Kompetisi Menulis Cerita dalam Kota



Nu-Namira
Cerpen: Utami Pratiwi

Ini tahun kedua, pergantian tahun diiringi derai hujan. Dengan paksa,di mana-mana kembang api disulut. Meski mereka tahu benar, sebesar apapun kekuatan api yang digunakan, hujan akan mengalahkan. Nyala yang tak sempurna. Seperti nyala cintaku yang meredup sebelum meledak.
***
            Pada layar laptop di hadapan saya, ada perempuan dengan senyum sangat menawan. Tepat setahun lalu kenangan ini saya abadikan, tentunya dengan diam-diam. Dia adalah perempuan yang cukup cerdas dalam pemikiran. Namun sangat bimbang dalam menentukan perasaan.
Kembang api tahun ini tak seindah tahun lalu. Bukan karena riris hujan yang menimbulkan ledakan aneh, tapi karena saya melewatinya sendiri.
“Apa yang sedang kita rayakan?”
***
“Selamat tahun baru, Namira.”
“Selamat tahun baru juga, Nu,” teriakku mengalahkan bunyi ledakan kembang api.
Di bangku berwarna hijau itu, kami duduk di antara banyak orang yang merayakan pergantian tahun.             Kepala mendongak menikmati malam bercahaya di langit Jogja. Meski sudah tak hujan, tetap saja udara menyisakan hawa dingin dari sisa hujan yang turun sejak sore tadi. Kueratkan jaket yang memeluk tubuh. Kemudian ada tangan yang juga mendekap erat bahuku. Ia tetap dengan kepala mendongak. Ketika aku menatapnya, di bibirnya tersungging senyum. Sama sepertiku.
“Tugu Jogja selalu menjadi pusat perayaan tahun baru ya, Nu.”
“Hm,”
“Apa yang akan kamu lakukan tahun ini?”
“Menikah.”
“Aish... mana calonnya?”
“Ini sedang mencari. Nah, di sekitar sini banyak perempuan-perempuan cantik. Tinggal tunjuk saja,” jawabnya enteng.
“Itu cantik,” tunjukku pada perempuan yang sedang berfoto di dekat Tugu Jogja. Setelah melewati detik-detik pergantian tahun, suasana tempat ini sedikit lengang.
“Hanya satu telunjuk yang kamu berikan kepada perempuan itu, empat jari sisanya menunjuk pada dirimu sendiri.”
“Ih, apa coba.”
Kutonjok lengannya. Nu pura-pura meringis kesakitan. Kembang api di langit boleh saja berhenti meledakkan cahaya. Namun di dalam hatiku, ledakan itu baru saja dimulai.
Aku memanggilnya Nu. Belum genap sebulan kami berteman. Eh, lebih tepatnya berteman dekat. Namanya tersohor di kampus. Cukup sebutkan ‘Nu tukang foto’ maka orang-orang akan menunjuk pada lelaki jangkung dengan rambut keriting diikat dan kamera DSLR yang setia menggantung pada lehernya.
Lain halnya dengan aku yang tidak sepopuler Nu. Sebenarnya aku selalu muncul dalam majalah kampus yang terbit tiap bulan. Bukan, bukan menjadi orang penting yang diberitakan, atau model yang mengisi sampul depan majalah. Tapi sebagai orang yang memberitakan. Namaku hanya tertulis di bagian akhir beberapa berita, itu pun nama singkatan. Kalau ada nama lengkapku, itu juga bagian kecil di kolom redaksi. Dan aku sangat yakin, hanya sedikit orang yang mau membacanya.
“Mengapa kamu membiarkan kamera itu kedinginan.”
“Ah, malam ini biar dia mengalah. Karena ada orang lain yang sedang kedinginan.”
“Hahaha, aku juga bisa fotografi lho. Sini, pinjam kameranya,” kuulurkan tangan.
