Kita memasuki sebuah rumah. Terlalu asing. Rerumputan di sana sini. Setelah pintu terbuka dan ada sambutan senyum, semua asing telah runtuh. Ini kali pertama kita menyambangi seorang pelukis. Juga pertama kalinya aku menapakkan kaki dalam aroma cat air yang seperti wangimu.
Rumah yang agak berantakan. Namun aku suka. Aura yang tak berlainan dengan aroma rumah-rumah sastrawan yang sebelumnya telah kakiku pijak. Hah, khayalan itu mulai melambung. Tentang mimpi-mimpi. Ah, mimpi?
Di rumah melingkar bagian atas kutemui lukisan-lukisan abstrak namun menawan. Menilik bandrol harga, satu lukisan bisa mencapai 30 juta. Wah, bisa beli apa aja ya? Hahaha, kusematkan doa, semoga kelak kau juga akan menargetkan harga-harga yang dapat ditembus orang-orang. Misal ‘Kata yang Paling Sepi’ dalam barisan pohon hujau itu. Atau mungkin beberapa kaligrafi lukis yang kutunggu penyelesaiannya kemarin.
Selanjutnya kita menerobos sore, juga menembus rintik hujan. Aduh, ini lukisan ternyata lumayan berat. Belum lagi bertambah tiupan goyang angin kencang. Agak pegal, tak apa. Demi kamu, demi lukisanmu.
“Pokoknya aku mau punya suami pelukis!”
“Kalau aku pemusik.”
“Lihat deh, mbaknya tadi kayaknya bahagia banget punya suami pelukis.”
“Tapi pelukis yang tak banyak orderan akan banyak tidur menganggur di rumah. Nyebelin gak sih.”
“Ah, tak ada yang menyebalkan. Pokoknya pelukis ya. Rumahnya tadi romantis banget. Mungkin jika tak kandas, aku juga bisa menikmati sejenis rumah tadi. Rumah sastrawan yang mungkin lebih berantakan atau aneh. Tapi ngangenin.”
“Kamu ngomong apa sih?”
“Duh, aduh! Ini lukisannya BERAT!”
Ha ha ha, kemudian senja menyatukan derai tawa.
Adakah hal yang lebih menebalkan ketika malam-malam orang itu menyambangi mimpi kita. Ketika senyum beradu, kembali terjaga dan tak ada siapa-siapa. Ternyata kita sempat merasakan hal yang sama. Seistimewa apa mereka? bahkan tikam rajam jauh sudah meremas-remas jantung kita. Sampai ke ulu hati! Namun, jika bertatap muka seperti tadi, selalu berulang cerita yang sama. Mengapa seperti itu?
Setidaknya, aku bahagia menjadi bagian kenangan dalam buku yang sampai kusam kupegang, bolak-balik membaca sambil sesekali mata berkeringat menghasilkan sungai kecil di belantaran pipi. Aku menangisi. Tapi aku bahagia, karena menjadi satu dari kepingan istimewa itu. Sampai kini, aku masih menerima kedatangannya. Juga baju yang kemarin tertinggal. Masih setia kulipat bentuk biasanya. Belum beranjak aku pindahkan dalam tempat cucian. Aku menikmati baumu. Sungguh! Aku sepertinya sudah hampir gila.
Untuk mereka yang masih setia menyambangi mimpi-mimpi di antara pagi, untuk cinta yang masih bersemayam di sini. Meski musim telah berganti, cinta ini dengan sangat pasti masih sama. Jika aku bisa, akan kuukir dalam setiap helai daun jambu di depan kosmu dengan kata ‘rindu’.
Kutunggu makan malam kedua setelah hari kemarin. Setelah sebelumnya beberapa waktu yang lalu kita memutuskan menjadi bayangan. Bayang yang tak terkejar. Sekelumit doa, dalam rindu kita masih ada cinta.