Selamat datang bulan Oktober. Catatan ini telat sehari. Tak apa lah. Dengan siang yang terik, seperti dalam sauna yang sangat panas. Mau belajar masih enggan dan perut yang lapar sangat. Ah, butuh sekadar roti sepertinya, namun garangnya matahari menghalangi dan menulis ini ternyata tak sedikitpun mengurangi lapar. Aku sangat lapar!
Hari ini ada janji makan, tapi masih jam lima. Ah, betapa lamanya!
Beberapa hari lalu aku mencari sebuah tempat yang sebenanya sudah beberapa kali aku kunjungi, tak lama setelah patah hati dan di ruangan full AC itu mencoba menghangatkan tangan ‘orang itu’. Nah, untuk menuju jalan ke sana betapa susahnya. Memang, aku termasuk lemah dalam mengingat jalan menuju tempat atau tentang arah. Menanyakan jalan kepadaku sama dengan bertanya jalan buntu. Setelah berputar-putar akhirnya sampai juga. Syalala, walaupun salah dua kali. Dan bangunan ketiga adalah yang benar. Oh, betapa! *barusan perutku bunyi...
Membaca Si Parasit Lajang-Cerita Cinta Enrico-Pengakuan Eks Parasit Lajang. Mengenal (gaya banget) penulisnya ketika menjadi nama kelompok pas Makrab PBSI semester 1 dulu, lama ya. Aku binggung sih, tak ada pengetahuan tentang sastra dan mendapat nama itu. Lho, kok ada satu kata namaku ya? Tapi untungnya aku dan ia berbeda dalam tulisan. Hm, mungkin aku sedikit berlagak dengan membandingkan tulisan kami. Memang beda jauh. Aku bukan aliran feminis meski aku perempuan, meski aku pernah dicekoki aliran itu. Tapi aku lebih memilih jalur menulis yang katanya seseorang sangat lebay tapi di sisi lain digandurungi anak SMA. Yeah, biasanya mereka yang sedang patah hati. Entah kenapa ending sedih itu lebih menyenangkan dibuat, tapi untuk menjalani kesediahan itu sudah tak ingin lagi. Semoga.
Sering mengkhawatirkan tentang jodoh, jodoh berarti berhubungan dekat dengan pernikahan. Sangat bertolak belakang dengan tulisan di Si Parasit Lajang. Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi parasit lajang itu. Tinggal di rumah bersama orang tua, aman dengan menu makanan bervariasi tidak mumet dan tidak akan kelaparan seperti siang ini. Ya, menghitung hari untuk memasuki pintu parasit lajang. Kemudian dengan sangat senang ibuku berkata, “Selamat datang di rumah.” Dengan senyum dan tubuh yang sekarang sudah gemuk. Senang rasanya!
Nikah itu perlu, tapi tidak harus. Seperti itu aku menarik kesimpulan novel itu. Hm, begitukah? Sama saja dengan tak menikah tapi tetap kawin. Hadeh!
Cerita Cinta Enrico yang membuka beberapa rahasia lelaki yang tak sempat ku ketahui dan sekarang menjadi tahu. Dalam hati bilang, “Oh, bisa ya seperti itu.” Selebihnya tentang itu itu yang aku tak setuju karena sebuah larangan. Tiba-tiba mengingat seseorang yang dengan tiba-tiba juga menghilang. Begitukah kehidupanmu? Dan aku bergidik ngeri. Entah kenapa *pasang muka cool.
Pengakuan Eks Parasit Lajang baru satu bab selesai. Sengaja membatasi karena harus meluangkan waktu untuk menulis di sini dan belajar untuk ujian. Intinya tetap tentang meninggalkan. Aku tak sedang berbicara bahwa aku terperangkap dalam tokoh dalam novel itu, bukan juga berniat menyama-nyamakan yang ternyata sangat tak sama. Setidaknya penulisnya sukses karena bisa untuk bercermin. Setidaknya tempatku bercermin.
Ternyata meninggalkan juga mempunyai alasan klasik ya. Seperti misalnya ‘Lelaki itu harus lebih cerdas dari pada perempuan!” pengen rasanya tutupi muka sendiri karena kata-kata itu pernah menjadi alasan untuk menakhiri hubungan. Jurusan yang sama, kemudian sering membuatkan tugas. Yelah, ampun deh. Benar-benar jadi jelmaan seorang ibu yang selalu ngemong ternyata. Untung tak sampai tiga tahun. “Masa IPK tinggi perempuan dari laki-laki.” Ini lagi! ha ha ha, pengen rasanya ketawa. “Masa aku terus yang mimpin dan mengarahkan, bagaimana nanti? Kan Lelaki jadi pemimpin keluarga!” duh, kayak besok sore mau nikah aja ya. Asli, ketawa deh baca novel ini. Refleksi kata-kata cengeng yang sangat tidak dewasa. Dan pada akhirnya memang harus diakhiri ketika hubungan itu memang harus berakhir bukan?