“Tahun-tahun sebelumnya, saya selalu mengabadikan kembang api dalam lensa. Tapi ternyata sama saja.” Nu mengabaikan permintaanku, tanganku dibiarkannya menggantung kosong.
“Nggak mungkin sama. Objek yang ada dalam fotomu dua tahun lalu tentu berbeda dengan objek setahun lalu. Dan seterusnya.”
“Apa yang sebenarnya sedang kita rayakan, Nam?”
“Astaga! Pembicaraan kita nggak nyambung banget.”

Berganti tahun sama dengan berganti cerita. Sejak semalaman menyambut tanggal satu dengan Nu, menciptakan hubungan yang berbeda di antara kami. Mungkin ini yang baru saja kusebut dengan berganti cerita, cerita bersama Nu.
Tidak ada hari terlewat tanpa pertemuan. Entah sekadar makan malam bersama atau membuat agenda hunting foto dadakan. Hal-hal remeh sebenarnya, tapi aku sangat menikmatinya. Berjalan beriringan dengan lelaki jangkung ini.
“Sebenarnya kita ini apa?” tanyaku.
“Jurnalis kok pertanyaannya tidak terstruktur.”
“Kita tidak sedang membicarakan berita yang harus 5W+1H.”
“Bagaimana kabar pacarmu?” Sebuah pertanyaan yang murni membungkam mulutku. “selalu saja tak bisa menjawab bukan? Sama seperti aku tak bisa menjawab pertanyaanmu barusan, Nam,” lanjutnya.
“Wah, malam ini langit cerah ya.” Aku mengalihkan pembicaraan. Menatap Nu menyantap makanan. Sedang di hadapanku pasta masih setengahnya. Aku tak berniat menyelesaikan. Hilang selera. Kelu dalam lidah yang tiba-tiba. Dan jauh lebih ngilu dalam hati.
Ini sudah bulan keempat dalam ketidakjelasan hubunganku dengan Erik. Meski sudah empat bulan, tapi kecewa dalam hatiku belum sepenuhnya terobati. Bagaimana tidak, jika orang yang sudah dua tahun membangun hubungan, merawat dan menjaganya, secara sepihak meninggalkan. Jarak yang memisahkan secara berlahan memangkas sedikit demi sedikit cinta yang berkembang.
***
Perempuan itu. Selalu beranggapan dirinya tidak populer di kampus. Saya sudah cukup lama memerhatikan. Lebih-lebih melalui tulisannya yang setiap bulan dimuat di majalah kampus.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi, dan yang membuatnya terlihat cantik adalah ikatan rambut yang sekenanya. Terkesan acak-acakan tapi menarik. Beberapa menit sekali, ia membenahi letak kacamata yang sebenarnya sudah pada tempatnya. Sebuah kebiasaan, mungkin.
Pertama kali melihanya sekitar dua tahun lalu. Dalam sebuah seminar nasional yang diadakan kampus. Saya yang sedang magang menjadi fotografer melihat dia yang juga sedang magang menjadi jurnalis. Nah, sejak saat itu saya selalu rutin membaca tulisannya.
Setidaknya, ketika membaca tulisan itu, saya seperti mendengarkan dia berbicara. Berbicara langsung dengan dia adalah sebuah hal yang sebelumnya tidak ada dalam benak saya. Bukan karena tidak ada keberanian, tapi karena ada lelaki mendampingi dia.
Bisa saja memaksa pikiran saya, bahwa mereka itu berteman. Namun, selalu ada tatapan yang berbeda dari mata mereka. Sejak saat itu, saya menyimpulkan secara sepihak bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Dan dugaan saya tidak pernah salah.
Sampai suatu ketika, semesta mempertemukan saya dengannya. Lagi-lagi dalam acara seminar nasioal. Bedanya, saat itu kami tidak lagi magang. Saya sudah benar-benar bergabung dengan komunitas fotografi mendapat tugas mengabadikan seminar tersebut, dan dia meliput berita serta wawancara dengan beberapa narasumber. Dan yang lebih berbeda adalah, lelaki yang dulunya mendampingi tak ada lagi.
