Aku Masih Mencintaimu



Ribuan detik kuhabisi
Jalanan lengang kutentang
Oh gelapnya tiada yang buka
Adakah dunia mengerti
Milyaran panah jarak kita
Tak  jua tumbuh sayapku
Satu satunya cara yang ada
Gelombang tukku bicara

Tahanlah wahai waktu
Ada selamat ulang tahun
Yang harus tiba tepat waktunya untuk dia yang terjaga
Menantiku

Tengah malamnya lewat sudah
Tiada kejutan tersisa
Aku terlunta tanpa sarana
Saluran tukku bicara

Jangan berjalan waktu
Ada selamat ulang tahun yang harus tiba tepat waktunya
Smoga dia masih ada menantiku
Mundurlah wahai waktu ada slamat ulang tahun
Yang tertahan tuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang slalu membara
Untuk dia yang terjaga menantiku

Selamat ulang tahun
Saengil Chukha Hamnida Oppa... saranghamnida.

Kosong. Segala aktivitas tak sedikit pun terasa nikmat. Aku berada di sini, tapi hati, mata dan jiwaku entah kemana. Hanya raga saja. Rasa kemana?

Selanjutnya hujan. Kuterjang. Demi apa?

Ketika di seberang sana menyerukan suaranya, jiwaku terisi. Penuh. Mendatanginya dengan bahagia. Tak lupa sebuah pemanis menggantung pada plastik berwarna putih. Tak ketinggalan lilin dan korek api. 

Kita, seperti biasanya. Tentang rindu yang kian candu.

“Tahun ini aku akan menikah.”
“Oh, syukurlah.”

Kosong. Ini tentang kenyataan. Yang jika tak hari ini maka besok, jika tak besok maka lusa, jika tak lusa maka minggu depan jika tak minggu depan maka bulan depan jika tak bulan depan maka tahun depan. Tiba waktunya semua ini harus berhenti. Bisakah? 

Dan, orang itu bukan aku.

Seperti beberapa waktu lalu ketika mengganti segala perabot, sama halnya dengan mengganti keadaan hatimu. Hari ini sama, masih aku yang menemani, hanya saja bukan lagi untuk aku. Alas yang baru. Alas untuk hatimu.

Pada detak jam dinding yang mengecohkan angka-angka, pada alas menggelitik kaki baru berwarna hijau, kujabat tanganmu.

Kali ini, kubenamkan bibir pada lesung pipi yang tersembunyi.

Aku masih mencintaimu.