Saya menunggunya waktu itu. Sedikit pesimis ketika setengah jam pertama mereka tidak muncul juga. Kemudian hape saya bergetar, salah satu dari mereka tak bisa datang karena sakit. Kemudian saya menunggu yang satunya. Aih, dia tak ada kabar juga. Bahkan sms saya tidak terkirim.
Tempat ini pernah mengukir cerita. Kira-kira setahun lalu. Setelah terjadi konflik dengan temannya, dan sampai saat ini tidak menjadikan hubungan lebih baik, canggung. Sebutlah begitu. Saya membaca salah satu tulisannya, tentang sebuah akhir tak termulai. Hm, mengapa ia selalu pas membuat perumpamaan? Ya, tentang sebuah perasaan yang gugur sebelum sempat berkembang. Saya yang salah.
Ketika melihatnya dengan yang lain, saya kemudian melayangkan hati kepada yang lain. Sejak saat itu, saya sudah memangkas perasaan itu, karena pada lahan yang berbeda, saya sedang memupuk agar tumbuh menjulang. Tak di sangka, pada sebuah tempat kami kembali bertemu. Bukan waktu yang singkat. Sejak saat itu, saya meragukan tentang pemangkasan rasa yang pernah saya lakukan.
Terbukti sudah. Ini sudah satu tahun lebih sebulan. Dia bahkan sudah lama menyendiri, tapi saya masih keadaan yang gamang. Sebentar, hp saya bergetar. Pesan masuk. Dia segera datang. Awalnya saya sudah akan pulang, tetapi saya urungkan.
Dia datang. Dengan baju kenangan begitu pula yang saya kenakan. Di hadapan kami sudah ada dua piring nasi goreng. Dulu dia menyebutnya nasi goreng cinta. Bercerita macam-macam. Dalam hati saya membatin, mengapa saya tidak menemukan hal seperti ini dengan yang lainnya. Kemudian ia tak menghabiskan nasi gorengnya. Dan seperti biasa, pada irisan timun itu, ia hanya memakan pinggir-pinggirnya. Menyisakan biji-biji yang dibiarkan menyendiri. Sesekali matanya melirik pada bungkus rokok Sampoerna dan korek berwarna merah di atasnya.
Sejak saat itu saya yakin, ada yang kembali tumbuh dalam hati saya. Harus ada yang dipangkas salah satunya. Dan waktu adalah penjawab paling bijaksana.