Kemudian, saya menemukan tatapan berbeda dari matanya. Sama seperti tatapan untuk lelaki yang dulu di sampingnya. Tatapan itu ditujukan kepada saya. Tepat ketika pergantian tahun, ketika terjadi ledakan kembang api di langit Jogja, ketika dengan sangat hati-hati saya letakan tangan saya pada pundaknya.
Perempuan itu, Namira namanya.
***
            “Ibu menyetujui hubungan Namira dengan Erik. Sangat menyetujui malah. Namun, untuk saat ini, biarkan Erik kembali bersama ibu.”
Masih teringat benar ucapan ibu Erik pada suatu malam setelah acara wisuda. Momen wisuda Erik yang harusnya membuat bahagia, kandas sudah. Tapi perasaan tidak bahagia ini mungkin hanya menjangkiti diriku.
Aku menatap tajam Erik.
“Selama empat tahun kuliah, tak sekali pun Erik pulang. Kadang ibu yang mengalah mengunjunginya. Nah, sekarang biarkan dia pulang,” lanjut ibu Erik.
“Jujur saja, Namira sangat terkejut mendengar hal ini, karena sebelumnya Erik tidak pernah membicarakan dengan saya, bu.”
“Iya, ibu mengerti perasaan Namira. Dalam tradisi keluarga kami, untuk menjalin hubungan yang serius, setiap anak harus sudah siap. Baik siap mental maupun materi. Kedua kakak Erik juga melakukan hal yang sama. Mereka bekerja untuk mempersiapkan masa depan.”
“Namira masih cukup muda bu, Erik juga.”
“Apakah hubungan kalian yang sudah dua tahun ini tanpa tujuan? Erik pergi hanya sementara. Sekitar dua tau tiga tahun. setelah itu pasti kembali untuk Namira.”
“Bagaimana ini, Rik? tanyaku pada Erik. Sebisa mungkin aku meredam emosi, lebih-lebih tangis yang sebentar lagi leleh.
“Maaf, Nam. Tidak membicarakan hal ini.”
“Oh, kapan berangkat?”
“Besok, jam 09.00 tujuan Kalimantan.”
Glek! Seberapa pun keras aku melawan dan mencegah, aku tetap berada pada posisi yang kalah. Secara implisit jelas perdebatan ini dua lawan satu. Ah, Erik. Kemana larinya Erik yang sangat tegas menjadi pemimpin redaksi yang selama ini kukenal? Kemana Erik yang dua tahun ini kuberi kepercayaan menjaga hatiku?
Setelah Erik pergi, aku menenggelamkan diri di dunia jurnalistik.
***

Ada beberapa alasan mengapa saya selalu kesulitan menjawab pertanyaan Namira tentang hubungan yang dua bulan ini kami jalani. Tidak adil memang, lebih-lebih untuk usia kami yang sudah cukup untuk membangun hubungan serius.
Sebelumnya sudah saya katakan, Namira itu sering kesulitan dalam menentukan perasaan. Saya tahu hubungannya dengan Erik. Jika saya menjawab pertanyaannya sesuai dengan perasaan yang saya rasakan, sudah tentu akan membuat Namira semakin kebingungan. Namun, membiarkan hubungan yang tidak jelas ini juga merupakan sikap pengecut. Ah, mengapa cinta sebegitu rumit?
“Hari ini aku wawancara narasumber yang nyebelin banget.” Namira memulai pembicaraan di kedai pasta langganan kami.
“Memangnya kenapa?”
“Susah banget ditemui. Surat pemberitahuan untuk wawancara udah tiga hari lalu kuberikan kepada sekretarisnya. Hari ini aku disuruh datang ke kantor jam sembilan. Udah gitu, ternyata ada rapat dadakan. Jadinya aku nunggu sampai jam dua. Dan ketika wawancara, bapaknya banyak banget permintaan untuk off ther record. Terus apa yang mau aku beritakan kalau kayak gini.”
