itu terfokus pada bidang kebalaghahan saja.
3.    Imam al-Jahidh (w. 255 H) di dalam kitab Nudzumul Qur’an dan Hujajun Nabawiyah serta al-Bayan wa at-Tabyin menegaskan bahwa kemukjizatan al-Qur’an itu terfokus pada bidang susunan lafal-lafalnya saja.
4.    Moh. Ismail Ibrahim dalam buku yang berjudul Al-Qur’an wa I’jazihi al-Ilmi mengatakan, orang yang mengamati al-Qur’an dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, baik ilmu-ilmu lama maupun ilmu-ilmu baru.

C.  Segi-Segi Kemukjizatan
1.    Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keseluruhan Qur’an, bukan dengan sebagiannya atau dengan setiap surahnya secara lengkap.
2.    Sebagian ulama berpendapat sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat berdasarkan firman Allah, yang artinya: Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.(QS. At-Thur: 34)
3.    Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.


BAB XII
MUNASABAH AL-QUR’AN


A.  Pengertian Ilmu Munasabah
Di sudut bahasa, al-munasabah berarti al-musyakalah (saling menyerupai) dan al-muqarabah (saling mendekati).
Di sudut istilah, al-munasabah berarti adanya keserupaan dan kedekatan di antara kalimah-kalimah, ayat-ayat dan surah-surah al-Quran yang membawa kepada wujudnya hubungan perkara-perkara tersebut. Hubungan tersebut samada berbentuk kaitan pada makna ayat-ayat seperti hubungan sebab dan musabbab, hubungan kesetaraan dan hubungan perlawanan. Al-Munasabah juga terdapat dalam bentuk penguatan, penafsiran dan penggantian.
Al-Munasabah antara kalimah-kalimah, ayat-ayat dan surah-surah al-Quran ialah: bentuk-bentuk pertautan dan keterikatan antara satu sama lain bersesuaian dengan susun atur bacaan dalam mushaf al-Quran.
Oleh itu, Ilmu al-Munasabah adalah suatu ilmu bagi mengetahui bentuk-bentuk susunan al-Quran dan ‘illah-‘illahnya.

B.  Dasar Pemikiran Munasabah:
Para ulama bersepakat bahawa susunan ayat-ayat Al Qur’an adalah tauqifi (berdasarkan petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun para ulama berbeda pendapat mengenai susunan surah-surah dalam Al-Qur’an. Mayoritas ulama berpendapat bahawa susunan surah-surah Al-Qur’an sebagaimana yang terdapat di dalam mushaf yang wujud sekarang adalah juga tauqifi. Asas pendapat ini ialah peristiwa kedatangan Jibril a.s. setiap tahun untuk memperlihatkan ayat-ayat al-Quran kepada baginda Nabi SAW. Termasuk yang diperdengarkan kepada Rasulullah SAW itu ialah susunan ayat-ayat dan surah-surahnya.
1.    Sebagian ulama juga berpandangan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an  adalah masalah ijtihadi. Pendapat ini berdasarkan beberapa alasan:
Mushaf pada catatan para sahabat tidak sama antara satu dengan lainnya.
2.      Sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan susunan surah yang terdapat dalam Al-Qur’an.
3.      Adanya perbedaan pendapat dalam masalah susunan surah Al-Qur’an ini membuktikan bahwa tidak adanya petunjuk yang jelas berkaitan susun atur yang dimaksudkan.
Selain itu, ada juga di kalangan ulama yang berpendapat bahawa sebagian susunan surah al-Quran ini adalah tauqifi dan manakala yang lainnya merupakan ijtihad dari Uthman Bin ‘Affan r.a. Pendapat ini mengemukakan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surah Al-Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagiannya diberikan oleh Nabi SAW, sedangkan yang lainya diberikan oleh para sahabat. Uthman pernah ditanya mengapa surah Al-Bara’ah (at-Taubah) tidak dimulai dengan basmalah. Beliau menjawab bahwa ia melihat isinya yang sama dengan surah sebelumnya, yakni surah al-Anfal.
Meskipun ketiga pendapat ini memiliki alasan dan hujah, tetapi hujah  yang dikemukakan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama.
Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagian surah adalah tauqifi dan selainnya ijtihadi tidak kuat.
Keterangan bahwa Nabi SAW tidak sempat menjelaskan letak surat al-Bara’ah sehingga Uthman menempatkannya sebelum surat al-Anfal adalah riwayat yang lemah.
Dari segi matan juga ia lemah kerana Nabi SAW wafat tiga tahun setengah setelah turunnya surah al-Bara’ah. Tentunya dalam tempo sepanjang itu tidak logis baginda SAW tidak sempat menjelaskan letak sebuah surah, sedang Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril sabagaimana riwayat yang sahih. Justeru itu, pendapat mayoritas ulama adalah lebih kuat daripada dua pendapat yang lain.
Bertitik tolak dari pendapat jumhur tersebut, dapat difahami bahwa petunjuk Rasulullah SAW tentang susunan ayat dan surah al-Quran itu tidak akan sia-sia. Ia tentunya mempunyai hikmah dan rahasia. Namun ilmu ini termasuk antara ilmu yang kurang mendapat perhatian dari para mufassir. Tidak kurang juga terdapat sebagian ulama yang menentang adanya ilmu ini. Justeru buku-buku Ulum al-Qur’an, jarang membahas topik ini. Ilmu al-Munasabah ini sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu yang rumit dan ia bersifat ijtihadi.

