Selamat malam, cie yang udah dilepas tadi siang menjelang sore. Jadi berasa berkhianat sama KTP, SIM dan sebagainya yang menuliskan ‘pekerjaan: mahasiswa’ hohoho... Masukkan lamaran dan CV. Bismilah diterima, biar lebih lama di kota ini, di kotamu meski entah kapan kamu akan kembali ke seberang sana, pulau kecil kaya timah.
Melihat wajah-wajah.
“Selamat ya, maaf kalau aku ada salah.”
Ucapku kepada seorang perempuan imut dan cantik (dulu sekali aku khawatir dengan orang ini yang akan merebut kekasihku, dan ternyata tidak. Tuhan, aku bersalah dengan orang ini. Sangat bersalah. Maaf ya teman).
Baca status teman yang mengatakan tentang empat tahun lalu dengan pakaian putih hitam berteman atribut ospek, wajah polos atau malah alay, penuh tanda tanya, penasaran, bingung, dan muda. Lalu, siang menjelang sore tadi berubah menjadi manusia baru. Pakaian batik necis, sepatu mengkilap, atau sepatu ‘tak tik tuk’ menyulap tubuh pendek menjadi lebih pantas dipandang (nunjuk diri sendiri), wajah-wajah cantik, tampan, heboh, menor (bahkan ada yang sangat khusus menyiapkan penampilan (look at me, dengan gaya anak kuliahan saja cukup), wangi, dan tua (atau menyebutnya lebih halus dengan kata dewasa).
“Ke sini lah wi.”
Ada kebimbangan menentukan langkah. Tak selamanya arah kanan itu lebih baik dari pada arah kiri. Arah kiri untuk teman-teman yang ramai berfoto untuk kenangan, sedang arah kiri menghampiri masa lalu. Aku menolak kanan.
“Be, selamat ya sudah lulus. Maaf ya kalau ada salah. Terima kasih sudah memberi warna dalam hidupku.” Send...
Tak ada air mata. Apa yang ditangisi? Malah aku bingung melihat temenku yang pada nangis. Hey, mari bahagia meninggalkan The Orange guys, mari bahagia melepasnya. Kita dipertemukan untuk dipisahkan, jadi kenapa? Nanti toh kita akan menemukan hal yang baru-baru, memperluas apa yang sebelumnya belum kita tahu. Melepas yang sudah-sudah.
Dan pada saatnya ada dering sms.
Dalam setiap lembar cerita ini, akan banyak lompatan-lompatan, banyak orang-orang yang peralihannya semauku. Ini ceritaku.
“Jika nanti kita tlah hidup masing-masing, ingatlah hari ini.”
Ini kenangan, jika hari ini pernah ada. Kadang sekian lama aku menulis, bahkan tak percaya itu adalah tulisanku. Apa masalahnya jika apa yang ada dalam memori kuceritakan. Yang sakit hati tak perlu membaca.
“Penulis yang berhasil itu, yang mampu membuat pembaca menempatkan dirinya dalam tulisan yang ia baca.”
Apakah aku berhasil?
*dan bahkan lebih dari satu orang yang menggrebegku.
Maaf, jika tokoh-tokoh dalam tulisan ini tidak dengan nyata aku tuliskan namanya, bagiku itu rahasia antara aku dan tulisanku. Karena kami menginginkan hubungan yang mesra, yang tidak perlu diumbar tentang si anu si itu. Kalau satu dua aku pernah menyebutkan nama itu, ya karena memang buat orang itu dan aku merasa tidak kehilangan mesra dengan tulisanku.
Hidup sudah cukup susah, jangan ditambah susah dengan berbagai prasangka. Aku bahagia dengan mencintai diam-diam (atau sebenarnya dalam diamku pun diketahui). Aku mencintai kenanganku, dengan siapapun itu.
Tak perlu konfirmasi di sini.
“Hey, kamu baca semua tulisanku?”
“Iya, kenapa? Itu kan terserah aku, toh bukan buku diary macam SMP dulu yang perlu dirahasiakan.”
“Aku malu.”
Jadi, sah sah saja untuk membaca, untuk menilai, untuk menempatkan diri, untuk menduga, untuk berprasangka, untuk bahagia, untuk sedih, untuk sakit hati. Yang tidak sah adalah menyarankanku untuk berhenti. Ini jalanku.