“Ya sudah, habiskan dulu pastanya.”
“Kenapa sih, kamu itu nggak pernah heboh menanggapi ceritaku?”
“Waw, perjuangan sekali wawancara hari ini ya, Namira,” Saya menggoda dengan ekpresi berlebihan.
“Hih, nggak lucu deh, Nu.”
“Bagaimana kuliahmu?”
“Seharusnya aku yang tanya, tugas akhirmu apa kabar?” Pertanyaan sodokan dari Namira. Sudah sebulan ini saya tidak mengambil berkas revisi di meja dosen. Sedang bosan. “masa kuliahmu sudah diperpanjang setahun lho, Nu. Apa mau ditambah lagi?” lanjutnya.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu tak lagi membicarakan Erik?”
“Takutnya ada orang yang cemburu. Ah, kenapa kamu tanya masalah Erik saat aku makan?” Tiba-tiba saja Namira membuang sendok dari tangannya. Mengenai piring dan menimbulkan denting. Saya tidak menyangka akan ada reaksi seperti ini. Wajahnya cemberut.
Saya pungut sendok yang baru saja dibuang. Menggulung sisa pasta dan memainkan seperti pesawat terbang di depan mulut Namira. Ia tetap cemberut. Ah, ternyata teknik menyuapi seperti ini hanya berlaku untuk anak kecil.
“Ting tong...” Saya mencupit pipinya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan masih memainkan sendok seperti pesawat terbang. “Pesawat pasta ingin memasuki area mulut Namira. Mohon segera dibuka. Ngeng...ngeng...ngeng...” Teknik kedua ini berhasil. Dengan malu-malu, Namira membuka mulutnya.
“Nu, makasih ya,” kata Namira tersenyum.
Demi apapun, malam ini Namira cantik sekali!
***
Siang ini aku melihat pamflet tantang lomba fotografi yang ditempel di papan pengumuman kampus. Segera aku informasikan kepada Nu. Pasti dia sangat senang. Lagian, majalah bulan ini baru saja terbit, jadi aku bisa meluangkan banyak waktu untuk hunting foto bersama Nu.
“Oh, lomba itu. saya sudah tahu.” Reaksi yang sangat biasa ketika aku memberitahu Nu.
“Yuk, hunting. Dua hari ini aku free.”
“Enaknya kemana ya?”
“Temanya human interest ya, wah bisa sekalian aku bikin feature untuk majalah edisi mendatang.”
“Ada yang mau aji mumpung nih,” sindirnya.
“Pada dasarnya, kita berdua mempunyai hubungan simbiosis mutualisme, di luar hubungan yang tidak jelas.”
“Ke Malioboro yuk.”
“Kemarin malam Erik telephon.” Aku memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan ajakannya.
“Saya siap mendengarkan ceritamu, Nam. Tapi jangan di tempat ini. Terlalu ramai. Saya tidak tega banyak orang yang melihat kamu menangis,” Nu menggoda. Sial, dia dengan mudah mengubah mood-ku yang awalnya sedih menjadi senyum menjengkelkan.
“Aish... apaan coba!”

“Apa katanya?” Nu bertanya sambil menjilati ice cream di tangannya. Cuaca sedang tidak jelas. Kadang hujan, kadang panas. Dan hari ini kami memilih mendinginkan diri di sebuah caffe Malioboro untuk melawan panas dan lelah setelah menemaninya hunting foto.
“Erik membeli rumah di Kalimantan.”
“Wah ada OKB nih.”
“Orang Kaya Baru?” tanyaku.
“Bukan, Orang Kalimantan Baru.”
“Nu, aku nggak suka,”
“Sebagai pacar atau calon istri yang baik, kamu harus menurut pacar yang akan menjadi suamimu nanti. Itu sama artinya dengan kamu tinggal di Kalimantan.”