C.  Urgensi Mempelajari Munasabah
Pengetahuan tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufassir sangat penting. Antara lain:
1.    Membongkar makna yang tesirat dalam susunan dan urutan kalimah-kalimah, ayat-ayat, dan surah-surah Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an itu saling berhubungan dan tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan berkaitan satu sama lain.
2.    Memudahkan pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka. Antara kedua ayat tersebut terdapat hubungan penjelasan yaitu jalan yang lurus yang dimaksudkan adalah jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT.
3.    Mengukuhkan keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah. Meskipun Al-Qur’an yang terdiri dari atas 6236 ayat diturunkan dan ditulis di tempat, keadaan dan peristiwa yang berbeda, selama dua puluh tahun lebih, namun dalam susunannya mengandung makna yang mendalam berupa hubungan yang kuat antara satu bagian dengan bagian yang lain.
4.    Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an adalah tidak teratur. Contohnya surah al-Fatihah yang ditempatkan pada awal mushaf sehingga surah inilah yang pertama dibaca, sedangkan wahyu yang pertama diturunkan ialah lima ayat pertama surah al-Alaq. Nabi SAW menetapkan al Fatihah di awal mushaf disusul dengan surah al-Baqarah dan seterusnya. Setelah diteliti, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surah al-Fatihah mengandung asas-asas syariat Islam dan pada surah ini ada doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Dengan membuktikan munasabah tersebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an tidak asal-asalan atau tidak teratur, sebaliknya penyusunan itu mempunyai makna yang mendalam.
BAB XIII
TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH


Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”taf`íl”, berasal dari asal kata al-Fashr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan ”nasara-yansuru”. Dikatakan ”fasara (asy-syai`a) yafsiru” dan ”yafsuru, fasran”, dan ”fassarahu”, artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.
Dalam lisanul `Arab dinyatakan: kata kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik. Dalam al-Qur`an dinyatakan: (Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-nya) (al-Furqan [25]:33).
Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. Dalam al-Qur`an dinyatakan: “Suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang cara-cara menyebut lafal Al Qur-an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik secara ifrat, maupun secara tarkib dan makna-maknanya yang ditampung oleh tarkib dan yang selain itu, seperti mengetahui nasakh, sebab nuzul, dan sesuatu yang menjelaskan pengertian seperti kisah dan matsal (perumpamaan).”
Dalam pengertian istilah ahli tafsir, ada beberapa macam maknanya:
Ø Golongan mutaqoddimin memaknakan ta`wil dengan tafsir,
Ø Mujahid berkata : “Bahwasanya para ulama mengetahui ta`wil Al Qur-an, yakni tafsirnya. Ibnu Jarir pun mempergunakan kata ta`wil dalam arti tafsir.
Ø Sebagian lagi berpendapat lain bahwa tafsir berbeda dari ta`wil dalam segi umum dan khusus saja. Tafsir lebih umum daripada ta`wil. Dimaksud dengan ta`wil ialah menerangkan kehendak lafal atau petunjuk lafal kepada yang tidak segera ditanggapi.
Ø Tafsir ialah menetapkan dengan penuh keyakinan, bahwasanya demikianlah kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yang dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
Ø Tafsir ialah menetapkan dengan penuh keyakinan, bahwasanya demikianlah kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yang dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
Ø Ada yang mengatakan tafsir ialah menerangkan arti lafadz dengan jalan riwayat, sedangkan ta`wil menerangkan arti lafadz dengan jalan dirayat.
Ø Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperolehdengan jalan isyarat.
Ø Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperoleh dengan jalan isyarat.
Ø Makna inilah yang terkenal dalam kalangan mutaakhkhirin, seperti yang diterangkan oleh al-Alusyi dalam Tafsir Ruhul Ma`ani.
Ø Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperolehdengan jalan isyarat.
Ø Perlu ditandaskan bahwa pengertian ta`wil, menurut istilah mufassirin, adalah supaya tidak mencakup pengertian ta`wil menurut istilah mutakallimin. Menurut mereka, ta`wil bermakna: ”Memalingkan nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah yang mutasyabbihah, dari maknanya yang dhahir, kepda makna-makna yang sesuai dengan kesucian Allah dari menyerupai makhluq, yang berlainan dengan makna yang diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu menyerahkan pengertian-pengertian nash itu, kepada Allah sendiri tanpa menentukan sesuatu makna”.




