Dasar-Dasar Pengetahuan

DASAR-DASAR PENGETAHUAN

1. PENALARAN
Menurut Andi Hakim Nasoetion, dalam sebuah ceramahnya di depan layar televisi, sekiranya binatang mempunya kemampuan menalar, maka bukan harimau jawa yangg sekarang ini akan dilestarikan supaya jangan punah, melainkan manusia jawa. Usaha pelestarian itu di pimpin oleh Menteri PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup) yang bukan bernama Emil Salim melainkan seekor harimau yang bergelar profesor. “Dengan cakarnya, dengan taringnya, dengan kekuatannya,” demikian kira-kira ujar ilmuwan yang penuh humor ini,” harimau adalah jelas bukan tandingan manusia.”
Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus-menerus dia dipaksa harus mengambil pilihan: mana jalan yang benar mana jalan yang salah, mana tindakan yang baik mana tindakan yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling kepada pengetahuan. (1)
(“bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan adam, tetapi buah alpukat...” taufiq ismail dalam sadjak ladang djagung (jakarta: budaja djaja, 1973), hlm. 54
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak. Seorang anak tikus tahu mana kucing yang ganas. Anak tikus ini tentu saja diajari induknya untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya. Tapi juga dalam hal ini, berbeda dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekadar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; manusia memberi makna kepada kehidupan; manusia “memanusiakan” diri dalam hidupnya; dan masih banyak lagi pernyataan semacam ini; semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekadar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya; dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja memberikan informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan gorila datang menyerang; namun bagaimana berkembang bahasanya, dia tidak mampu mengkomunikasikan kepada beruk-beruk lainnya, jalan pikiran yang analitis menggenai gejala tersebut. Tak ada seekor anjing pun, kata bertrand russell, yang berkata kepada temannya, “ayahku miskin namun jujur.” Kalimat ini berasal dari drama shakespeare yang terkenal. Dan tak ada seekor anjingpun, sambung adam smith, yang secara sadar tukar-menukar tulang dengan temannya. Adam smith dalam hal ini berbicara tentang prinsip ekonomi, yakni proses pertukaran yang dilakukan homo oeconomicus, yang mengembangkan pengetahuan berupa ilmu ekonomi.
Sebab kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berpikir namun tidak mampu berpikir nalar. Perbedaan utama antara seorang profesor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari pasir di playgroupnya tempat dia melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang jauh lebih peka dari instink seorang insinyur geologi; mereka sudah jauh-jauh berlindung ke tempat yang aman sebelum gunung meletus. Namun binatang tak bisa menalar tentang gejala tersebut; mengapa gunung meletus, faktor apa yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah semua itu terjadi.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komukatif dan pikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari penalaran. Manusia bukan semata-mata makhluk yang berpikir; sekadar homo sapiens yang steril. Manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, mengindera; dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut; disamping wahyu; yang merupakan komunikasi sang pencipta dengan makhluknya.
“memang penalaran otak orang luar biasa,” simpul cendekiawan bos bubalus membacakan makalahnya (di klinik fakultas kedokteran hewan, jalan taman kencana, bogor), “meskipun penelitian kami menunjukkan, bahwa secara kimia dan fisika, otak kerbau mirip otak manusia....” (2)
Jadi otak taufiq ismail, yang pernah menghuni taman kencana, enak juga di goreng kalau begitu.
(Taufik ismail, “kisah felis, capra dan bos,” (felis catus adalah kucing; capra aegagrus adalah kambing; bos bubalus adalah kerbau) dalam taufik ismail membaca puisi. Taman ismail marzuki 30 dan 31 januari 1980. Hlm 10
2. HAKIKAT PENALARAN
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang di dapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun seperti dikatakan pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyadarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai “karakteristik tertentu” dalam menemukan kebenaran.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan  berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini patut kita sadari bahwa berpikir logis itu mempunyai konotasi yang bersipat jamak (plural) dan bukan tunggal (singular) suatu kegiatan berpikir bisa disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila di tinjau dari sudut logika yang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa yang dapat kita  sebut sebagai kekacauan penalaran yang disebabkan oleh tidak konsistennya kita dalam menggunakan pola berpikir tertentu.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandangkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Seperti kita sebutkan terdahulu tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan diri pada penalaran. Berdasarkan kriteria penalaran tersebut di atas maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berpikir bersifat logis dan analitis. Atau lebih jauh dapat kita simpulkan; cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka kita dapat membedakan secara garis besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan berpikir yang bukan berdasarkan penalaran.
Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpamanya adalah intuisi.intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Berpikir intuitif ini memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berpikir nonanalitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi secara luas dapat kita katakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikategorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa menalaran dan cara berpikir yang nonanalitik yang berupa intuisi dan perasaan.
Disamping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yakni wahyu. Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan dua jenis pengetahuan, yang pertama adalah pengetahuan yang di dapatkan sebagai hasil usaha yang aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik melalui penalaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Dipihak lain terdapat bentuk pengetahuan yang kedua, yang bukan merupakan kebenaran yang didapatkan sebagai hasil usaha aktif manusia. Dalam hal ini maka pengetahuan yang di dapatkan itu bukan berupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berupa pengetahuan yang ditawarkan atau diberikan, umpamanya wahyu yang diberikan tuhan lewat malaikat-malaikat dan nabi-nabinya. Manusia dalam menemukan kebenaran ini bersifat pasif sebagai penerima pemberitaan tersebut, yang kemudian dipercaya atau tidak dipercaya, berdasarkan masing-masing keyakinannya.
Pengetahuan juga dapat kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi, maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu (atau dalam hal ini tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan itu adalah benar demikian juga dengan intuisi, dimana kita percaya bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berpikir intuitif tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu. Jadi dalam hal ini bukan saja kita berbicara mengenai. Pola penemuan kebenaran melainkan juga sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari  sumber kebenaran tertentu.
Dalam hal penalaran maka kita belum berbicara mengenai materi dan sumber pengetahuan tersebut, sebab seperti kita katakan terdahulu, penalaran hanya merupakan cara berpikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus di isi dengan materi pengetahuan yang berasal  dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang di pergunakan dalam penalaran pada  dasarnya  bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudia disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka yanng menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Penalaran yang akan dikaji dalam studi ini pada pokoknya  adalah penalaran ilmiah, sebab usaha kita dalam mengembangkan kekuatan penalaran merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi. Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif, dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme, dan penalaran induktif dengan empirisme. Oleh sebab itu maka dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah kita terlebih dahulu harus menelaah dengan seksama penalaran deduktif dan induktif tersebut. Setelah itu akan ditelaah bermacam-macam sumber pengetahuan yang ada yakni rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Pengetahuan mengenai hakikat hal-hal tersebut memungkinkan kita untuk menelaah hakikat ilmu dengan seksama.


3. LOGIKA
Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah, seorang peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu mabuk. Untuk itu  dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur berbagai minuman keras. Mula-mula dia mencampur air dengan wiski luar negeri yang setelah dengan habis diteguknya maka diapun terkapar mabuk. Setelah siuman dia mencampur air dengan TKW, wiski lokal yang diminum di pinggir jalan sambil mengisap kretek, ternyata campuran inipun menyebabkan dia mabuk. Akhirnya dia mencampur air dengan tuak yang juga, seperti kedua campuran terdahulu, menyebabkan dia mabuk. Berdasarkan penelitian itu maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk. Benar-benar masuk akal, bukan, namun apakah hal itu benar.?
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan ini disebut logika,  dimana logika  secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”. (1)
( william S. Sahakian dan mabel lewis sahakian, realism of philosophy (cambridge, mass.: schenkman, 1965), hlm.3.
 Terdapat bermacam-macam  cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya terdapat dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikannya kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan di pihak lain, kita mempunyai logika deduktif, yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
Induksi merupakan cara berpikir dimana di tarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Katakanlah umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, demiikian juga dengan singa, kucing, dan berbagai binatang lainnya. Dari kenyataan-kenyataan ini kita dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum yakni semua binatang mempunyai mata. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya sebab mempunyai dua keuntungan. Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak dan segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta melainkan esensi fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar yang menyangga ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak bisa memproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi atau pahitnya sebutir pil kina. Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoretis.
