Mungkin,



“Tak selamanya pelarian itu jelek.”
“Hus, jangan bilang ‘jelek’ nanti dimarahi sama kaca mata itu.”
“Iya juga. Coba ya, kalau misalnya kamu nggak putus sama mantanmu itu.”
“Yelah, udah dibilang putus, mantan pula.”
“Hehe, pasti kamu nggak bakalan seperti sekarang. Pasti hari-hari kamu cuma buat jalan bareng dia terus. Makan, jalan ke alun-alun, main kembang api, kue pukis, jenang...”
“Stop!”
“Ssttt, gara-gara aku bilang mantan, aku di marah sama si temen deketnya. Aku jadi galau.”
“Lebay!”
“Kamu juga. Coba kamu nyerah gitu aja. Gak berlari. Pasti kamu gak bakalan merasakan tanggung jawab yang lebih dari pada seorang anggota. Bisa memimpin, tanggung jawab yang besar loh. Nah, itu juga kamu dapat dari pelarian.”
“Pelarian juga bisa bikin kurus loh.”
“Itu lari-lari deh kayaknya.”
“Ada juga yang bikin lelah.”
“Apa?”
“Memikirkan dia yang selalu berlari-lari di otak akuh.”
“Alay!”
“Setelah ini kamu akan lari kemana?”
“Aku masih jalan di tempat. Anak tangga yang sama dan belum beranjak.”
“Kamu bahagia?”
“Mendengar suaranya, diajakin bertemu, dan saat itu aku sedang bisa, rasanya bahagia. Sampai lupa rasa lapar.”
“Aku aja yang makan pakai dua sendok tanpa garpu biasa aja tuh.”
“Tapi gegara kalian foto bareng, kameramu rusak tuh.”
“Oh, jangan ingatkan itu!”
“Selamat ya, kamu berdamai dan bahkan berfoto dengan mantan ketika memakai toga. Akhir yang bahagia.”
“Bukan, ini justru menyedihkan.”
“Mungkin saja memang sudah dicatat kalau kalian itu berjodoh.”
“Jodohmu siapa?”
“Entahlah.”

Dan ketika sore tadi aku melihat cengkrama keponakan dengan ayahnya. Lucu. Apakah aku masih takut mempunyai anak? Atau aku bahagia karena menemukan lekuk wajah yang menyerupaimu?
Ini angka 17. Kapan ada waktu buatku? Jangan madu lagi ya. Yang kemarin belum ku buka. Itu madu cinta. Juga jangan cokelat. Karena aku mempunyai stok cokelat yang banya. Kamu mau? 

Menilik catatan November tahun lalu. Mungkin seharusnya aku masih duduk menikmati rintik hujan. Aku tak menerima payung darimu. Aku melihat punggungmu yang membawa payung. Mungkin seharusnya seperti ini. Mungkin...

Aku tak harus mencintaimu sedalam ini.


Sepertinya, aku masih ingin duduk-duduk menikmati hujan dalam kesendirian. Kamu yang kemarin lalu menawarkan payung, dengan penuh senyum aku hanya menganggukkan kepala, itu adalah caraku membalas sapa, tapi hanya sebatas itu.
Dari tempat dudukku kini, aku ingin melihat punggungmu yang meninggalkan aku bersama payungmu untuk menjemput orang lain. Aku akan tersenyum bahagia jika besok, lusa, atau kapanpun kamu segera menemukannya.