Menjelang sore itu, hujan turun satu-satu. Masih banyak sisa-sisa keramain dari para ‘pendemo’ yang mulai meninggalkan sebuah tempat yang mungkin saja nantinya bisa menjadi sejarah. Pulang. Eh bukan, setidaknya kata ‘makan’ adalah yang terlintas setelah menjalani serangkaian acara dari jam 7 sampai jam 1. Sungguh, telingaku sangat pegal terhimpit jilbab. Memang, untuk terlihat cantik itu perlu pengobanan. Sakit salah satunya. Oh ada lagi, kata lainnya yang penting adalah ‘kamar mandi’. Kebelet pipis setelah dari jam 6.
Dalam perjalanan itu, aku teringat satu orang. Astaga! Kenapa terlupa. Awalnya sudah ingat. Meninggalkan gedung yang pertama itu, ada pikiran pasti bahwa dia sudah menunggu. Setelah keramain mencari dan melihat lautan manusia seperti pendemo, semuanya jadi hilang. Lupa. Tak ingat.
Ternyata, aku tanpa kehadiran kamu tetap hidup. Aku bersanding dengan teman-temanku tetap nyaman. Aku bahagia bersama mereka dan melewati waktu dengan cepat. Aku, baru sadar. Ternyata bisa tanpa kamu.
“Sekarang dimana?”
“Udah mau pulang.”
“Aku mau di kampus.”
“Oh, ya udah kalau gitu. Nanti aku saja yang datang.”
“Selamat yah.”
Setelah mendengar itu, aku baru merasa kecewa. Jika kamu akan datang, aku akan menunggu sampai kita bertemu. Tak perdulu banyaknya waktu. Mungkin ini yang menjadikan aku cerdas tapi bodoh.
Setidaknya, aku sudah mengingatkan hari yang bersejarah tapi ternyata ribet ini. Sesuai janji. Karena pada dasarnya aku bisa menepati janji.
Kemudian ada pertanyaan tentang janji ini buat siapa. Yuk, duel lagi!
***
Aku takut punya anak. Takut dia akan sepertiku, yang mencintai lelaki hingga tak masuk akal. Aku takut punya anak. Takut dia mempunyai karakter sepertiku, yang masa bodoh dengan cintanya kepada laki-laki. Aku takut punya anak yang nantinya sepertiku.
Oke, kita bercinta sampai di mana sayang?