Keuntungan yang kedua dari  pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan umum lagi. Umpamanya melanjutkan contoh kita terdahulu, dari kenyataan bahwa semua binatang mempunyai mata dan semua manusia mempunyai mata, dapat di tarik kesimpulan bahwa semua makhluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang di dapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat membuat silogismus sebagai berikut:
Semua makhluk mempunyai mata                                              (premis mayor)
Si polan adalah seorang makhluk                                                  (premis minor)
Jadi si polan mempunyai mata                                                       (kesimpulan)
Kesimpulan yang di ambil bahwa si polan mempunyai mata adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini di tarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka hal ini harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya adalah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulan adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketetapan penarikan kesimpulann tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang ditariknya adalah salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi secara matematik adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi matematik seperti a sama dengan b dan bila b sama dengan c maka a sama dengan c merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakikatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekadar konsekuensi dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa a sama dengan b dan b sama dengan c. Tak pernah ada kejutan dalam logika, simpul wittgenstein, sebab pengetahuan yang diperoleh adalah kebenaran tautologis.(2) Namun benarkah ulangan matematika tak pernah menimbulkan suprise; seperti pertanyaan taufiq ismail dalam sajak ladang jagung; bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi  empat? (3)
(2) ludwig von wittgenstein, tractatus logico philosophicus (london:routledge dan kegan paul, 1972), hlm.129
(3) taufiq ismail, loc.cit.
4. SUMBER PENGETAHUAN
De omnibus dubitandum! Segala sesuatu harus diragukan desak rene descartes. Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu, bahkan juga hamlet si peragu, yang berseru kepada ophelia: (1)
(1)doubt thou the stars are fire;
Doubt the sun doth move;
Doubt truth to be a liar;
But never doubt i love.
(william shakespeare, hamlet, babak II, adegan 2)
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api;
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta;
Tapi jangan ragukan cintaku.
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang di anggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan: bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya di dapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang di dapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan  bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan prepengalaman yang di dapatkan manusia lewat penalaran rasional.
masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. ide yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan  sistem pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang bagi si B  evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakenya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat  dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistik (2) dan subyektif.
(2)hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir tersebut.
Berlainan dengan kaum-kaum rasionalasis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan di dapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang konkret gejala-gejala alamiah menuurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra manusia gejala itu kalau kita telah lebih lanjut mempunyai karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda dapt kalau di panaskan akan memanjang. Langit mendung di ikuti dengan turunnya hujan demikian seterusnya dimana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Disamping itu kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan umpamanya saja bermacam-macam logam kalau kita panaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita  untuk melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gajala fisik yang bersifat individual.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis; kecuali kalau dia hanya “ seorang kolektor barang-barang serbaneka”)(3). Lebih jauh einstein mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu).(4)
(3) harold A. Larrabee,reliable knowledge (boston: houghton miflin, 1964).
(4) albert einstein, “physic and reality”, journal of franklin institute, 222 (1936,), hlm.348-389.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh panca indra. Hal ini membawa kita kepada dua mmasalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata, umpamanya rambut kering dan inteligensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan antara dua fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan ineligengsi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas sekiranya kita mendapatkan tidak bagaimana sekiranya penalaran induktif membuktikan sebaliknya? Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta dikala nyata sebagaimana kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemkan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakah yang sebenarnya dinamakan pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera? Ataukah persepsi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata maka seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindera tersebut?
Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawab yang meyakinkan mengenai hakikat pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai pancaindera manusia ini bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting bagi pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang bisa kita lihat sehari-hari ialah tongkat lurus yang sebagai terendam didalam air ikan kelihatan menjadi bengkok haruslah kita mempercayai hal semacam ini sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan?
Disamping rasionalisme dan empirisme masih dapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang di dapatkan secara rasional maupun secara empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai disitu. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa juga, intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak ada waktu orang tersebut secara sadar sedang mengalutnya. suatu masalah sedang kita pikirkan, yang kemudian kita pindah karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul dibenak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa mungkin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai kesana.
 Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak bisa di andalkan pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis sebagai analisis selanjutnya dalam menentukan benar  tidaknya pernyataan yang ditemukannya. kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dan menemukan kebenaran. Bagi maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak eksperience)(5) sedangkan bagi nietzsche merupakan inteligensi yang paling tinggi (6).
(5) dikutip dalam stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, invitation to Philosophy (belmont, cal.: wadsworth, 1968), hlm.72.
(6) dikutip dalam george F. Kneller, introduction to the philosophy of education (new york: john wiley, 1969), hlm.10.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang di utusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Kepercayaan kepada tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara Dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan Pengetahuan ini. Kepercayaan  merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus di percaya untuk dapat diterima: pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Dipihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama di mulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.
5. kriteria kebenaran
Seorang anak kecil yang baru masuk sekolah, setelah tiga hari bersekolah, setelah tiga hari berselang, mogok tidak mau belajar. Orang tuanya mencoba membujuk dia dengan segala macam daya dari iming-imingan gula-gula sampai ancaman sapu lidi, semuanya sia-sia. Setelah didesak-desak akhirnya dia berterus terang, bahwa dia sudah kehilangan hasratnya untuk belajar, sebab ternyata ibu gurunya adalah seorang pembohong.
“coba ceritakan bagaimana dia berbohong,” pinta orang tuanya sambil  tersenyum.
“tiga hari yang lalu dia berkata bahwa 3+4=7. Dua hari yang lalu dia berkata 5+2=7. Kemarin dia berkata 6+1=7. Bukankah semua ini tidak benar?”
Permasalahan sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut teori kebenaran. Apakah persyaratannya agar suatu jalan pikiran menghasilkan kesimpulan yang benar?
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang di anggapnya benar, termasuk anak kecil kita tadi, yang dengan pikiran kekanak-kanakannya mempunyai kriteria kebenaran tersendiri. Bagi kita tidak sukar untuk menerima kebenaran bahwa 3+4=7; 5+2=7; dan 6+1=7; sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa ketiga pernyataan tersebut adalah benar. Mengapa hal ini kita sebut benar? Sebab pernyataan dan kesimpulan yang ditariknya adalah konsisten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar.
Teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria tersebut di atas di sebut teori koherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan di anggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si polan adalah seorang manusia dan si polan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisiten dengan pernyataan yang pertama.
Matematika ialah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang di anggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun suatu teorema. Di atas  teorema maka di kembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427-347 S.M.) dan aristoteles (384-322 S.M.) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.
Paham lain adalah kebenaran yang berdasarkan kepada teori korespondensi, dimana eksponen utamanya adalah bertrand russell (1872-1970). Bagi penganut teori kerespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang mengatakan bahwa “ibu kota republik indonesia adalah jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni jakarta yang memang menjadi ibu kota republik indonesia. Sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa “ibu kota republik indonesia adalah bandung” maka pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “ibu kota republik indonesia adalah bukan bandung melainkan jakarta.”
Kedua teori kebenaran ini yakni teori koherensi dan teori korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoretis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta- fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran yang lain yang disebut teori kebenaran pragmatis.
Teori pragmatis dicetuskan oleh charles s. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “how to make our ideas clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah william james (1842-1910), john dewey (1859-1952), george herbert mead (1863-1931) dan C.I. lewis.
Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu di anggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kriteria kebenaran sebagaimana disebutkan di atas. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang di anggapnya fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah.(1) Kriteria pragmatisme ini juga di pergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis maka pernyataan ini ilmiah yang sekarang di anggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat pragmatis: selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu di anggap benar: sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Pengetahuan ilmiah memang tidak berumur panjang. Seperti diungkapkan sebuah pengumpulan pendapat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang partikel takkan berumur lebih dari empat tahun. Untuk ilmu-ilmu lainnya yang agak kurang berhasil dalam menentukan hal-hal yang baru, seperti embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas tahun. (2)
(1)    demikian juga kaum pragmatis percaya kepada agama sebab agama bersifat fungsional dalam menemukan konsensus masyarakat.
(2)    Joseph j. Schwab. The teachine of science as enquiry (cambridge: harvard. University press, 1962). Hlm.20