“Aku nggak mau. Menurutku, Erik terlalu didoktrin ibunya. Kalau pun nanti akhirnya kami bersama, pasti peran ibu Erik juga mewarnai kehidupan kami.”
“Pasti akhir-akhir ini kalian sering bertengkar.”
“Jelas. Aku tak butuh dia yang punya rumah, punya mobil, atau apalah. Kenapa dia tidak tinggal di sini, bekerja di sini. Ah!”
“Eh, ice cream-mu meleleh. Dimakan dulu, sayang lho.”
Aku melumat ice cream yang memang mulai meleleh. Sebenarnya yang benar memeleh adalah air dari kedua mataku. Nu menyodorkan tissu agar tanganku tak sibuk mengusap pipi. Tapi tangisku menjadi.
Mengapa Erik tak bisa sebaik kamu, Nu?
***
            Saya memang sangat berbeda dengan Erik. Erik bisa lulus tepat waktu, sedangkan saya tidak. Tapi yang lebih mencolok adalah Erik bisa menjanjikan masa depan untuk Namira sedangkan saya hanya menjanjikan kenyamanan karena selalu ada ketika dia membutuhkan. Dan sayangnya, dalam kehidupan ini tidak cukup dengan nyaman, tapi juga materi. Sampai di sini, sosok Erik lebih ideal dibandingkan saya.
            “Sampai kapan kita akan seperti ini, Nu?” tanya Namira
            “Sampai kapan kamu dengan Erik akan seperti itu, Nam?”
            “Dalam ilmu jurnalis, kalau ada pertanyaan itu harusnya dijawab. Bukan balik bertanya.”
            “Tapi kita tidak sedang membuat berita kan?”
            “Ini berita percintaan.”
            “Dalam hubungan kita, saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Apa yang kamu cari dari dalam diri saya, Nam?”
            “Hm,”
            “Saya tahu, kamu pasti tak bisa menjawab.”
            “Katamu, tahun ini akan menikah. Sudah masuk bulan kedua, tapi aku tak pernah melihatmu membawa perempuan.”
            “Sebenarnya saya ingin membawa cermin yang besar, kemudian memberikan kepadamu. Biar kamu bisa melihat dengan jelas.”
            “Hm, kok kamu nggombalin aku sih?”
            “Erik itu menjanjikan masa depan buat kamu, Nam.”

            Jika saya mau, bisa saja saya langsung mengatakan perasaan yang selama ini ada dalam hati saya. Lewat tatapan mata Namira, saya juga tahu jawaban apa yang akan ia berikan.
Namira itu seperti seorang gadis yang sedang gigil karena ditinggalkan orang yang selama ini menjadi tempatnya berteduh, orang yang bisa menjadi perisai ketika hujan datang, dan orang yang menghindarkan dia agar tak terkena tempias air hujan. Tiba-tiba, ia ditinggalkan sendiri. Dengan sebuah janji bahwa orang itu pergi sebentar untuk mencari tempat berlindung yang lebih nyaman, lebih luas, dan lebih menghangatkan.
Hanya saja, orang yang meninggalkan gadis itu lupa, jika ia meninggalkan gadis bersama hujan, dan hujan tak juga menandakan reda.
Ada lelaki lain datang, ia hanya membawa payung yang cukup untuk dua orang. Datangnya menghampiri gadis yang sedang gigil. Sebenarnya ia tak ingin lama singgah, ingin segera melanjutkan perjalanan. Tapi ada godaan untuk membawa gadis itu berlindung dalam payung yang ia bawa.
Lelaki itu tak yakin benar, apakah gadis itu mau diajak berjalan di bawah payung yang sempit dan hanya cukup untuk dua orang, payung yang setidaknya bisa mengurangi gigil dari hujan yang terus menghujan. Dan lelaki itu adalah saya. Bagaimana dengan gadis itu? bagaimana Namira?
