Cerpen Satu Diantara Seratus atau Bahkan Seribu (Kontributor Buku Antologi Cerpen Event "Keajaiban" PENA INDIS 2014)

Satu Diantara Seratus atau Bahkan Seribu


Perasaanku kacau tak karuan selepas membuka pesan singkat itu. Satu hal yang ada dalam benakku hanyalah bagaimana caranya aku dapat membeli tiket kereta api untuk pulang ke Solo hari ini juga. Tak peduli berapa harganya walau kondisi kantong sangat mepet. Segera aku panggil temanku Jovi untuk aku mintai bantuan mengantarkanku ke stasiun Purwokerto. Motor City Sport1 yang kami kendarai dengan kencang tak mampu menyaingi kencangnya pikiranku yang jauh melesat sedari tadi tak terkendali. Ya! pikiranku hanya tertuju pada seorang yang begitu aku kenal, begitu dekat dan istimewa, tak berlebih jika orang-orang disekitar menjulukinya sebagai orang “Satu Diantara Seratus atau Bahkan Seribu”. Dia adalah kakekku.
Sesampainya di stasiun Purwokerto, aku langsung menuju ke loket pembelian tiket yang ternyata sudah begitu banyak antrean disana. Sepuluh hingga lima belas orang saling berdesakan memesan tiket. Dan aku nampaknya menjadi orang kesekian yang harus menunggu cukup lama di depan loket yang dijaga seorang wanita berlipstik merah sambil mengucap “Kereta Logawa, ekonomi AC, Purwokerto-Solo Jebres, Rp.100.000,00”. Ucapan itu seolah semakin menambah runyam pikiranku karena aku harus mengeluarkan uang setidaknya Rp.200.000,00 hanya untuk pulang ke Solo selama 1 kali 24 jam saja. Ya! karena esok harinya aku harus kembali ke Purwokerto, kembali ke kampus dengan rutinitas yang membosankan, kuliah, praktikum, tugas, laporan.
Ya Tuhan, bimbang sekali nampaknya diriku. Ditengah ketidakpastian perekonomian keluarga kami, kenapa Engkau memberi cobaan kecelakaan kepada kakekku?. Bukannya kakekku orang yang sabar, penyayang, rajin mengaji di usia tuanya, serta halus bicaranya Ya Tuhan?. Berapa biaya yang harus keluarga kami keluarkan untuk operasi patah tulang di beberapa bagian tubuhnya Ya Tuhan?. Berapa biaya perawatan rumah sakit, berapa biaya rawat jalan selama proses kesembuhanya Ya Tuhan?. Tuhan, apakah Engkau tak tahu kondisi keluarga kami?. Tuhan, aku yakin Engkau tahu bahwa ayahku hanyalah seorang buruh tani, ibuku hanya penjahit rumahan dengan penghasilan pas-pasan. Saudara-saudari kami sedang terbelit kesulitan ekonomi yang tak kunjung membaik. Ditambah satu lagi Ya Tuhan, aku harus memupuskan keinginanku. Keinginan memiliki sebuah laptop, keinginan memiliki kemudahan dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, laporan-laporan praktikum, serta harus tegar menahan rasa malu tatkala terpaksa meminjam laptop teman, memakai komputer tetangga sebelah, atau bahkan menggunakan komputer di salah satu UPM di pesantren mahasiswa. Tak kuasa diriku menahan sedih, menahan emosi, dan berusaha menata hati ditengah cobaan yang tiba-tiba menghantam perjuanganku, perjuangan keluarga kami.
Tibalah diriku di depan rumah. Dan apa yang terjadi waktu itu semakin membuatku tak kuasa menahan tangis. Bapakku yang dulu dikenal sebagai seorang yang garang bicara dan tingkahnya, kini tiba-tiba saja memelukku dengan raut muka teramat sedih, dengan posisi tangisan mata yang tak bisa dibohongi. Semua orang yang ada disitu seolah menjadi saksi. Saksi ketidak berdayaan kami, menerima cobaan Illahi.