Tafsir Tahlili
Tafsir Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelasakan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
Dalam metode ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per-ayat, surat per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu dengan yang lain, Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan lain-lain.
Ciri-ciri
Penafsiran yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi (pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan Asbab An-Nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabiin, Tabi Tabiin, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah antara ayat yang satu dengan yang lainnya.
Ciri lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan lain-lain.

Tafsir Ijmali
Tafsir Ijmali adalah menafsirkan Al-Qur an dengan cara menjelaskan maksud Al Qur an secar global, tidak terperinci sepert tafsir tahlili, (Hidayat, 1996: 191) atau menjelaskan ayat-ayat Al Qur-an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yang terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al Qur-an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan Al Qur-an padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.
Tafsir dengan metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yyang terkandung dalam Al Qur-an. Karena dengan metode tafsir ijmali, seorang mufassir berbicara kepada pembacanya dengan cara yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yang dapat menjelaskan arti ayat sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti yang dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami kandungan pokok Al Qur-an.
Ciri-ciri:
Penafsiran yang dilakukan terhadap ayat-ayat Al Qur-an, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dan kadangkala mufassir menafsirkan Al Qur-an dengan lafazh Al Qur-an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Al Qur-an dengan penyajiannya yang mudah dan indah. Metode tafsir Ijmali ini hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.

Tafsir Muqoron
Pengertian metode tafsir Muqoron adalah: 1) membangdingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur-an yang memiliki kesamaan redaksi dalam 2 kasus lebih, dan atau memiliki berbeda bagi satu kasus yang sama; 2) membandingkan ayat Al Qur-an dengan hadits yang pada lahirnya bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam menafsirkan Al Qur-an (Baidan 1998: 65)
Definisi di atas menunjukkan bahwa, penafsiran Al Qur-an dgm metode ini memiliki cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, tapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat.
Ciri-ciri:
Metode ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakannya dari metode lain yaitu membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, baik merka termasuk ulama salaf ataupun ulama hadits yang metode dan kecenderungan merka berbeda-beda, baik penafsiran merka yang berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rosulullah SAW, Sahabat atau Tabiin ( tafsir bil matsur) atau berdasarkan rasio, ijtihad (tafsir bil ray) dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam penafsiran Al Qur-an.
Mufassir dengan metode ini dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang mereka kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.