***
Aku mulai tidak bahagia menghadapi Erik.
“Erik, aku sudah tidak menemui cinta di dalam hubungan kita,” kataku suatu malam melalui telephon. Aku sudah memutuskan untuk membicarakan hal ini dan sudah berulang kali berlatih berbicara di depan cermin agar tak ada tangis.
“Ini belum bulan April kan? Kenapa kamu sudah memberi kejutan April Mop?” Ada tawa gurau dalam suara Erik di seberang sana.
“Cinta itu tidak seperti ini.”
“Ayolah, kita bicarakan baik-baik.”
“Bukankah cinta sejati itu tak lekang oleh waktu? Sedangkan hubungan dua tahun kita bisa terhapus dengan kehadiran seseorang hanya dalam waktu beberapa hari.”
“Adakah lelaki lain, Nam?” Kali ini tawa itu hilang.
“Ya.”
“Aku salah apa?”
“Keputusanmu untuk pergi sudah menjadi hal yang salah.”
“Aku di sini untuk kamu.”
“Tapi aku lebih membutuhkan kamu yang ada di sampingku. Maaf Erik.”
Aku tak menyelesaikan pembicaraan. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku katakan. Tapi air mata ini mendahului. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk membangun hubungan kami. Dan, hanya dalam hitungan menit, aku memangkasnya.
Erik berulang kali mencoba menghubungi, tapi aku biarkan.
***
            Ini sudah hari ketiga setelah pertemuan terakhir saya dengan Namira. Dia tidak ada kabar. Saya sms dan telephon ke hp-nya, tapi selalu tak ada jawaban. Bahkan saya sudah mencoba mencarinya di kantor tempat biasa dia mengerjakan tugas menulis berita. Namun nihil. Beberapa orang yang saya tanyai mengatakan bahwa Namira izin untuk seminggu ke depan.
***
Ini sudah hari ketiga setelah pembicaraan terakhirku dengan Erik. Aku masih enggan keluar rumah. Bukan saja karena malu dengan sisa-sisa mata sembab, tapi aku masih malas bercerita jika ada yang bertanya alasan mataku yang berubah membengkak.
Surat izin seminggu untuk tidak meliput berita sudah kutitipkan ke kantor. Biar saja tugasku digantikan beberapa mahasiswa yang menjadi anggota baru jurnalis yang sedang magang. Sedang untuk kuliah sudah jarang. Tugas akhir masih kubiarkan tergeletak di meja.
Hp memang sengaja kumatikan. Sedang malas.
“Nu, apa kabar?” bisikku. Namun suaraku hanya sampai pada telingaku sendiri. Nu yang dihadapanku tetap dengan senyumnya yang rahasia. Nu yang menjadi wallpaperlaptopku.
Kemudian aku mengaktifkan hp. Mungkin saja Nu mencariku. Tiga hari tak bertemu menyisakan rindu.
“Halo Namira, aku membawa kabar gembira. Temui aku di kedai pasta jam enam. Saya tunggu sampai kamu datang.”
Astaga! Sms ini sudah dikirim kemarin. Nu pasti menunggu.
Hm, sepertinya memang harus beranjak dari kemalasan yang tiga hari ini menggoda. Kurapikan rambut di depan cermin.
“Selamat datang Namira yang baru.”
***
            Sudah dari kemarin saya menunggu kedatangan Namira di kedai pasta ini. Setelah lelah sampai larut malam, saya baru menyadari bahwa sms saya tidak terkirim. Semoga sore ini dia datang.
            Ah ya, ada kabar menarik yang sebenarnya dari kemarin sudah tidak sabar untuk saya ceritakan. Salah satu alasan yang membuat saya datang ke kedai ini tak lagi membawa kamera, tapi membawa kertas berisi tugas akhir.
