Tentang Hari Leo AER dalam Ingatan Saya



Ini sudah lebih dari malam ketujuh. Namun di sana-sini masih saja membicarakan sosoknya. Memang, orang baik selalu dikenang.

Bukan hanya sekadar mulut-mulut yang berbicara ini itu, media massa tak kalah menuliskan berbagai macam. Sajak-sajaknya, juga keterlibatan dalam membesarkan sastra di kota budaya. Berbagai acara tak kalah diselenggarakan. Memperingati tujuh hari berpulangnya dan tak ketinggalan acara doa bersama yang diadakan beberapa teater yang pernah ia dampingi.

“Tulisan kamu sudah bagus, tinggal mematangkan. Ayo kirim. Masih sangat jarang cerpenis dari Gunung Kidul.”

Perbincangan yang sudah cukup lama di sebuah caffe sederhana, tak pernah terlupakan. Kira-kira sudah setahun lalu. Namun apa yang aku lakukan? Tak banyak perubahan dalam diriku, masih begini-begini saja. Belum jadi cerpenis ulung dari daerah asalku yang beliau sebutkan sebelumnya.

Ternyata, itu menjadi perbincangan terakhir yang hanya melibatkan aku dan beliau. Menyesal.

Bapak. Seperti itulah aku memanggilnya. Eh, bukan aku. Kami tepatnya. Kami yang pernah merasakan kenal setelah berjabat tangan meruntuhkan dinding-dinding asing. 

Aku memang tak mengenal secara dekat. Hanya jika bertemu, bersalaman selanjutnya tanya kabar itu saja. Bahkan aku yang kadang mlipir karena bingung ditanya tulisanku yang entah sampai mana tak juga berkembang membaik. Ah...

Berbeda dengan mereka yang banyak bercerita. Peranku di sini adalah sebagai pendengar. Di temaram lampu depan kampus dalam sebuah acara. Berteman segelas teh hangat dan beberapa teman yang menyulut api pada ujung rokok mereka. Cerita dengan lancar keluar dari mulut-mulut mereka. Hingga di bawah kaki-kaki debu reruntuhan rokok semakin banyak. Seiring banyak pula puntung rokok. Cerita masih tetap mengalir. Sampai-sampai aku lupa sudah terlalu malam.

Perduli. Mungkin itu yang sudah jarang dimiliki kebanyakan orang. Namun dalam diri beliau aku menemukan kepedulian yang sangat besar. Mendampingi beberapa teman latihan membaca puisi untuk Pekan Seni Mahasiswa Nasioanal. Juga yang tak terlupa mau membaca tulisan-tulisanku yang masih sangat biasa.

Belum lupa dalam ingatan ketika seorang dosen mengatakan jika ia menilai tulisan seseorang itu tidak pernah menyalahkan. Seperti yang beliau lakukan. Ada pula yang menilai perempuan cantik itu jika bisa membaca puisi. Intinya, kalau cantik tapi tak bisa baca puisi, perempuan itu batal dinyatakan cantik. Ya, seperti itu. mungkin aku termasuk salah satu perempuan yang amat sangat gagal dikatakan cantik tersebut. Karena aku tak bisa baca puisi.

“Dek, kemarin ikut melayat tidak?”
“Hah? Siapa yang meninggal?”
“Lho, aku kira kamu tahu, jadi aku nggak bilang.”

Kantuk tak jadi menguasaiku. Membiarkan telephon mendengung, aku termenung mengingat Lelaki Bermata Api.