Pernah dengan sangat bangga bilang bahwa “Aku sudah dewasa.” Karena gigi geraham tumbuh dan sakit sekali. Ternyata, dewasa itu tak cukup sampai pada urusan gigi, teman. Urusan emosi dan rasa iri juga mempengaruhi kedewasaan. Misalnya, sebal tak datang pada sebuah pertunjukkan karena menghindari bertemu dengan tokoh yang cantik (dan merasa kecantikannya tersaingi), juga pada sosok cantik yang ternyata sudah bekerja (sedang aku belum, itu artinya aku tertinggal selangkah, walaupun secara akademik tidak sih).
Tapi berbeda jika itu mengenai saudaraku. Aku senang jika ia sudah berpenghasilan, dan bisa menerima karena aku belum. Ini yang membuat aku ternyata belum dewasa. Untuk tokoh cantik itu aku tak bisa bilang, “Rejeki sudah ada yang ngatur.” seperti halnya aku mengatakan kepada saudaraku. Mengapa? Mungkin akan terjawab nanti jika gigi deraham bawahku juga tumbuh dan mengubah aku menjadi benar-benar dewasa *tak ada upacara kibasin jilbab sekarang.
Ah, catatan ini sudah seperti cerpen saja. Sayang, tak laku untuk dijual. Ha ha ha... (adakah yang mau membukukan catatan ini?). Ah, apa pula manfaatnya ya.
Ketika meninggalkan itu sama dengan berharap menemukan seseorang pengganti yang lebih baik. Untuk kecerdasan, IPK dan kemungkinan bisa memimpin keluarga sudah pernah dipertemukan. Namun hanya bertemu secara fisik dan binar mata. Masalah hati belum. Atau, jangan-jangan ia ingin seperi Enrico yang menikah secara agama setelah rambutnya menjadi abu-abu. Oh tidak! Itu sama dengan menunggu sepuluh tahun dari sekarang. Apakah dunia belum kiamat?
Selamat ulang tahun Octy Amelia.
Semoga panjang umur dan semakin didekatkan dengan cita-cita serta jodoh. Amiin...
Aku bukan satu dari sahabat-sahabatmu yang cantik dan modis itu sih. Hanya perempuan sederhana, biasa dan suka ngomel. Eh ya, suka ngeblock pertemanan juga di facebook.
Aku dan kamu adalah dua perempuan yang jika bertatap muka adalah menjadi Utami Pratiwi dan Octy Amalia yang tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki masa lalu bernama titik titik (mungkin titik titik ini bisa diisi dengan dua nama, oh betapa lucunya kisah ini).
Mari menyelesaikan semuanya, karena hidup itu bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan. Tak usah mengkhawatirkan jika aku akan menubruk masa depanmu, karena aku sudah (akan) menemukan masa depanku sendiri. Masa depanmu itu masa laluku *backsong-nya dangdut judul Masa Lalu.
Hilangkan satu nama dari daftar kekhawatiranmu (yaitu namaku), sesungguhnya kekhawatiran itu mempengaruhi raut wajah yang harusnya terlihat cantik menjadi tidak, yang seharusnya
menyenangkan menjadi menyebalkan, yang seharusnya tak mau ngrasani menjadi ngrasani.
Aku bukan malaikat tanpa dosa ya, karena aku adalah manusia. Jika tulisan-tulisan dulu pernah menyinggung, jika twitter dan facebook aku block, jika sms yang juga tak balas dan takku respon itu semata-mata karena aku tak mau kamu kepo dengan kehidupanku, dengan ceritaku mengenai masalalu yang sangat sering menjadikan kamu galau padahal aku sudah tak menyinggung lelakimu sedari lama sekali. Sesungguhnya galau itu penyakit yang kadang juga membuat sebal. Percayalah. Termasuk membuat sebal orang-orang yang (dulunya) mencintai dan berdiri di pihakmu. Semoga yang terlepas segera kembali dalam pelukan. Amiin...
Jika nanti kita bertemu, aku ingin menjadi aku yang bernama Utami Pratiwi dan kamu yang menjadi Octy Amelia tanpa ada embel-embel cerita masa lalu...
***
“Masih di J******?”
“Kok tahu?”
“Karena tadi aku datang.”
“Kenapa tak bilang?”
Mungkin penyesalan ketika malam-malam kutemui ruangan gelap, dan sore-sore kamu menemui pintu terkunci. Kemudian diam-diam terisak. Ini jelas bukan sikap dewasa perempuan yang telah tumbuh gigi gerahamnya. Tunggu telefon berikutnya untuk menyampaikan kabar gembira, Enrico yang belum berambut abu-abu.
#catatan siang tadi