“Aku berdoa, semoga suatu saat kalian dipertemukan dalam keadaan yang bahagia. Aku memang tak langsung menyertai kalian, setidaknya menjadi sebuah bagian. Sekarang, kamu pasang pemberianku di dinding kamarmu, yang setiap membuka mata selalu ada. Demikian juga, ia pasang pada dinding kamarnya yang entah pada sisi mana. Suatu saat, dinding-dinding itu akan bersanding. Mempertemukan kedua belah sisi yang sebenarnya adalah berpasangan. Seperti halnya kamu dan dia. Kamu membawa separuh, begitu pula dia. Jika separuh itu menjadi utuh, bukankah lebih indah?”
“Hm...”
“Pada buku yang lainnya, aku melihat hati yang diremas. Kemudian di dalamnya ada bagianmu dan bagiannya. Mengapa bisa sangat pas? Ada sajak dalam tiap matamu terbuka.”
“Meski itu bukan persembahan?”
“Tak apa, pada bayang wajah lelaki itu, temukanlah dia. Pada sebaris kutipan sajak itu, resapi. Dan pada air yang menggenang, kenang ia.”
“Ah, aku sudah terlalu lama berharap pada air. Bahkan ini adalah Desember yang basah.”
“Bukankah dia masih menggenggam tanganmu selagi dingin? Bukankah dia masih menerimamu selagi rindu?”
“Aku takut rindu itu terkikis habis.”
“Tak akan. Bahkan tangismu dulu karena rindu.”