Kulihat tubuh kakekku, terbaring lemah diatas dipan, dipan tua tak berkasur dan hanya beralaskan tikar yang sudah mulai lapuk. Ia sedang tertidur atau entah tak sadarkan diri, tapi aku yakin ia mendengarkan bisikan doaku. “Aku yakin kakek orang tersabar satu diantara seratus atau bahkan seribu orang yang ada. Aku yakin disetiap rasa sakit remuk tulangmu terpatri tanda cinta Allah pada kakek. Kakek masih ingatkan dulu kita belajar dan sholat bersama? masih ingatkan ketika kita pergi mengaji bersama?”. Seolah aku tak mampu membendung perasaan ini. Ya! Karena kakekku adalah seorang mualaf yang baru satu atau dua tahun belajar akan agama Islam. Namun Allah seolah membalasnya dengan memberi hadiah yang tak terduga. Hadiah kecelakaan yang menimpa di usia senjanya ketika ia akan pergi ke sawah dengan mengendarai sepeda tua yang aku seingatku sudah mulai oleng ban depan belakangnya.
Sebelas juta rupiah adalah total biaya yang harus keluarga kami keluarkan. Uang dari keluarga bapakku, keluarkan keponakan-keponakan kami dan uang sisa panen padi musim kemaren tak mampu menembus angka yang begitu besar itu. Apa yang harus kami lakukan? Aku sendiri juga bingung dan tak ada lagi opsi selain berserah diri pada zat yang memberi pertolongan, zat yang maha hebat yakni Allah SWT.
Kepulanganku memang tak mampu memberi perubahan pada keuangan keluarga kami. Aku memang belum mampu memberi sumbangan ekonomi untuk keperluan biaya kakekku. Aku hanya sebagai pelengkap dan pengobat rasa rindu kakekku yang memang memiliku kedekatan denganku. Dan aku hanya bisa berdoa dengan penuh keyakinan bahwa cobaan ini akan segera berakhir. Dengan penuh rasa berat hati aku harus kembali lagi ke Purwokerto untuk melaksanakan kewajibanku menuntut ilmu.
Kini aku telah sampai di Purwokerto, masih ku ingat pesan dari kakeku, satu diantara seratus atau bahkan seribu, seorang yang polos, sabar, halus bicaranya dan sangat sederhana sifatnya itu. Aku harus kembali berjuang. Kembali menata semangat yang berantakan. Kembali menata mimpi yang berserakan. Semua demi keluargaku, ayah, ibu dan tentunya kakekku.
Keesokan harinya aku mendapat pesan singkat dari ibuku bahwa kini kondisi kakek sudah mulai membaik. Sudah mulai bisa berbicara secara normal, bercanda dan juga bertambah nafsu makannya. Sungguh hal yang begitu istimewa. Alhamdulillah..seraya bersyukur atas sedikit pencerahan yang Allah berikan.
Ternyata bukan hanya berita tentang membaiknya kakekku. Ada satu berita lagi yang membuatku tercengang dan tak mampu berkomentar. Berita bahwa asuransi kesehatan yang keluarga kami ajukan, tak disangkanya terpenuhi dan lolos untuk dibiayai. Subhanallah.., Alhamdulillah.., tak mampu aku berkata selain ucapan syukur kepada Allah. Sebelas juta rupiah total biaya keperluan kakekku telah terbayarkan.
Namun satu lagi yang membuatku heran, tak disangka tak dinyana. Ternyata terdapat sedikit sisa uang dari keperluan pembiayaan kakekku. Jumlahnya bisa dibilang fantastic yakni empat juta rupiah lebih. Lalu untuk apa sisa uang itu?. Segala pertolongan hanya berasal dari Allah, Tuhan yang mendatangkan cobaan karena tanda rasa sayangNya dan Tuhan yang mendatangkan solusi karena tanda rasa kasihNya. Sisa uang itu ternyata diperuntukkan untukku, untuk digunakan membeli laptop baru. Subhanallah, Walhamdulillah, Wallahuakbar. Tak kuasa aku menahan rasa haru karena rasa syukurku. Allah adalah satu-satunya solusi yang tak pernah diragukan lagi. Dia memberi pertolongan dan rezeki dari arah yang tak pernah disangka-sangka oleh hambanya.“Dan memberi rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluanya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. At Talaq:3)

*Sekian*