Bukan Tidak, Tapi Belum



Sore, ketika mata sayup-sayup terpejam ada sesuatu yang kupikirkan. Dalam bayang-bayang menyaksikan sebuah pernikahan. Pesta, ramai, datang, salam, foto, makan, pulang. Sudah. Lalu apa yang disesali? Apa yang ditangisi? Tak ada. Tak perlu. 

Hidupmu setelah itu berlangsung. Entah bahagia, entah tidak. Apa perduliku? Jika selama ini tak kutemu bahagia, lalu apa? Sejak itu aku menerima kenyataan yang sebentar lagi. Keputusanmu, seharusnya tak mempengaruhi kehidupanku. Aku akan berjalan, bersama yang lainnya.

“Jika dipikir-pikir, kisah ini harus diakhiri. Cepat atau lambat. Mengapa aku susah payah bersedih? Ha ha ha...”
“Ya.”
“Semoga yang selanjutnya bisa mengerti dirinya yang rumit.”
“Mungkin saja dia merumitkan diri ketika di hadapanmu, agar kamu menjauhinya. Seolah dia menjadi orang yang sangat menyebalkan, agar kamu juga sebal.”
“Oh.”

Perbincangan selanjutnya aku menyimpan air mata. Sepertinya dalam sayup mata yang hendak terpejam itu aku hanya bermimpi menerima, sejujurnya tidak. Atau lebih tepatnya belum.

Selamat datang dunia baru, selamat datang diri yang baru.