Mengunjungi Lazuardi



“So, what should we do? Hujan sudah reda. Kita akan tetap di tempat masing-masing atau move on untuk bertemu?”

Tak lama kemudian, hujan turun tanpa permisi bersama rombongannya. Oh shit!

Kita sudah merencanakan sebuah bertemuan beberapa waktu yang lalu. Mungkin itu yang menjadi masalah, harusnya kita tak usah berencana. Maaf sebelumnya, sebenarnya sore tadi sebelum hujan. Aku telah terlebih dahulu bertemu dengan seseorang. Dia yang bulan November lalu ulang tahun dan menjanjikan sebuah traktiran. 

Aku masih ingat, setahun lalu, kami makan di warung mie ayam dekat terminal Giwangan itu. Kemudian sore tadi kami lewatkan di warung bakso blusukkan daerah Rejowinangun. Bahasan masih tetap sama; cinta. Ya, cinta yang tak mungkin menyatukan kami. Setahun lalu, dia membawa kabar tentang lelakiku yang dulunya berpacaran dengan si anu, atau masih berpacaran gitu deh. Aku sok cool mengiyakan aja. Batin dalam hati ya jleb banget. Setelah itu, kita berjalan masing-masing. 

Giliran tadi, kami membicarakan asmaramu yang dikelilingi banyak perempuan. Koleksi, seleksi, eliminasi. Aku sudah dieliminasi dari dulu, lebih tepatnya aku yang mengundurkan diri. 

Pulang, hujan. Berteduh. Asli, jika kami sepasang kekasih pasti sangat romantis. Sayangnya tidak. Walaupun juga tak ada peluk (siapa loh?), aku mencium aroma wangi dari tubuhmu. Sampai menjelang tidur kuingat (alaybadai).

Pertemuan kami ditutup dengan secangkir kopi untuk berdua. Kali ini bukan kopi Temanggung.
Sepulang dari situ, awalnya aku langsung akan menemui kamu. Ya, kamu. Tak ada balasan. Lebih tepatnya kamu bersembunyi. Padahal sesumbarmu, kita akan berkencan dan kamu memberi kejutan. Aku pulang dan hujan turun rombongan.

Kosong. Tak lama, muncul bintang di langit. Aku yakin hujan tak lagi menyerbu. Aku menuju rumah yang sebelumnya kamu bilang. 

“Keluarlah, aku di depan.”

Kamu, keluar bertelanjang dada (ow, opo maksude?) kemudian memakai kaos. Kamar kamu tutup, berantakan katamu. Kita berbicara bersama tumpukan buku yang sudah kau kemas. Ku tanya akan kemana, katamu akan pulang ke rumah dan bertani. Aku tak percaya.

Janjimu, kamu yang akan memberi kejuatan. Maaf jika aku terlebih dulu mendahului mengejutkanmu. Mungkin ini yang tertama dan terakhir sebelum kita berada di kota berbeda. Selamat melanjutkan hidup. Senang bisa mengenalmu. Setidaknya, aku bisa melayang-layang dalam ingatanmu, tentang kejutan malam ini. Seperti aku mengingat kejutan dari seseorang yang datang malam-malam menerjang hujan, atau mengomeli seseorang karena sebal dan tiba-tiba dia sudah berdiri di belakangmu menanggapi marahmu memalui hp yang ia genggam. Ya, tepat di belakangmu. Bukankah itu sangat manis?

Pertemuanku denganmu malam ini juga sebagai pelunasan janjiku untuk mendatangi sebuah rumah berlantai dua yang dulu sangat akrab. Dan aku bersyukur tidak bertemu dengan yang lainnya. Semoga ini menjadi pembuktian. Tentang bagaimana kabar kemunafikan yang sering dibicarakan orang. Aih, tidak penting. Aku tak mencintai satu pun lelaki yang menghuni setiap kamar-kamar dalam rumah berlantai dua itu. aku menganggap kalian teman. Selama empat tahun ini. Terbanglah tinggi. Entah apapun impian yang akan dicapai. Sampai bertemu kapan-kapan kawan, jika ada kesempatan, atau waktu yang benar-benar meluangkan.

Selamat malam, langit biru. Selamat malam Lazuardi.