Maaf



Kamu, datang malam-malam menerjang hujan. Tak seperti biasa, pada tanganmu ada sesuatu. Mengucap salam yang mengejutkan, sedang aku sibuk berkutat dengan handpon yang kupegang. Sebenarnya, aku menunggu kedatanganmu.

Kemudian seperti biasa, manjamu menggelayut ada kaki-kakiku untuk bertumpu. Wajahmu selalu riang. Dari bibirmu terucap kata selamat. Terima kasih. Kupengang lengan bajumu, basah. Padahal di sini tak hujan. Aku tahu, kamu menembunyikan kebenaran, tentang menembus hujan untuk membeli lilin yang sengaja tak kusulut. Biar dia tergeletak di dekat televisi, bersama pasangannya yang agak usang, korek. 

Kamu membiarkanku menyesap candu yang tampak dari bibirmu. Mengenyampingkan bungkusan yang sekarang tergeletak didekat kaki-kaki kita yang bergerak beriringan. Selesai. Sekali lagi kuucapkan terima kasih untuk semua ini. Aku belum melihat kepuasan dari matamu. Tapi aku menyudahinya.

“Apa yang ingin kamu lakukan setelah menyelesaikannya? Pasti tidak duduk-duduk begitu saja. Bercerita seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Bedanya di sini, dalam tubuh lelaki itu tak meninggalkan bekas, berbeda dengan perempuan. Lelaki hanya membuang, setelah itu sudah. Sedang perempuan selalu mengingat bagian detail sebuah sentuhan. Ya, setiap detail!”

“Dia itu tidak sayang, hanya caranya menunjukkan perhatian adalah dengan hal itu. Parahnya, dia sangat berharap mendapat balasan. Sayangnya kenyataan tidak menyatakan seperti itu. Rumit. Dasar Perempuan!”
“Sudahlah, akhiri khayalan untuk sebuah pelukan. Tak mungkin terjadi.”

Kamu, dalam ceria tutur kata, dalam daging-daging buah memasuki mulut yang sebelumnya kumasuki, dalam tatap mata yang tak berani menantang. Aku tahu kedalaman kesedihan. Maaf.

Boleh saja kamu menyebutnya kado yang pahit. Aku tidak melarang.

Sudah malam, lekaslah pulang. Tak baik terlalu lama di sini, apa kata orang-orang. Terima kasih telah menemani malam ini. Terima kasih untuk pelukan hangat. Tapi hanya sampai di situ.

Kamu, aku tahu masih mencintaiku. Aku tidak tahu hatimu terbuat dari apa. Salahkah aku? Jabat tangan, sebuah kecupan mengagetkan. Lalu kamu pulang. Membawa sendu. Aku harap air tak keluar dari matamu, jika pun iya, semoga di tengah jalan hujan turun lebat. Sehingga orang-orang tak tahu mana air mata, mana air hujan yang melekat di pipimu.

Sedalam inikah panah yang sudah kutancapkan di hatimu? Ketika ia kucabut, ketika hatimu bercucur darah, kamu tetap menyembunyikan sedih. Terima kasih untuk cinta yang bergitu dalam. Maaf untuk cinta yang hanya sampai di sini. Ya, sampai pada huruf terakhir cerita yang kalian baca.