Dear,
Aku sedang berada pada titik tertinggi. Sendiri. Tubuh terombang-ambing angin. Sudah kali keberapa aku lupa. Mengingatmu. Kapsul Cinta, sebutmu dulu.
Dari titik ini, aku melihat lalu lalang orang. Di bawah sana. Pasar malam yang menumpahkan semua orang dalam satu tempat. Semuanya tertawa, mungkin hanya aku yang sendu.
Masih Desember. Sudah setahun bukan? Tentunya kamu ingat benar. Ah, angin kembali mendekat, seperti sebuah baju yang memelukku, menutup kancingnya satu-satu. Namun bukan hangat yang kurasa.
Dalam kapsul cinta hubungan kita, tiba-tiba saja angin datang bersama halilintar. Gemuruh yang membawa turun hujan. Sebentar, kemana mentari bulan Desember? Aku ingin melihatnya walau tak lama. Meredakan gaduh gemuruh dalam dada.
“Untuk memiliki pelangi, kamu harus mempunyai hujan,” katamu.
“Hm.”
“Pelangi selalu datang setelah hujan reda. Lengkung itu menjadi jalan para bidadari yang turun dari khayangan. Jelas, mereka juga ingin merasakan dingin air yang sebelumnya dibawa hujan. Melebur, meluber,” jelasmu.
Kamukah hujan itu? yang datang menggiring para bidadari. Ataukah pelangi? yang menjadi jalan para bidadari? Jelas aku tak akan memberikan pilihan mentari. Toh, sinarmu tak mampu mengeringkan atau bahkan menahan hujan lain yang lebih dulu bermuara pada mata.
“Bidadari mana yang akan kamu pilih?”
Aku ingin mengusir angin, agar hangat melekat dalam tubuhku. Aku ingin mempunyai hujan, agar bisa memiliki pelangi.
Jika saja, antara hujan dan pelangi itu, kamu memilih yang kedua.
Ah, masih Desember. Melangkah dari kapsul bianglala ini bukan berarti keluar dari kapsul cinta buatanmu.
Takdir mempertemukan, tapi tak menyatukan.