Memujamu


ingatkah ini?


Dua tahun sudah. Pada tempat yang sama, namanya mengukir sejarah lagi. Dulu adalah malam-malam sendu penuh kebingungan. Sampai pada air mata yang sudah tak tertahan. Manusia-manusia yang dulu juga. Masih sama, bertambah beberapa. Yang sepertinya pernah melukai hati datang tanpa pasangan. Dewasa sudah sekarang bung! Tak kutemui galakmu dua tahun silam. Malah akhir-akhir ini kutangkap teduh dari tutur katamu. Terima kasih bung, semoga aura seniman semakin jelas.

Sepasang kekasih. Masih juga sama. Datang berdua. Bedanya sekarang, rasaku sudah tak ada. Bicara denganmu seolah kita tak pernah melewati batas-batas itu, bercengkrama dengan perempuanmu seolah semuanya baik-baik saja. Maaf untuk kaki ini yang lancang melangkah pada garis-garis terlarang. Sekarang rasa itu entah kemana. Dan aku enggan mencari tahu, bercerita saja sudah kucukupkan.

“Jangan memakai diriku untuk alasan tangismu. Jika semua itu hanya rindu.”

Ya, memang. Sabar ini sudah di atas kadar. Lelah iya, kecewa jelas. Ini juga bukan kali pertama. Lelahku, sabarku, marahku, tangisku terangkum dalam tangis mengejutkan. Aku sendiri terkejut! Betapa cengengnya aku. Yang bisa melewati sehari semalam  di hadapanmu dengan luka tanpa menangis, namun ketika rindu sudah bertalu hilang juga malu. Mari kita cukupkan perdebatan kita. Jika pada akhirnya ‘tidak ada yang perlu disalahkan’ atau lebih-lebih nanti pihakku yang salah. Sudah, sudah, kita akhiri sampai di sini materi ini.

“Kamu tahu bagaimana rasa jatuh cinta? Seperti rembulan yang malu-malu mengintip parasmu. Seperti malu-ku menatap mata empatmu. Aih, tak ada perbincangan yang lebih menyenangkan selain bahasan yang sama kita suka. Sama seperti aku menyukaimu, bisa saja. Pada segelas teh pada tangan kita, juga kaki yang lelah berdiri. Teh dingin berganti kopi. Pesta api unggun dan roti rasa kamu. Aku memujamu.”

Pada tempat yang sama, ada sejarah baru. Tempat duduk ketika mata lensa membidik, mungkin panah siap dilancarkan. Namun entah alasan apa ia kembali menyimpan. Hanya bidikan lensa yang menggetarkan dada. Jika saja aku tahu panahmu begitu sakit dan meninggalkan luka, tentu aku tak akan menerima. Jauh lebih aman ketika hanya lensa, dan panahmu tersimpan. Hanya saja...

Dan sejarah baru itu. Pada bidikan lensa, aku menyukai caramu menikmati. Sama seperti aku menikmati wajahmu.

“Aku memilih ‘dahulu’ agar bisa menanti kedatangamu, kemudian kita bersama, bertutur kata dengan tawa. Akan berbeda jika kita datang bersama, dengan pembicaraan renyah tapi kemudian enyah. Itu sama saja meninggalkan lubang menyakitkan dalam hatiku. Namun, sampai mentari naik, tak kutemui hadirmu. Ruang ini kosong, tanpa hadirmu.”

Hati ini bisa saja digantikan karena (lagi-lagi) janji kosong. Dia, yang sampai selesai huruf ini kutulis masih membuat rindu. Aku harap ini tak lagi cinta sepihak.