            Kemudian dia datang. Saya lihat matanya sembab, tapi kerutan di kening yang selama ini membebaninya hilang diganti dengan senyum yang dari dulu tetap menawan. Mungkin saja dia sudah berbaikan dengan keadaan. Berbaikan dengan Erik. Ah, tetap saja perasaan saya tidak bisa mengalah. Bahwa saya semakin mencintainya.
            “Nu...” teriaknya.
            “Wah, sudah keluar dari persembunyian ya.”
            “Eh... maaf ya Nu, aku baru buka hp tadi. Tapi kok kamu masih di sini, bukannya sms itu dikirim kemarin ya?”
            “Saya di sini tidak hanya untuk ketemu kamu, Nam.”
            “Ih, jahatnya.”
            “Ha...ha...ha...”
            “Sejak kapan kamu berbaikan dengan tugas akhirmu?” Namira bertanya sambil melihat-lihat lebar revisi yang ada di hadapan saya.
            “Banyak yang ingin saya ceritakan. Enaknya dari mana ya, Nam?”
            “Aku juga. Tapi karena kamu sudah menungguku dari kemarin, kamu dulu deh yang cerita. Aku akan menjadi pendenga yang baik.”
            “Kamu ingat lomba fotografi beberapa waktu lalu?”
            “Ya, gimana?”
            “Aku menang Nam! Hadiahnya kuliah setahun di Amerika untuk mendalami ilmu fotografi!”
            “Wah beneran?! Hebat! Kapan-kapan?”
            “Dua bulan lagi, makanya sekarang saya menyelesaikan tugas akhir ini.”
            “Setahun lama ya, Nu.”
            “Ah, tidak juga. Makasih ya Nam, untuk ide hunting foto di Malioboro waktu itu.”
            “Iyaaaa...”
            “Lalu, apa ceritamu?”
            “Ah, aku mendadak lupa.”
            “Bagaimana Erik?”
            “Baik.”
***
            Setelah Erik, kini Nu yang sebentar lagi meninggalkanku sendiri. Ah, melihat ekspresi bahagianya karena menang lomba itu membuat aku mengurungkan cerita tentang Erik. Dan berakhir pada kebohongan kalau hubunganku baik-baik saja!
***
Dua bulan kemudian.
Dua bulan yang menyita tenaga. Sejenak melupakan kamera untuk menggarap tugas akhir. Dan akhirnya selesai! Selama dua bulan ini juga hanya sesekali bertemu Namira. Itu pun sebentar. Selalu terbentur dengan jadwalku bimbingan dengan dosen, atau Namira yang mendampingi mahasiswa magang sebagai jurnalis.
Pada akhirnya, lelaki yang membawa payung ini pergi meninggalkan gadis yang gigil kedinginan. Malah, dengan jarak yang lebih jauh.Tak ubahnya orang yang lebih dulu meninggalkan gadis itu sendiri untuk mencari tempat lebih nyaman.
“Mungkin, memang tidak seharusnya kita melewati batas dalam hubungan ini, Nam. Saya sudah katakan tidak dapat menjanjikan apa-apa. Mari kita berjalan pada jalur masing-masing. Semoga hidupmu bersama Erik bahagia. Besok saya berangkat pukul 10.00 tujuan Amerika.”
Saya kirim sms kepada Namira.
“Selama dua bulan ini, saya tidak pernah tidak merindukanmu, mungkin sampai setahun yang akan datang meski kita berada di tempat yang berbeda.”
Saya urungkan mengirim sms yang kedua.
***
            Malam ini, aku dikejutkan dengan sms yang dikirim Nu. Besok dia berangkat, mulai besok dia meninggalkanku, dan sampai saat ini aku tak juga mengatakan bahwa sudah mengakhiri hubunganku dengan Erik!
            Aku tak mau ada tangis. Susah payah menahannya tapi tetap saja mengalir.
***
Tahun baru kali ini, kita berada di tempat yang berbeda. Tapi rinduku tetap sama, Namira.
***
            “Nu, ternyata rindu lebih tajam dari pada pisau.”

1 Januari 2014