Tafsir Maudhu`i
Metode tafsir Maudhui / tematik adalah suatu metode penafsiran Al Qur-an dimana seorang mufassir mengkaji Al Qur-an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan dalam Al Qur-an, baik yang berkaitan dengan hal kehidupan, sosiologi, ataupan kosmologi (Muhaimin, 1994: 120) . Dalam metode ini, semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbaabun nuzul, kosa kata, dsb. Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ciri-ciri:
Sesuai dengan namanya, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah penonjolan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal (Baidan, 1998: 152)
Tafsir Maudhui mempunyai dua bentuk kajian yang menjadi ciri utamanya: Pertama, pembahasan mengenai satusurat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupadan diletakkan di bawah satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan secara Maudhui.
Kemudian untuk cara kerjanya (yang menjadi ciri khas metode ini) Abd al- Farmawi (1977: 52) merumuskannya sebagai berikut: (a) menetapkan masalah/tema yang akan dibahas; (b) menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; (c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; (d) memahami korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya masing-masing; (e) menyusun pembahasan dalam rangka yang sempurna; (f) melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok pembahasan; (g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian sama, atau mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang ”muqoyyad”, atau yang lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan.
Sedangkan perbedaan terjemahan dengan tafsir dan takwil adalah:
1.    Pada terjemah terjadi perpindahan bahasa dengan kata tidak ada lagi bahasa pertama yang melekat pada bahasa terjemah, tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan pada bahasa asalnya.
2.    Pada terjemah tidak boleh melakukan istidhrad yaitu penguraian yang meluas yang melebihi dari sekedar pemindahan bahasa, sedangkan tafsir boleh.
3.    Pada terjemah dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa yang diterjemahkan, tidak halnya demikian dengan tafsir.
4.    Pada terjemah harus diakui bahwa sipenterjemah sudah melakukan terjemahan,sejau ia telah berhasil memindahkan makna bahasa pertama kebahasa terjemah,sedangkan tafsir tidak.

B.       Contoh Tafsir Al-Matsur dan Al-Ra’y
Contoh Kitab-kitab tafsir bil-Ma’sur yang terkenal :
1). Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas.
2). Tafsir Ibn ’Uyainah.
3). Tafsir Ibn Abi Hatim.
4). Tafsir Abusy Syaikh bin Hibban.
5). Tafsir Ibn ’Atiyah.
6). Tafsir Abuk Lais Samarqandi, Bahrul Ulum.
7). Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal Bayan an Tafsiril Qur-an.
8). Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan fii Tafsiril Qur-an.
9). Tafsir Ibn Abi Syaibah.
10.) Tafsir al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil.
11). Tafsir Abil Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsirul Qur-anul Azhim.
12). Tafsir as-Salabi, al-Jawahirul Hisan fii Tafsiril Qur-an.
13). Tafsir Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durrul Mantsur fit Tafsiri bil Ma’sur.
14). Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.
Contoh Kitab-kitab Tafsir bir-Ra’yi yang terkenal :
1). Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam.
2). Tafsir Abu ’Ali al-Juba’i.
3). Tafsir ’Abdul Jabbar.
4). Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ’an Haqa’iqi Gawamidit.
5). Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib.
6). Tafsir Ibn Furak.
7). Tafsir an-Nasafi, Madarikul Tanzil wa Haqa’iqut Ta’wil.
8). Tafsir al-Khozin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil.
9). Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit.
10). Tafsir al-Baidawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil.
11). Tafsir al-Jalalain; Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti.


PENUTUP


Ulumul Qur’an merupakan ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas yang meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Di samping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1.    Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2.    Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.

Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
Mengenai cukup banyaknya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an maka ruang lingkup Al-Qur’an menjadi bervariasi, baik secara eksternal maupun internal. Secara internal, berhubungan dengan teks ayat seperti huruf, kalimat, ayat, surat, serta seluruh kegiatan dalam rangka pemahaman terhadap makna dan isi kandungannya. Sedangkan secara eksternal, berhubungan dengan Al-Qur’an, seperti: sejarah turunnya Al-Quran, pembukuan Al-Qur’an, penyeragaman bacaan Al-Quran, dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Djalal. 1997. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu.

Abdul Wahid Ramli. 2002. Ulumul Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Muhammad  Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Manna’ Khalil al-Qaththan. 1992. Study Ilmu-ilmu Quran. Cet. I (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.). Bogor: Litera Antar Nusa.

Muhammad Zaini. 2005. Ulumul Qur’an Suatu Pengantar. Cet. 1. Banda Aceh: Yayasan Pena.

Quraish Shihab, dkk. 2001. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rosihon  Anwar. 2000. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.

Shaleh. Asbabun Nuzul. Bandung: C.V Diponegoro. 1992

Subhi As-Shalih. 1985. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

21 April 2012, Pukul 16:17 WIB
By Jaimah
Jurusan Tarbiyah
Prodi PAI
STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa